Apakah Becoming sebuah
kampanye? Tentu saja. Terlalu naif bila menampik itu. Tapi kampanye atau bukan,
tidak jadi soal. Film merupakan ruang bagi pembuatnya untuk menuangkan sudut
pandang. Terpenting adalah sejauh mana sebuah film mampu membuat penonton
secara sukarela melupakan bahwa mereka sedang menonton iklan terselubung, meski
menyadarinya. Becoming berhasil
melakukan itu, walau apa yang disajikan masih sebatas menyentuh permukaan.
Subjek, serta penerimaan penonton terhadapnya, menentukan
kekuatan suatu dokumenter. Penanganan biasa takkan menurunkan daya pikat suatu
kisah luar biasa. Sebaliknya, penanganan luar biasa bisa jadi percuma jika
dihadapkan pada kisah biasa. Michelle Obama jelas bukan sosok biasa. Ibu negara
kulit hitam pertama, figur penting pemberdayaan wanita, seorang fashion icon, dan lain-lain. Serupa respon
seorang gadis remaja yang nampak tergila-gila di salah satu momen filmnya,
menyaksikan Michelle berjalan saja sudah menimbulkan kekaguman.
Apalagi saat ia mulai bererita dalam rangkaian tur buku memoir miliknya, Becoming, yang membawanya singgah di 34 kota, berbagi pengalaman di
atas panggung, di tengah muda-mudi, maupun di antara komunitas gereja. Sebagaimana
Michelle utarakan, ribuan (bahkan lebih) manusia berkumpul, bukan untuk menonton
aksi twerk, melainkan membaca.
Michelle sendiri adalah pencerita hebat. Kisah mengenai kehidupan di Gedung
Putih, yang bagi rakyat jelata macam kita terdengar “out of this world”, dibawakan dengan santai, ringan, menggelitik,
bahkan relatable.
Michelle menyediakan bahan memadai untuk diolah oleh Nadia Hallgren selaku
sutradara, yang dalam pengemasannya, tak melakukan terobosan baru, dan memang
tak perlu.
Apa yang Michelle tuturkan amat beragam, dari cerita ringan seperti hubungannya dengan para
pengawal dan pilihan busana, sampai topik berat seputar rasisme, seksisme (Semasa
kampanye banyak pihak menyebut Michelle “wanita pemarah” guna menjatuhkannya.
Apakah sebutan serupa bakal dialamatkan untuk pria? Rasanya tidak), isu golput
semasa pemilu yang berujung pada terpilihnya Donald Trump, hingga dinamika
suami-istri. Bagaimana menjadi istri sosok seperti Barrack Obama tanpa harus
tenggelam di bawah bayang-bayang sang suami? Michelle menyebut Barrack ibarat
tsunami. Andai tak siap, ia akan tersapu dan berakhir hanya sebagai pelengkap.
Barrack Obama muncul beberapa menit di film ini, ketika ia
memberi “kejutan” dengan muncul di salah satu tur buku Michelle. Pilihan tepat,
sebab meniadakan Barrack sepenuhnya, akan jadi keputusan yang dipaksakan demi
menjaga agar spotlight tetap mengarah
pada Michelle, pun secara tidak langsung justru membenarkan inferioritas wanita
di hadapan pria.
Michelle menyebut bahwa selepas berakhirnya masa sebagai ibu
negara, ia merasa lebih bebas berpenampilan, bersikap, serta bertutur kata
tanpa mesti mendapat saringan dari sana-sini. Sayangnya, Becoming tak memperlihatkan itu. Ya, Michelle tidak ragu mengakui
masih menyimpan kekesalan atas pernyataan gurunya kala SMA, yang berkata bahwa
dia bukan “Princeton material”. Tapi
itu hanya kelakar. Di ranah esensial, film ini masih dokumenter penuh saringan,
di mana topik pembicaraan cuma menyentuh permukaan, dan mayoritas bak fragmen
yang tampil sekilas, kemudian menghilang sebelum sempat menghanyutkan penonton.
Kelemahan bertutur itu nampak betul saat filmnya
memperkenalkan kita kepada Elizabeth Cervantes, seorang siswi SMA tahun akhir
berdarah Meksiko. Sejenak, ia mengambil alih fokus saat memperlihatkan hari
terakhirnya di SMA, sembari Elizabeth sekilas mengutarakan mengenai sulitnya
menjadi remaja minoritas. Tapi setelahnya, ia menghilang. Kondisi serupa sempat
terjadi beberapa kali, seolah Becoming menekan
paksa materi yang semestinya bisa berlangsung lebih panjang, bahkan mungkin
melahirkan beberapa episode miniseri.
Salah satu topik paling penting sekaigus relevan di waktu ini
adalah soal kekerasan polisi terhadap kulit hitam. Saya berharap mendengar
respon lebih mendalam, terbuka, sekaligus personal, tapi yang hadir sekadar
formalitas. Cerita tentang beberapa oknum polisi yang sempat mengancam Obama
sekeluarga bakal lebih “mencerahkan” bila dibarengi pembahasan terkait apa saja
yang telah diupayakan selama Obama menghuni Gedung Putih.
Tapi kembali lagi, di balik kurang dalamnya eksplorasi,
Michelle Obama tetaplah figur inspiratif. Kalau anda mencari tontonan singkat
yang ringan, sekaligus cukup menggugah tatkala menyentuh paparan perihal wanita
yang sanggup mencapai puncak dengan mengalahkan stigma-stigma dan diskriminasi, Becoming merupakan opsi yang sesuai.
Available on NETFLIX
krik krik
BalasHapusSaran aja sih min soalnya kangen baca ulasan”disini serta komen”nya, karena stok film skarang tipis kenapa ga mengulas serial khusus yg emang lagi nge hype di internet semisal umbrella academy, peaky blinders apalagi dark yang nimbulin teori debat hampir selevel endgame di internet pasti rame lagi situs ini (serial yg punya kualitas kek film dan punya banyak viewers)
BalasHapusSerial-serial itu ditonton sih, cuma review film & serial jelas beda. Nggak merasa menguasai review serial, jadi butuh lebih banyak waktu buat nyusunnya. Dan simply nggak punya waktu untuk itu.
HapusDan momen pandemi ini kasih kesempatan bantu spread the Word buat film-film bagus yang kurang di-notice publik, plus kasih tahu kalo banyak sumber streaming legal yang library-nya oke. Makanya di tiap akhir review selalu nulis sumbernya