Melalui The Whistlers, yang
awal tahun ini mewakili Rumania di ajang Academy Awards, sutradara-penulis
naskah Corneliu Porumboiu membenturkan hal tradisional dengan modern, klasik
dengan kekinian, dalam tuturan thriller-komedi hitam, yang juga bertindak
selaku surat cintanya terhadap elemen-elemen dari masa lalu, termasuk media
film itu sendiri.
Maka bukan pernak-pernik belaka ketika klimaks baku
tembaknya berlatar di sebuah set film yang sudah terbengkalai, muncul referensi
terhadap judul-judul klasik macam The
Searchers (1956) dan Pyscho (1960),
maupun saat Catrinel Marlon memerankan tokoh femme fatale bernama Gilda layaknya karakter legendaris yang
diperankan Rita Hayworth dalam film noir Gilda
(1946).
Tapi “produk masa lalu” yang porsinya paling substansial di
film ini adalah Silbo Gomero, bahasa
berbentuk siulan yang awalnya dipakai oleh para Guanche, penduduk asli
Kepulauan Canaria, Spanyol. Dikisahkan, polisi Rumania bernama Cristi (Vlad
Ivanov) datang ke La Gomera (salah satu pulau di Canaria) guna mempelajari
bahasa tersebut, untuk membebaskan Zsolt (Sabin Tambrea), seorang pebisnis yang
ditangkap di Bucharest atas tuduhan pencucian uang.
Siulan dipakai agar proses komunikasi tak mampu dideteksi
pihak kepolisian. Sekarang adalah masa di mana tiap gerak-gerik bisa diawasi
menggunakan kamera dan semua pembicaraan dapat disadap. Ketimbang menyiapkan
teknologi yang kecanggihannya mengalahkan kepunyaan polisi sebagaimana kerap
muncul di deretan blockbuster Hollywood,
The Whistlers memilih metode yang
lebih “oldskul”. Sebuah perspektif
unik dari naskah buatan Porumboiu, yang tak jarang disajikan secara menggelitik
lewat kemasan komedi deadpan (contoh
terbaik ketika Cristi berlatih).
Sesampainya di La Gomera, Cristi disambut oleh Gilda. “Forget what happened in Bucharest. That was
just for the surveillance cameras”, kata si wanita. Apa maksudnya? Kenapa
pula seorang polisi justru harus repot-repot belajar bersiul untuk membebaskan
kriminal? Bersiaplah dibuat sering bertanya-tanya, sebab The Whistlers dituturkan melalui alur non-linear, yang lebih dulu
menyuguhkan dampak suatu peristiwa, baru kemudian menjelaskan latar
belakangnya lewat flashback.
Ada praktek suap, double-crossing,
penipuan, dan sebagainya, yang mana cukup kompleks. Tambahkan gaya alur
non-linear, maka semuanya jadi lebih sukar dicerna. Tapi tidak mustahil, karena semua keping jawaban diperlihatkan, baik berupa tuturan verbal
maupun bahasa visual yang lebih subtil. Hanya saja, persebarannya acak, dan
penonton dituntut menyusunnya secara mandiri.
Apakah gaya bertutur rumit itu perlu? Sebenarnya tidak,
mengingat tanpa itu pun, poin utama kisah, yakni tentang korupsi di kalangan
pihak berwajib, masih bisa dipresentasikan. Harus diakui ini perwujudan “style over substance”, namun bagi
penonton yang gemar menyusun puzzle, walau butuh proses penyesuaian di awal, The Whistlers memberi kepuasan dalam
tiap keberhasilan memecahkan teka-teki dan memahami poin-poin cerita.
Penyutradaraan Corneliu Porumboiu beranjak dari long take dan tempo lambat yang
mendefinisikan realisme Romanian New Wave,
digantikan oleh pendekatan playful yang
lebih bertenaga, pula lebih lucu berkat balutan komedi hitam bergaya deadpan. Porumboiu menutup filmnya
dengan sekuen cantik berlatar malam hari berhiaskan kelap-kelip lampu Gardens
by the Bay di Singapura. Apakah itu benar-benar akhir bahagia, ataukah mimpi
yang memberi karakternya alasan untuk meneruskan hidup? Mana saja bukan masalah,
bahkan andai tidak nyata sekalipun. Karena esensi sinema sendiri tidak jauh
beda, yaitu media mengabadikan mimpi dan imajinasi.
Available on HULU
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar