Mungkin penggemar berat kompetisi Eurovision Song Contest bakal menyukai film arahan sutradara David
Dobkin (Shanghai Knights, Wedding
Crashers, The Judge) ini, khususnya saat cameo beberapa kontestan bersatu di sebuah medley, yang menyertakan Waterloo
dan Ne partez pas sans moi milik
ABBA dan Celine Dion, dua pemenang Eurovision
paling populer. Mungkin. Karena sebagai non-penggemar, saya tak bisa bicara
mewakili mereka.
Sebagai non-penggemar, Eurovision
Song Contest: The Story of Fire Saga tidak menawarkan alasan yang menggoda
saya untuk mulai mengikuti kompetisinya. Ada berapa kontestan? Ada berapa
babak? Apa saja aturannya? Terpenting, kenapa Eurovision yang telah berjalan
lebih dari enam dekade begitu prestisius? Semua gagal dijawab, sehingga saat sang
protagonis—yang lagi-lagi mengandalkan gaya kekanak-kanakkan Will Ferrell yang
kelucuannya makin pupus—digambarkan amat terobsesi, penonton awam takkan
mengerti.
Tentu naskah yang ditulis oleh Ferrell bersama Andrew Steele
(Casa de mi padre) menambahkan alasan
lain di balik obsesi tersebut. Lars Erickssong (Will Ferrell) ingin membuktikan
diri pada ayahnya, Erick Erickssong (Pierce Brosnan), yang memandangnya remeh. Pun
kepada seluruh warga kampung (sebuah desa kecil di Islandia) yang senantiasa
menertawakannya. Caranya tak lain dengan bermimpi memenangkan Eurovision
sebagai The Fire Saga, duo musisi yang ia bentuk bersama sahabatnya sejak
kecil, Sigrit Ericksdóttir (Rachel McAdams).
Sigrit menyukai Lars. Orang-orang tidak paham, bagaimana bisa
gadis secantik dan sepintar dia menyukai pria aneh seperti Lars. Saya pun tidak
paham. Lars menolak kemungkinan adanya cinta di antara mereka, sebab
menurutnya, romansa internal dapat mengganggu stabilitas grup musik, sekaligus
memberi distraksi dalam usaha memenangkan Eurovision. Lars dikuasai ego. Dia
memaksakan aransemen lagu, konsep penampilan, tata kostum, dan lain-lain. Cuma
kemenangan yang dipikirkan. Kemenangan bagi diri sendiri, bukan berdua.
Nyaris tidak ada alasan mendukung Lars. Benar bahwa ia ingin
membuktikan diri, lelah jadi bahan olok-olok. Tapi pembangunan latar
belakangnya terlampau instan. Tidak peduli seberapa baik Pierce Brosnan
memerankan “pria tua terluka yang lelah melihat puteranya menyia-nyiakan hidup”,
hasilnya nihil tatkala koneksi ayah-anaknya tak tersampaikan secara memadai. Nantinya,
begitu kompetisi Eurovision digelar dan kontestan unggulan asal Rusia,
Alexander Lemtov (Dan Stevens), berusaha merebut hati Sigrit, sulit berpihak
pada Lars. Karena tak sekalipun kita menyaksikan sisi positif si tokoh utama.
Sementara humornya terlalu ragu untuk sepenuhnya melangkah ke
ranah komedi gelap, walau filmnya sudah mengandung beberapa kematian (baca:
pembunuhan) brutal, juga elemen incest yang beberapa kali disiratkan, baik
melalui dialog maupun pilihan nama karakter, yang harus diakui cukup kreatif
dan menggelitik. Ketimbang sepenuhnya melangkah ke sana, Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga memilih main aman, bergantung
pada keeksentrikan Ferrel yang mayoritas gagal mengenai sasaran, sedangkan
McAdams berusaha sekuat tenaga memaksimalkan materi yang sayangnya, sudah
terlanjur sukar diperbaiki. Apa humor terlucunya? Tentu saja “Jaja Ding Dong”.
Setidaknya film ini punya barisan lagu pop catchy, pula mampu meyakinkan kita,
bahwa performa The Fire Saga memang layak menjadikan mereka unggulan, khususnya
ketika membawakan lagu Husavik di
babak final yang terasa emosional. Ya, deretan lagu dan Rachel McAdams
merupakan nilai positif Eurovision Song
Contest: The Story of Fire Saga. Kalau anda penggemar Eurovision Song Contest, mungkin film ini masih bisa memberikan
hiburan. Kalau anda ingin menyaksikan Rachel McAdams memaning tawa, lebih baik
menonton ulang Game Night.
Available on NETFLIX
Terlepas dari cerita dll yang gitulah, lagu2 di film ini keren2. Dan lagu terakhir kudunya bisa masuk nominasi Oscar.
BalasHapus