Murder Death Koreatown adalah found footage tanpa kredit. Tidak ada nama sutradara, penulis, pemain,
atau kru lain. Konon, filmnya disusun berdasarkan kumpulan video yang direkam
oleh seorang pria. Pria itu menghilang. Dan di penghujung durasi, siapa pun
yang “menemukan” footage tersebut,
telah mengeditnya menjadi film ini, dan menolak diungkap identitasnya. Baiklah.
Saya mengerti sineasnya ingin memperkuat kesan realisme. Tapi
kita berada di tahun 2020. Sudah 21 tahun berlalu sejak The Blair Witch Project mengguncang lewat gimmick serupa. Horor fenomenal tersebut mempunyai dua sekuel yang
tak satu pun menerapkan pendekatan serupa, sebab orang-orang di belakangnya menyadari
kalau taktik itu takkan berhasil untuk kedua kali.
Murder Death Koreatown berusaha terlalu keras tampak nyata. Usahanya gagal, apalagi saat filmnya memiliki aktor dengan kemampuan akting
tiarap yang jauh dari realistis. Saat dia menangis, saya ingin memberinya
pukulan di wajah ketimbang tepukan di pundak sebagai ungkapan belas kasih. Saya
ingin dia gagal dalam investigasinya.
Investigasi terhadap apa? Jadi, protagonis kita (sebut saja “Maman”),
yang tinggal bersama kekasihnya (sebut saja “Sri”), mengetahui adanya kasus
pembunuhan di dekat apartemen mereka. Kasus itu melibatkan pasutri Korea, di
mana sang istri membunuh suaminya. Maman merasakan kejanggalan di kasus
tersebut. Bermodalkan kamera handphone,
ditambah kemampuan mewawancarai (plus bersosialisasi) yang buruk, ia pun
melakukan investigasi, berkeliling komplek guna mencari bukti serta saksi.
Maman ngotot, padahal Sri telah berusaha meyakinkan bahwa tak
ada keanehan. Pembunuhan itu mengerikan, mengejutkan, tapi apa yang Maman
anggap janggal, sejatinya bisa dijelaskan nalar. Saya setuju. Maman gagal meyakinkan
saya agar turut serta menyelidiki, karena sejak awal memang tidak ada yang
menarik. Dan perjalanan Maman si detektif kesiangan amat membosankan
(setidaknya di paruh pertama). Dia hanya berkeliling, mewawancarai orang-orang
yang tak memberi informasi berarti. Repetitif.
Pun entah dalam rangka apa, beberapa kali terselip rekaman-rekaman
acak, mulai dari amukan seorang wanita rasis di minimarket, beberapa detik saat
Sri berlarian di kamar memakai pakaian dalam, dan lain-lain. Apakah itu usaha
untuk menguatkan kesan realistis? Atau sebatas usaha mengulur waktu?
Sepanjang durasi yang cuma sekitar 80 menit, Murder Death Koreatown gemar betul
menyelipkan peristiwa-peristiwa tak esensial. Misalnya saat Maman meminta
bantuan rekan kerja Sri untuk menerjemahkan tulisan Korea yang ia temukan di
dinding dan kursi bekas, yang ia percaya sebagai pesan, yang ditujukan khusus
untuknya sebagai petunjuk memecahkan kasus. Maman repot-repot membawa si
penerjemah ke lokasi, padahal ia sudah memiliki stok rekamannya di apartemen. Hal
itu filmnya lakukan hanya demi memperlihatkan jika tulisan-tulisan tersebut
menghilang secara misterius.
Apakah hilangnya tulisan tersebut serta
kejanggalan-kejanggalan lain memang benar adanya, atau hanya ada di kepala
Maman? Pertanyaan yang makin sering mencuat begitu alurnya menyentuh ranah supernatural, sewaktu Maman yakin jika arwah si korban pembunuhan berusaha berkomunikasi dengannya. Melalui perkenalan dirinya, Maman mengaku baru kehilangan pekerjaan, pun
usaha melamar pekerjaan baru belum membuahkan hasil. Maman merasa gagal.
Baginya, keberhasilan investigasi bakal mengembalikan signifikansi dalam
eksistensinya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Semakin jauh penelusuran
Maman, semakin ia tenggelam dalam obsesi tak sehat yang makin mengganggu jiwanya.
Andai saja Murder Death
Koreatown menggali dinamika psikis itu secara lebih layak. Andai saja Maman
diperankan oleh aktor yang lebih mumpuni. Andai saja, daripada berputar-putar
di repetisi investigasi kala siang hari bolong, filmnya lebih sering berkutat di
teror malam hari. Karena di situlah keunggulannya. Bahkan shot yang menangkap ruang kosong pun menimbulkan ketidaknyamanan,
seolah ada sesuatu yang bisa menerjang kita kapan saja dari balik kegelapan.
Resolusi rendah video juga turut andil membangun atmosfer.
Puncak pencapaian sutradaranya (siapa pun dia), adalah sebuah
momen di sekitar 20 menit terakhir. Masih dipersenjatai pencahayaan minim plus footage “murahan”, datang kengerian yang
memaksa saya menjauhkan jarak dari layar hingga film usai karena merasa “terancam”.
Kengerian yang dicapai tanpa pertolongan musik berisik yang biasa menemani jump scare. Artinya tersimpan potensi.
Ada teror kelas satu, yang sayangnya terkubur terlalu dalam. Atau mungkin
alasan Murder Death Koreatown dibuat
memang cuma untuk memfasilitasi terciptanya adegan tersebut? Entahlah. Mungkin
Maman bersedia menyelidiki misteri satu ini.
Available on PRIME
VIDEO (US)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar