REVIEW - DOUBLE WORLD

1 komentar
Belum sempat mengecek materi-materi promosi maupun ulasannya, saya pikir, Double World— selaku adaptasi permainan MMORPG berjudul sama —merupakan film perang berlatarkan kerajaan Cina masa lampau biasa. Sampai sekuen aksi pembukanya menampilkan gore, monster, juga desain set yang nampak sedikit lebih modern. Menarik! Daya tarik yang sayangnya perlahan memudar seiring eksekusi yang gagal memenuhi potensi.

Kisahnya mengambil latar negeri fiktif bernama Zhao Selatan, yang sejak lama bersitegang dengan Yu Utara. Selepas upaya pembunuhan terhadap Raja Zhao Selatan oleh mata-mata Yu Utara, Grand Tutor Guan (Hu Ming) berencana menyelenggarakan turnamen beladiri guna mengumpulkan para petarung-petarung terhebat dari seantero negeri. Tujuannya? Mempersiapkan Zhao Selatan menghadapi perang. Tapi Guan diam-diam punya niatan lain.

Tiap klan di Zhao Selatan diperintahkan mengirim tiga wakil. Protagonis kita, Dong Yilong (Henry Lau), yang terkenal sering bikin onar dan dipanggil “Berandal” oleh warga, secara mengejutkan menyatakan keinginan ikut serta. Yilong berharap dapat mengetahui asal-usulnya (sang ibu meninggal setelah melahirkannya, sang ayah tak diketahui identitasnya). Walau kerap memancing keributan, sejatinya Yilong anak baik. Lebih tepatnya naif. Kelak di turnamen, dia menolak membunuh lawan, bahkan bersedia menolong The Beast King, sesosok ular raksasa buas yang kepalanya terus mengalirkan darah akibat helm perang yang ditancapkan paksa oleh prajurit Zhao Selatan, guna membuatnya terlihat makin mengerikan di tengah medan perang.  

Bergabung bersama Yilong adalah Chu Hun (Peter Ho), desertir yang menyimpan hasrat balas dendam pada Guan, juga gadis bernama Jingang (Lin Chenhan), yang punya kemampuan beladiri tinggi meski masih remaja. Double World menjanjikan turnamen mematikan yang diikuti puluhan jagoan. Turnamen itu sendiri, yang dibagi menjadi tiga babak, baru dimulai setelah 40 menit. Pada babak pertama, tiap anggota tim diikat satu sama lain, kemudian adu kecepatan meniti di atas rantai, sembari menghindari batu-batu besar. Jatuh berarti mati, karena di bawah, paku-paku besi telah menanti.

Set piece menarik, namun bukan penebusan yang setara untuk penantian 40 menit karena bergulir terlalu singkat, pula dibungkus koreografi medioker. Keluhan serupa layak disematkan bagi babak-babak berikutnya. Sementara begitu terjun ke pertempuran, para jagoan yang tampak memiliki kemampuan beragam itu hanya hadir untuk mati. Jeda antara aksi yang lumayan lama, dijembatani oleh cerita setengah matang dari naskah garapan Fendou Liu dan Ning Wen. Subplot balas dendamnya miskin emosi akibat penokohan tipis, sementara pembangunan mitologi dunianya, yang menyertakan elemen fantasi, konsep “double world”, serta rahasia terkait jati diri Dong Yilong, rupanya sebatas tempelan belaka? Disimpan untuk sekuel mungkin?

Ada pula subplot balas dendam lain, kali ini melibatkan budak asal Yu Utara (Luxia Jiang) yang berhasrat membunuh Chu Hun. Apa esensi cabang cerita ini? Alat menyadarkan Chu Hun agar tak hidup dipenuhi dendam? Tidak juga, sebab akhirnya sang desertir tetap menuntaskan misi tersebut. Si budak (saya lupa namanya) sempat menghilang, sebelum mendadak muncul di klimaks, sebelum kemudian tewas. Coba jawab pertanyaan saya: Bisakah kalian menemukan karakter wanita yang tak berujung meregang nyawa atau bernasib tragis di film ini?

Setidaknya departemen akting cukup membantu. Henry makin matang sebagai aktor lewat penampilan solid sebagai pemuda naif yang dipaksa menatap kekejaman dunia. Lin Chenhan tak kalah apik. Berkatnya, Double World terasa lebih playful. Sedangkan cast lain sekadar menjalankan pekerjaan mereka, sama halnya dengan sang sutradara, Teddy Chan.

Teddy begitu menggantungkan nasib pada CGI, yang mayoritas berfungsi menghidupkan unsur fantasi, yang walau (sedikit) menambah warna melalui monster-monster seperti kalajengking raksasa, ular raksasa, dan lain-lain, tampil kurang maksimal akibat inkonsistensi kualitas CGI. Tatkala sesaat beralih dari efek komputer, aksi baku hantamnya juga jauh dari kesan impresif. Beberapa gore yang menambah tingkat kebrutalan pertarungan nyatanya tak sanggup menolong, sebab sekali lagi, Teddy cuma menjalankan pekerjaan. Sulit dipercaya kalau film ini ditangani oleh sineas di balik Bodyguards and Assassins (2009) dan Kung Fu Jungle (2014).


Available on NETFLIX

1 komentar :

Comment Page:
Redo anggara mengatakan...

Tapi saya fun-fun ajah nonton nya, memang beberapa karakter nya agak tipis tapi setidaknya bisa buat kita peduli. Yg menarik laga nya yg menghibur sekali.