REVIEW - SHIRLEY

Tidak ada komentar

SPOILER ALERT!!!
Datang dari sutradara Josephine Decker yang melahirkan drama bernarasi unik lewat Madeline’s Madeline (2018), Shirley merupakan film biografi yang menghindari keklisean film biografi. Karena meski karakternya adalah figur dunia nyata, serta diisi beberapa fakta, film ini merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Susan Scarf Merrell, yang meski dilandasi kisah hidup novelis Shirley Jackson, tuturannya digiring ke ranah fiksi.

Filmnya dibuka melalui perkenalan kepada pasangan suami-istri baru, Fred (Logan Lerman) dan Rose (Odessa Young), yang hendak tinggal sementara di rumah Shirley Jackson (Elisabeth Moss) dan sang suami, Stanley Edgar Hyman (Michael Stuhlbarg). Fred sedang berusaha menggapai mimpinya menjadi dosen di bawah bimbingan Stanley. Awalnya semua nampak baik-baik saja, tatkala Fred dan Rose mendapat sambutan hangat. Hingga mereka bertemu Shirley.

Shirley bukan sosok ramah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dalam kondisi mabuk, belum memiliki ide untuk karya terbaru, dan saat ada seseorang bertanya, “Apa buku terbarumu?”, ia menjawab, “A little novella called NONE OF YOUR GODDAMN BUSINESS”. Setelahnya, kita pu tahu jika Stanley, di balik status cendekiawan serta senyumnya, adalah pria tukang selingkuh yang selalu berusaha menancapkan kuasanya atas sang istri.

Ketika Shirley berkata ingin menulis novel alih-alih novella, Stanley merespon, “Kamu belum siap”. Pun setiap karya Shirley wajib melewati review-nya. Sosok Stanley mewakili superioritas “suami intelektual” terhadap istri yang jamak terjadi pada era 1950-an (bahkan sampai sekarang) selaku latar filmnya. Superioritas tersebut ditanamkan lewat manipulasi pikiran, di mana para pria, melalui kontrol-kontrolnya berusaha menegaskan kalau wanita tak lebih pintar, sehingga harus melewati persetujuan mereka jika ingin melakukan apa saja.

Rose akhirnya ikut jadi korban ketidakadilan. Stanley memintanya berhenti berkuliah guna melakukan pekerjaan rumah, yang mana tak sanggup dilakukan Shirley. Walau sempat keberatan, sebagai bentuk dukungan atas ambisi Fred, ia akhirnya menurut. Dari situlah Rose mulai banyak berinteraksi dengan Shirley di rumah, khususnya setelah si novelis menciptakan karakter berdasarkan dirinya.

Selain sosok Rose selaku pondasi karakter, novel terbaru Shirley (berjudul Hangsaman, terbit tahun 1951) juga terinspirasi kasus hilangnya mahasiswi bernama Paula. Shirley adalah antisosial, sehingga dia butuh bantuan Rose mengumpulkan data-data mengenai kasus Paula, entah dari arsip di kampus, maupun kesaksian warga. Aktivitas itu membawa Rose mendengar pergunjingan erkait Shirley. Ada yang menyebutnya gila. Ada yang percaya ia menulis cerita tentang kanibal. Masalahnya, semua informasi itu selalu dibumbui “Katanya”. Naskah buatan Sarah Gubbins menyelipkan ironi, bagaimana publik menjauhi Shirley berdasarkan kabar burung yang dipercaya sebagai realita, sementara sang novelis, yang dipandang amat buruk, justru mau repot-repot mencari fakta “hanya” untuk melahirkan fiksi.

Decker dan Gubbins menggarap Shirley layaknya penghormatan, mengemasnya sesuai gaya sang novelis. Meski berupa drama beraroma quasi-biografi, Shirley kental nuansa horor berkat musik eerie buatan Tamar-kali (Mudbound, The Assistant), pula visual-visual atmosferik termasuk beberapa sekuen nightmarish, yang sesekali menyertakan darah dan sedikit jump scare. Nuansa yang bukan cuma mencerminkan kekhasan karya Shirley, pula psikisnya. Moss menghidupkan sosok Shirley yang penuh kecemasan, seolah dapat meledak kapan saja. Di sisi lain, Young membawa Rose terombang-ambing di garis batas keluguan dan kesadaran terhadap kenyataan.

Penyutradaraan Decker turut bersinar sewaktu menangani romantisme, yang secara alamiah bergerak ke sensualitas. Satu adegan paling berkesan adalah saat Rose menghampiri Shirley yang sedang duduk di kursi ayun. Kamera berfokus pada bagian bawah tubuh keduanya yang pelan-pelan mendekat. Decker membangun sensualitas intens tanpa mengeksploitasi seksualitas murahan, membuktikan bahwa female gaze cenderung lebih elegan dalam membungkus situasi semacam ini.  

Punya karakter penulis novel, menjadi wajar ketika Shirley tak luput membahas perihal penciptaan karya. Paparan seputar kreativitas dalam proses menulis yang melelahkan otak dan hati, jadi puncak dinamika. Sehingga saat cerita sejenak berhenti mengeksplorasi persoalan tersebut, ditambah time jump dadakan sekitar satu tahun, Shirley sempat kehilangan daya cengkeram sekaligus elemen pembeda dari kebanyakan drama.

Sampai kita tiba di babak akhir. Diawali oleh kesadaran Rose atas rahasia yang sudah Shirley ketahui (dan penonton curigai), kita digiring menuju adegan menegangkan berlatar sebuah tebing. Kemudian konklusi yang bakal menyulut diskusi dan kebingungan pun menyusul.

(SPOILER STARTS) Ada beberapa poin yang mungkin filmnya ingin sampaikan melalui ambiguitas konklusinya: 1) Bagaimana penulis memproyeksikan imajinasi ke dalam realita; 2) Proses seorang penulis memikirkan opsi ending, yang mengharuskannya memilih antara gambaran ideal penuh harap atau realita kelam; 3) Metafora proses individu “membunuh” dirinya yang lama sebelum bertransformasi menjadi sosok yang baru.

Tapi yang bagi saya lebih ambigu justru adegan penutupnya. Setelah menghabiskan sepanjang durasi mempresentasikan cerita empowering, kenapa Shirley bahagia mendengar pengakuan sang suami yang menyebutnya jenius? Apakah suatu inkonsistensi? Atau justru paparan pahitnya realita? Bahwa akhirnya, tidak peduli seberapa ingin wanita merdeka, dunia masih memaksa mereka menerima ketidakadilan. Berbeda dengan twist tentang Rose, ambiguitas poin ini justru mengurangi ketegasan pesannya. (SPOILER ENDS).



Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: