Semasa sekolah, pasti kita pernah merasa bangga, atau minimal
senang, saat “di-notice” senior.
Bukan prestasi yang akan digembar-gemborkan, tapi saat senior tahu namamu tanpa
pernah berkenalan langsung, bahkan mengajak nongkrong bersama, cukup untuk memancing
senyum, kemudian berpikir, “Wah, aku terkenal. Aku keren”. Karena keinginan
menjadi (baca: dianggap) keren memang salah satu ciri remaja.
Hanya saja, sikap tokoh utama Big Time Adolescence, Monroe “Mo” Harris (Griffin Gluck), berlebihan.
“He was the man!”, begitu deskripsi
Mo tentang Zeke (Pete Davidson), mantan kekasih kakaknya yang berusia tujuh
tahun lebih tua. Alasannya? Zeke mengajaknya menonton film dengan rating R,
memperlihatkan foto wanita telanjang, minum bir, dan aktivitas-aktvitias “dewasa”
lain.
Awalnya, saya pun memandang Zeke secara positif. Mungkin
bukan panutan seperti Mo melihatnya, tapi Zeke jelas anak yang asyik. Tapi
seiring waktu, mulai timbul kekhawatiran, termasuk dari orang tua Mo. Bagaimana
tidak? Mo tak memiliki teman sepantaran. Setiap malam ia selalu mampir ke rumah
Zeke, si pengangguran berumur 23 tahun yang hari-harinya cuma diisi alkohol,
ganja, serta mimpi-mimpi kosong yang berujung wacana belaka.
Mo amat meninggikan Zeke. Segala saran dituruti,
termasuk soal percintaan, ketika ia menyukai teman sekelasnya, Sophie (Oona
Laurence). “Zeke adalah legenda SMA”, kata Mo. Zeke pun membanggakan status
tersebut. Mo ingin menjadi keren, Zeke pun ingin dianggap keren sehingga
menikmati keberadaan Mo. Zeke mengejar kejayaan masa lalu, di saat Mo
semestinya mengejar masa depan.
Di bawah arahan Jason Orley selaku sutradara sekaligus
penulis naskah, Big Time Adolescence bukan
komedi yang akan membuat penonton tertawa sampai sakit perut, namun pembawaan
ringan, ditambah tenaga hasil dari kengawuran sikap remaja di fase tumbuh
kembang, cukup efektif memberi hiburan.
Gluck menampilkan kepolosan yang takkan membuat penonton
menyalahkan pilihan-pilihan buruknya, melainkan berharap Mo segera sadar.
Sementara Doherty punya senyum lebar yang menyimpan lebih banyak makna dari
kelihatannya. Di beberapa kesempatan, melalui senyum itu tampak sosok menyebalkan
yang tak memedulikan apa pun, lalu di kesempatan lain, terlihat pria kacau, yang
menyadari bahwa dirinya kacau, tapi berpura-pura semua baik saja-saja.
Paparan dramanya lebih kuat dari perkiraan. Saya pikir Big Time Adolescence merupakan film yang
penting untuk ditonton para remaja. Tidak ada sugarcoating atau romantisasi keliaran masa muda. Kita sungguh
diperlihatkan dampak dari keputusan-keputusan bodoh dan kesalahan pergaulan.
Begitu terlanjur basah, tidak ada kata mundur, tidak ada peluang kabur, tidak
ada keajaiban yang membuat semua kesalahan dimaafkan secara instan. Babak
akhirnya cukup menyakitkan, sebab kita diajak melihat protagonisnya membayar dosa-dosanya
(termasuk urusan cinta) dengan harga mahal.
Shot penutupnya pun kuat secara emosional.
Mo perlahan bergerak maju (masa depan), sedangkan dari kejauhan, Zeke terduduk
lemas, terjebak di belakang (masa lalu). Sosoknya out-of-focus, seolah mewakili ketidakjelasan kondisinya. Mengapa
Zeke berakhir sebagai pecundang? Sarannya soal baseball bisa dijadikan
gambaran. Zeke menyuruh Mo mengincar ball.
Cukup berdiri diam, tidak perlu memukul, sebagaimana Zeke yang tak pernah menyelesaikan
setumpuk masalahnya dan memilih kabur. Mungkin dengan demikian, Mo terhindar
dari risiko strike, tapi tanpa usaha
memukul, mustahil baginya mendapat home
run.
Available on HULU
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar