27/08/20

REVIEW - BOYS STATE

0 View

Boys State adalah program musim panas yang dilangsungkan tiap tahun di berbagai negara bagian Amerika Serikat. Pesertanya adalah siswa SMA tahun pertama, di mana selama seminggu, mereka membangun “pemerintahan palsu” selaku cerminan sistem politik Amerika Serikat dari poin paling dasar, termasuk proses pemilu. Tujuannya, agar para remaja ini melek soal demokrasi.

Sebagaimana diperlihatkan sekuen pembuka yang menampilkan jajaran alumni Boys State yang menjadi figur besar seperti Neil Armstrong, Dick Cheney, hingga Bill Clinton (selain mereka, ada pula Jon Bon Jovi, Michael Jordan, serta kritikus film legendaris Roger Ebert), pihak American Legion selaku penyelenggara boleh berbangga hati atas kesuksesan program tersebut, setidaknya menurut kaca mata tertentu. Tapi dokumenter karya pasangan suami-istri Jesse Moss dan Amanda McBaine ini bukanlah iklan untuk American Legion.

Darinya kita merasakan kekhawatiran, namun juga harapan, saat kurang lebih 1000 remaja laki-laki menghadiri Boys State di Texas, lalu dibagi ke dalam dua partai, Nasionalis dan Federalis, untuk kemudian berkampanye dan melaksanakan pemilu guna memilih berbagai posisi pemerintahan, dengan Gubernur memegang status tertinggi.

Mungkin ada pertanyaan, “Kenapa hanya ada remaja laki-laki?”. Sebenarnya ada program lain bernama Girls State yang dikhususkan untuk remaja puteri. Mengapa mesti dipisah? Isu segregasi gender memang sempat disinggung, walau cuma sekilas. Agak disayangkan, namun bukan kesalahan apabila Moss dan McBaine tak menggali problematika itu lebih lanjut. Paling tidak, saat film ini mengajak penonton mengintip apa jadinya sewaktu isu aborsi hanya didiskusikan oleh para pria, kita bisa sepakat kalau representasi wanita memang amat dibutuhkan.

Kentara bahwa pembuat filmnya berpihak pada Nasionalis. Kita lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka, bahkan Cagub favorit Moss dan McBaine pun berasal dari sana. Namanya Steven Garza, remaja latin pendiam yang awalnya bukanlah unggulan. Pole position dipegang Robert MacDougall, tipikal frat boys sarat privilege. Tampan, karismatik, kaya raya, dan mengedepankan maskulinitas. Tapi ia pun tak digambarkan sebagai sosok jahat. Robert merupakan seorang liberal yang memilih memuaskan kaum konservatif demi kemenangan, yang mana jamak politikus lakukan. “You can’t win on what you believe in your heart”, ungkapnya. Toh pada akhirnya, Robert tak kuasa membohongi nuraninya.

Sebaliknya, di bawah pimpinan remaja penyandang disabilitas bernama Ben Feinstein, Federalis tak ragu melakukan kampanye negatif, baik kepada ketua Nasionalis, RenĂ© Otero, maupun Steven. Apakah kedua sutradara memperlihatkan keberpihakan? Ya. Apakah itu bentuk ketidakadilan bercerita? Tentu tidak. Kaum konservatif tidak disudutkan. “This is what every liberal needs”, ucap Otero di salah satu wawancara, merujuk pada saratnya konservativisme di lingkungan Boys State. Bahwasanya, untuk benar-benar mewujudkan “kebebasan yang baik”, liberal mesti belajar mencari cara lebih cerdik dalam menghadapi kekolotan.

Menonton Boys State bagai latihan menerima keberagaman, juga proses belajar memperjuangkan kebenaran personal tanpa mengantagonisasi mereka yang berbeda. Ada perasaan terganggu bercampur kekhawatiran, kala sejak awal, filmnya sudah memperlihatkan segelintir remaja secara subtil melontarkan justifikasi terhadap Trump. Tapi sekali lagi, ini bukan soal “liberal versus konservatif”, melainkan demokrasi, di mana tiap sudut pandang, selama disampaikan secara tepat, wajib dihargai. Sebuah demokrasi, yang apabila dilangsungkan dengan baik, membuat menang/kalah tidak jadi masalah.  

Pemilihan Steven Garza sebagai “jagoan” bukan (cuma) didasari keberpihakan. Karakternya memungkinkan Boys State mengusung tema from zero to hero. Pun dibanding para pesaing, harus diakui Garza paling piawai urusan menggerakkan hati pendengar pidatonya. Dibungkus keahlian Moss dan McBaine melahirkan momen-momen uplifting lewat penyutradaraan mereka, kalimat-kalimat Garza selalu berhasil mengaduk-aduk perasaan, meski titik paling menyentuh justru terdapat jelang akhir film, kala Garza yang biasanya cenderung diam, menjadi emosional.

Sebagaimana ia sampaikan pada sang ibu, ledakan emosi tersebut bukan disebabkan hasil pemilu. Di situlah Garza (juga saya) mendapati, di balik segala kekhawatiran, masih ada harapan. Harapan bahwa dengan hati, mungkin masih ada secercah harapan untuk masa depan demokrasi yang lebih baik di tangan para pemuda ini. Maybe the kids are all right, but the government and its system aren’t.

Available on APPLE TV+

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar