17/07/20

BEASTS CLAWING AT STRAWS (2020)

0 View
Pada ajang International Film Festival Rotterdam (IFFR) awal tahun ini, Beasts Clawing at Straws, selaku adaptasi novel berjudul sama buatan Keisuke Sone, memenangkan kategori Tiger Competition – Special Jury Award, yang diberikan pada film dengan pencapaian artistik memukau. Seberapa memukau? Kim Yong-hoon melakoni debut sebagai sutradara sekaligus penulis naskah di sini, dan ketika debutmu mengingatkan orang akan karya-karya Coen Brothers, tentu saja itu bukan pencapaian main-main.

Beasts Clawing at Straws melibatkan delapan orang (walau sebenarnya tak semua dari mereka punya peran signifikan) yang kebanyakan tak saling kenal, di mana mereka terhubung lewat sebuah barang, yakni tas Louis Vuitton berisi uang dalam jumlah banyak, yang ditinggalkan di loker tempat pemandian. Joong-man (Bae Sung-Woo) yang merupakan karyawan di sana, menemukan tas tersebut. Terlilit kesulitan finansial setelah bisnisnya bangkrut ditambah keharusan merawat sang ibu yang menderita alzheimer, Joong-man pun mengambilnya.

Lalu kita bertemu tokoh-tokoh lain. Tae-young (Jung Woo-sung) meminjam uang pada rentenir keji Park Doo-man (Jung Man-sik), tapi pacarnya justru membawa kabur uang itu, membuatnya terlilit utang. Mi-ran (Shin Hyun-bin) terpaksa bekerja sebagai pelayan di kelab milik Yeon-hee (Jeon Do-yeon) setelah kehilangan banyak uang di pasar saham. Di rumah, sang suami selalu memukulinya. Saat itulah Jin-tae (Jung Ga-ram), seorang konsumen yang menyukai Mi-ran, menawarkan bantuan guna memperoleh uang sekaligus mengakhiri kekejaman suaminya.

Sudah menangkap polanya? Ya, seluruh karakter film ini mengalami kesulitan finasial, terjerat utang, dan/atau dikuasai keserakahan. Begitu satu hal memantik efek domino, tersajilah kisah mengenai rantai makanan. Manusia menjadi predator yang saling memangsa. Pertanyaannya, “Peristiwa mana yang jadi penyulut?”. Kim Yong-hoon cerdik memainkan cabang-cabang cerita guna menciptakan tanda tanya terkait timeline-nya, sebagai topeng yang membuat film ini tampak lebih kompleks ketimbang wajah aslinya.

Beberapa  sentuhan memang tak diperlukan, termasuk pembagian alur ke dalam lima babak yang masing-masing dibuka dengan title card bergaya (baik desain visual maupun pilihan judul) yang sejatinya tak memiliki substansi mendalam. Pun sebagai debutan, wajar kala Yong-hoo sesekali tersandung sehingga beberapa elemen narasinya membingungkan, tapi secara keseluruhan, Beasts Clawing at Straws tersaji rapi, dibalut pacing dinamis serta penyuntingan solid yang memuluskan transisi antara cabang-cabang cerita.

Ada banyak cerita, tapi Yong-hoon tahu benar, kapan waktunya memindahkan fokus ke karakter lain, kapan mesti bertahan untuk memperdalam eksplorasi. Kita pun mudah mengenali identitas tiap karakter beserta masalahnya, kemudian pelan-pelan menarik benang merah yang menghubungkan mereka, mengumpulkan kepingan puzzle sedikit demi sedikit. Menariknya, ketika ada satu-dua rahasia terungkap, filmnya masih menyisakan misteri lain yang menjaga atensi penontonnya. Beasts Crawling at Straws tidak terjangkit penyakit “berusaha terlalu keras menjadi misterius” dengan terlalu lama mengendapkan rahasia.

Semakin menghibur berkat balutan komedi hitam, deretan kematian tak terduga yang cukup berani menumpahkan darah, sampai kejutan-kejutan acak, yang walau di beberapa titik terkesan dipaksakan sebagai media penambah daya kejut semata, jelas merupakan elemen yang disukai penonton. Segala elemen di atas memproduksi perjalanan liar selama 108 menit, yang turut menunjukkan betapa Kim Yong-hoo menaruh kekaguman besar pada Coen Brothers. Beasts Clawing at Straws ibarat Fargo (1996) tanpa latar bersalju.

Di jajaran pemain, Jung Woo-sung mampu melahirkan protagonis yang jauh dari kesucian namun tak sampai membuat penonton membencinya. Sang aktor memberi selipan kejenakaan sebagai pria yang terjebak di situasi-situasi rumit, dan pemandangan itu menyenangkan disaksikan. Shin Hyun-bin yang belum lama ini mencuri perhatian melalui serial Hospital Playlist, menampilkan transisi meyakinkan dari seorang istri tak berdaya jadi wanita yang merasa cukup diinjak-injak. Tapi bukanlah kejutan kala sinar paling terang dipancarkan oleh Jeon Do-yeon (salah satu aktris paling critically acclaimed di industri film Korea Selatan) sebagai femme fatale berdarah dingin yang menumpahkan darah paling bayak di sepanjang durasi.

Bila diperhatikan lebih jauh, masing-masing cerita punya cara menyampaikan tuturan perihal pria-pria yang berlagak seolah bisa menangani segalanya, bersikap bak sosok paling kuat, walau sebenarnya mereka clueless, tidak berguna, juga lebih lemah dari karakter wanitanya, yang lebih cerdik (tak jarang licik) pula tahan banting. Unsur empowerment itu memperkaya dunia Beasts Clawing at Straws. Dunia materialistis penuh keserakahan. Tapi dalam dunia semacam itu, filmnya memberikan cinta kepada mereka yang justru tak berhasrat. Masih ada harapan di dunia kelam ini.


Available on VIU & CATCHPLAY+

1 komentar :

  1. Senang dengan endingnya..
    Yg paling tdk ngotot malah dpt banyak termasuk suaminya si joong man sbagai karakter paling lemah

    BalasHapus