Pada ajang International
Film Festival Rotterdam (IFFR) awal tahun ini, Beasts Clawing at Straws, selaku adaptasi novel berjudul sama
buatan Keisuke Sone, memenangkan kategori Tiger
Competition – Special Jury Award, yang diberikan pada film dengan
pencapaian artistik memukau. Seberapa memukau? Kim Yong-hoon melakoni debut
sebagai sutradara sekaligus penulis naskah di sini, dan ketika debutmu
mengingatkan orang akan karya-karya Coen Brothers, tentu saja itu bukan
pencapaian main-main.
Beasts Clawing at
Straws melibatkan
delapan orang (walau sebenarnya tak semua dari mereka punya peran signifikan)
yang kebanyakan tak saling kenal, di mana mereka terhubung lewat sebuah barang,
yakni tas Louis Vuitton berisi uang dalam jumlah banyak, yang ditinggalkan di
loker tempat pemandian. Joong-man (Bae Sung-Woo) yang merupakan karyawan di
sana, menemukan tas tersebut. Terlilit kesulitan finansial setelah bisnisnya bangkrut
ditambah keharusan merawat sang ibu yang menderita alzheimer, Joong-man pun
mengambilnya.
Lalu kita bertemu tokoh-tokoh lain. Tae-young (Jung Woo-sung)
meminjam uang pada rentenir keji Park Doo-man (Jung Man-sik), tapi pacarnya
justru membawa kabur uang itu, membuatnya terlilit utang. Mi-ran (Shin
Hyun-bin) terpaksa bekerja sebagai pelayan di kelab milik Yeon-hee (Jeon
Do-yeon) setelah kehilangan banyak uang di pasar saham. Di rumah, sang suami
selalu memukulinya. Saat itulah Jin-tae (Jung Ga-ram), seorang konsumen yang
menyukai Mi-ran, menawarkan bantuan guna memperoleh uang sekaligus mengakhiri
kekejaman suaminya.
Sudah menangkap polanya? Ya, seluruh karakter film ini
mengalami kesulitan finasial, terjerat utang, dan/atau dikuasai keserakahan. Begitu
satu hal memantik efek domino, tersajilah kisah mengenai rantai makanan.
Manusia menjadi predator yang saling memangsa. Pertanyaannya, “Peristiwa mana
yang jadi penyulut?”. Kim Yong-hoon cerdik memainkan cabang-cabang cerita guna
menciptakan tanda tanya terkait timeline-nya,
sebagai topeng yang membuat film ini tampak lebih kompleks ketimbang wajah
aslinya.
Beberapa sentuhan
memang tak diperlukan, termasuk pembagian alur ke dalam lima babak yang
masing-masing dibuka dengan title card bergaya
(baik desain visual maupun pilihan judul) yang sejatinya tak memiliki substansi
mendalam. Pun sebagai debutan, wajar kala Yong-hoo sesekali tersandung sehingga
beberapa elemen narasinya membingungkan, tapi secara keseluruhan, Beasts Clawing at Straws tersaji rapi,
dibalut pacing dinamis serta penyuntingan
solid yang memuluskan transisi antara cabang-cabang cerita.
Ada banyak cerita, tapi Yong-hoon tahu benar, kapan waktunya
memindahkan fokus ke karakter lain, kapan mesti bertahan untuk memperdalam
eksplorasi. Kita pun mudah mengenali identitas tiap karakter beserta masalahnya,
kemudian pelan-pelan menarik benang merah yang menghubungkan mereka,
mengumpulkan kepingan puzzle sedikit demi sedikit. Menariknya, ketika ada satu-dua
rahasia terungkap, filmnya masih menyisakan misteri lain yang menjaga atensi
penontonnya. Beasts Crawling at Straws tidak
terjangkit penyakit “berusaha terlalu keras menjadi misterius” dengan terlalu
lama mengendapkan rahasia.
Semakin menghibur berkat balutan komedi hitam, deretan kematian
tak terduga yang cukup berani menumpahkan darah, sampai kejutan-kejutan acak,
yang walau di beberapa titik terkesan dipaksakan sebagai media penambah daya
kejut semata, jelas merupakan elemen yang disukai penonton. Segala elemen di
atas memproduksi perjalanan liar selama 108 menit, yang turut menunjukkan betapa
Kim Yong-hoo menaruh kekaguman besar pada Coen Brothers. Beasts Clawing at Straws ibarat Fargo
(1996) tanpa latar bersalju.
Di jajaran pemain, Jung Woo-sung mampu melahirkan protagonis yang
jauh dari kesucian namun tak sampai membuat penonton membencinya. Sang aktor
memberi selipan kejenakaan sebagai pria yang terjebak di situasi-situasi rumit,
dan pemandangan itu menyenangkan disaksikan. Shin Hyun-bin yang belum lama ini
mencuri perhatian melalui serial Hospital
Playlist, menampilkan transisi meyakinkan dari seorang istri tak berdaya
jadi wanita yang merasa cukup diinjak-injak. Tapi bukanlah kejutan kala sinar
paling terang dipancarkan oleh Jeon Do-yeon (salah satu aktris paling critically acclaimed di industri film
Korea Selatan) sebagai femme fatale berdarah
dingin yang menumpahkan darah paling bayak di sepanjang durasi.
Bila diperhatikan lebih jauh, masing-masing cerita punya cara
menyampaikan tuturan perihal pria-pria yang berlagak seolah bisa menangani
segalanya, bersikap bak sosok paling kuat, walau sebenarnya mereka clueless, tidak berguna, juga lebih
lemah dari karakter wanitanya, yang lebih cerdik (tak jarang licik) pula tahan
banting. Unsur empowerment itu
memperkaya dunia Beasts Clawing at
Straws. Dunia materialistis penuh keserakahan. Tapi dalam dunia semacam
itu, filmnya memberikan cinta kepada mereka yang justru tak berhasrat. Masih
ada harapan di dunia kelam ini.
Available on VIU &
CATCHPLAY+
Senang dengan endingnya..
BalasHapusYg paling tdk ngotot malah dpt banyak termasuk suaminya si joong man sbagai karakter paling lemah