Boys State adalah program musim panas yang dilangsungkan tiap tahun di
berbagai negara bagian Amerika Serikat. Pesertanya adalah siswa SMA tahun pertama,
di mana selama seminggu, mereka membangun “pemerintahan palsu” selaku cerminan
sistem politik Amerika Serikat dari poin paling dasar, termasuk proses pemilu. Tujuannya,
agar para remaja ini melek soal demokrasi.
Sebagaimana diperlihatkan sekuen pembuka yang menampilkan jajaran
alumni Boys State yang menjadi figur besar seperti Neil Armstrong, Dick
Cheney, hingga Bill Clinton (selain mereka, ada pula Jon Bon Jovi, Michael
Jordan, serta kritikus film legendaris Roger Ebert), pihak American Legion selaku
penyelenggara boleh berbangga hati atas kesuksesan program tersebut, setidaknya
menurut kaca mata tertentu. Tapi dokumenter karya pasangan suami-istri Jesse
Moss dan Amanda McBaine ini bukanlah iklan untuk American Legion.
Darinya kita merasakan kekhawatiran, namun juga harapan, saat
kurang lebih 1000 remaja laki-laki menghadiri Boys State di Texas, lalu
dibagi ke dalam dua partai, Nasionalis dan Federalis, untuk kemudian berkampanye
dan melaksanakan pemilu guna memilih berbagai posisi pemerintahan, dengan
Gubernur memegang status tertinggi.
Mungkin ada pertanyaan, “Kenapa hanya ada remaja laki-laki?”.
Sebenarnya ada program lain bernama Girls State yang dikhususkan untuk
remaja puteri. Mengapa mesti dipisah? Isu segregasi gender memang sempat
disinggung, walau cuma sekilas. Agak disayangkan, namun bukan kesalahan apabila Moss dan McBaine tak menggali problematika itu lebih lanjut. Paling tidak, saat film ini mengajak
penonton mengintip apa jadinya sewaktu isu aborsi hanya didiskusikan oleh para
pria, kita bisa sepakat kalau representasi wanita memang amat dibutuhkan.
Kentara bahwa pembuat filmnya berpihak pada Nasionalis. Kita
lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka, bahkan Cagub favorit Moss dan
McBaine pun berasal dari sana. Namanya Steven Garza, remaja latin pendiam yang
awalnya bukanlah unggulan. Pole position dipegang Robert MacDougall,
tipikal frat boys sarat privilege. Tampan, karismatik, kaya raya,
dan mengedepankan maskulinitas. Tapi ia pun tak digambarkan sebagai sosok
jahat. Robert merupakan seorang liberal yang memilih memuaskan kaum konservatif
demi kemenangan, yang mana jamak politikus lakukan. “You can’t win on what
you believe in your heart”, ungkapnya. Toh pada akhirnya, Robert tak kuasa
membohongi nuraninya.
Sebaliknya, di bawah pimpinan remaja penyandang disabilitas
bernama Ben Feinstein, Federalis tak ragu melakukan kampanye negatif, baik kepada
ketua Nasionalis, René Otero, maupun Steven. Apakah kedua sutradara memperlihatkan
keberpihakan? Ya. Apakah itu bentuk ketidakadilan bercerita? Tentu tidak. Kaum
konservatif tidak disudutkan. “This is what every liberal needs”, ucap
Otero di salah satu wawancara, merujuk pada saratnya konservativisme di
lingkungan Boys State. Bahwasanya, untuk benar-benar mewujudkan “kebebasan
yang baik”, liberal mesti belajar mencari cara lebih cerdik dalam menghadapi
kekolotan.
Menonton Boys State bagai latihan menerima keberagaman,
juga proses belajar memperjuangkan kebenaran personal tanpa mengantagonisasi
mereka yang berbeda. Ada perasaan terganggu bercampur kekhawatiran, kala sejak
awal, filmnya sudah memperlihatkan segelintir remaja secara subtil melontarkan
justifikasi terhadap Trump. Tapi sekali lagi, ini bukan soal “liberal versus
konservatif”, melainkan demokrasi, di mana tiap sudut pandang, selama
disampaikan secara tepat, wajib dihargai. Sebuah demokrasi, yang apabila
dilangsungkan dengan baik, membuat menang/kalah tidak jadi masalah.
Pemilihan Steven Garza sebagai “jagoan” bukan (cuma) didasari
keberpihakan. Karakternya memungkinkan Boys State mengusung tema from
zero to hero. Pun dibanding para pesaing, harus diakui Garza paling piawai
urusan menggerakkan hati pendengar pidatonya. Dibungkus keahlian Moss dan McBaine
melahirkan momen-momen uplifting lewat penyutradaraan mereka,
kalimat-kalimat Garza selalu berhasil mengaduk-aduk perasaan, meski titik
paling menyentuh justru terdapat jelang akhir film, kala Garza yang biasanya
cenderung diam, menjadi emosional.
Sebagaimana ia sampaikan pada sang ibu, ledakan emosi
tersebut bukan disebabkan hasil pemilu. Di situlah Garza (juga saya) mendapati,
di balik segala kekhawatiran, masih ada harapan. Harapan bahwa dengan hati,
mungkin masih ada secercah harapan untuk masa depan demokrasi yang lebih baik di
tangan para pemuda ini. Maybe the kids are all right, but the government and
its system aren’t.
Available on APPLE TV+
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar