BLOW THE MAN DOWN (2019)

1 komentar
Kota itu bernama Easter Cove. Kota kecil di mana setiap penduduk saling kenal, dan (tentunya) saling membicarakan di belakang. Kota yang dingin pula. Matahari seolah tidak pernah bersinar sepenuhnya untuk melelehkan tumpukan salju. Juga kota yang kental dengan maskulinitas, bahkan saat pertama menjejakkan kaki di sana, kita langsung disambut oleh deretan nelayan berjanggut yang bernyanyi lantang bak pelaut yang tak kenal takut.

Tapi itu cuma kulit luar, sebab dalam debut mereka, duo sutradara sekaligus penulis naskah Bridget Savage Cole dan Danielle Krudy menjadikan kota yang “sangat laki-laki” ini sebagai panggung bagi kisah mengenai perempuan-perempuan yang bersatu (walau dalam kubu masing-masing) dalam rangka “menangani situasi”. Situasi macam apa? Well, ini sedikit rumit.

Perkenalkan dua bersaudari Connolly, Mary Beth (Morgan Saylor) dan Priscilla (Sophie Lowe). Sifat keduanya berlawanan. Jika sang kakak, Priscilla, bak tipikal anak baik yang sederhana, maka Mary Beth lebih berapi-api, egosentris, dan gemar menghabiskan malam di bar. Saylor dan Lowe mampu membangun dinamika kuat berdasarkan penokohan bertolak belakang tersebut, saling berdebat sebagaimana biasanya kakak-adik. Di siang hari, keduanya baru saja memakamkan sang ibu, namun siapa sangka, pada malam hari, mereka harus memakamkan orang lain. Seorang pria bernama Gorski (Ebon Moss-Bachrach) yang ditemui Mary Beth di bar.

Kata “memakamkan” sebenarnya kurang pas. Berniat mabuk-mabukkan sebagai “pembuka” sebelum lanjut berhubungan seks, Mary Beth terkejut saat mendapati darah segar di bagasi mobil Gorski. Sempat terlibat kejar-kejaran, Mary Beth berakhir menusuk Gorski dengan sebuah harpun lalu memukul kepalanya memakai batu bata. Di dalam situasi yang mewakili unsur komedi hitam filmnya, Mary Beth dan Priscilla berusaha menghilangkan mayat tersebut, termasuk dengan memotong tangan Gorski, memasukkannya ke dalam kotak pendingin, lalu membuangnya ke laut.

Selesai? Tentu tidak. Cole dan Krudy seolah menerapkan catatan yang mereka buat kala menonton film-film Coen Bersaudara. Humor gelap, latar kota kecil, penemuan mayat, hingga konflik-konflik terpisah yang kelak terhubung pasca melalui banyak belokan, walau kalau harus dibandingkan dengan Coen Bersaudara, Cole-Krudy belum seliar itu. Termasuk perihal misteri, yang kurang berhasil memainkan elemen kejutan dan ketidaktahuan. Mayoritas poin penting sudah terpampang nyata di depan mata sedari awal, meski setidaknya, kedua sutradara memahami pernyataan “some questions are better left unanswered”, lalu membiarkan beberapa ambiguitas bertahan sampai film usai.

Menambah kompleksitas adalah kehadiran tokoh-tokoh wanita berumur. Ada trio Susie (June Squibb), Gail (Annette O’Toole), dan Doreen (Marceline Hugot), sahabat mendiang ibu protagonis kita, yang tengah berencana menutup Oceanview, rumah prostitusi milik Enid (diperankan Margo Martindale lewat wibawa serta aura intimidatif yang bakal membuat siapa saja berpikir ulang untuk menghadapinya seorang diri). Sekilas, mereka bertiga adalah trio moralis menyebalkan, sementara Enid merupakan figur yang mementingkan “the greater good” dengan membawa kebaikan melalui apa yang dipandang orang-orang buruk. Tapi benarkah demikian?

Sebuah mayat ditemukan terdampar. Awalnya Priscilla takut bahwa itu adalah mayat Gorski, sampai polisi mengidentifikasinya sebagai salah satu gadis yang bekerja di Oceanview. Gadis itu tewas ditembak sebelum ditenggelamkan. Trio moralis kita percaya bahwa Enid ada di balik kematian sang gadis. Apakah itu sebatas tuduhan licik demi memulukan langkah mereka menutup Oceanview? Ataukah Enid memang sejahat yang dituduhkan? Apalagi di adegan awal, kita melihat Enid, dari balik jendela, dengan dingin menyaksikan kekerasan yang dilakukan seorang pria kepada wanita. Apakah ada kaitannya?

Balutan misterinya mungkin tak menyimpan twist mengejutkan, tapi lain cerita soal studi karakter. Studi mengenai (sebagaimana saya tulis di paragraf atas) para wanita yang dihadapkan pada proses “menangani situasi”. Sepanjang jalan kita diajak mengamati, bagaimana Mary Beth dan Priscilla, Enid, maupun trio wanita tua moralis, harus menyelesaikan permasalahan yang menuntut mereka menanggalkan kekakuan pikir. Dan apakah Susie-Doreen-Gail memang tiga orang gila moral? Women stand together for each other. Itulah yang ingin disampaikan Blow the Man Down.


Available on PRIME VIDEO

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Sebenarnya konflik antara 3 nenek dan Enid itu apa sih? Masih belum paham