Cukup disayangkan, akibat pandemi karya terbaru sutradara Adriyanto Dewo (Tabula Rasa, Lima) yang sebelumnya sempat diputar di Macau International Film Festival dan CinemAsia Film Festival ini batal tayang di layar lebar. Walau akhirnya tetap bisa ditonton di Mola TV, kesempatan diputar saat libur lebaran pun sirna. Tidak ada jaminan filmnya bakal sukses secara komersial mengingat gaya bertuturnya jauh dari kemeriahan "film hari raya" ditambah ketiadaan nama bankable di jajaran pemain, namun saya bisa membayangkan, menontonnya bertepatan (atau minimal berdekatan) dengan Idul Fitri bakal menghasilkan pengalaman begitu berkesan berkat kisahnya yang amat dekat.
Alurnya mengisahkan pasangan suami-istri, Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudya), yang hendak mudik berdua mengendarai mobil. Tujuannya adalah rumah orang tua Firman. Tapi sejak awal sudah nampak ada masalah. Secara tersirat kita mempelajari bahwa beberapa waktu terakhir, pasutri ini hidup terpisah atas permintaan sang istri. Aida baru mengetahui dirinya mandul, sehingga memerlukan waktu menyendiri. Saat itulah ia menaruh curiga pada kesetiaan Firman.
Tentu saja sang suami menyangkal sudah berselingkuh. Tak butuh waktu lama bagi penonton dan Aida untuk meragukan sangkalan tersebut. Firman menjadikan "nggak denger, kan di-silence" sebagai alasan tidak mengangkat telepon, sampai beberapa saat kemudian, ternyata handphone-nya berada dalam mode getar kala ada panggilan masuk. Panggilan itu berasal dari sang ibu. Firman mengaku sedang terjebak macet di jalan tol, padahal keluar ke jalan raya pun belum. Ada tendensi berbohong yang besar dari pria ini.
Sepanjang perjalanan kita diajak menyaksikan kemacetan khas mudik. Sebuah pemandangan yang bisa didapat karena proses pengambilan gambar bertepatan dengan Idul Adha, dan berkatnya realisme Mudik pun bisa dibangun. Lalu malam hari tiba, dan terjadilah peristiwa itu. Saat itu giliran Aida menyetir. Dia menabrak pria pengendara motor. Pria itu tewas. Meski sempat kabur, perasaan bersalah mendorong Aida dan Firman menyusul ke rumah sakit. Sewaktu mereka bertanya soal kondisi pria itu, seorang suster tak mampu memberi jawaban pasti karena banyaknya kecelakaan. "Lebaran ya begini", katanya
Pernyataan di atas menegaskan betapa kecelakaan lalu lintas saat mudik merupakan hal biasa. Bahkan, Adriyanto Dewo sendiri mengalami musibah serupa, yang membuatnya harus menyutradarai film ini di atas kursi roda selama dua minggu. Miris sebenarnya. Nyawa ratusan manusia yang melayang tiap tahun berubah jadi angka-angka statistik, lalu dianggap suatu kewajaran selaku bentuk rutinitas.
Dengan mengangkat hal itu, naskah yang juga ditulis oleh Adriyanto mengembalikan sisi kemanusiaan, khususnya bagi mereka yang ditinggalkan. Agar sengketa bisa diselesaikan secara damai, Firman dan Aida memilih mendatangi rumah korban, di mana Santi (Asmara Abigail) tengah luar biasa terpukul. Kebahagiaan karena sang suami akhirnya pulang setelah lima tahun seketika sirna. Tapi realita yang ditangkap Mudik tidak berhenti di persoalan kecelakaan.
Melalui pergolakan hati Aida, diselipkan pula perihal pertemuan dengan keluarga selama lebaran, yang alih-alih kebahagiaan, justru mengundang kecemasan akan penghakiman-penghakiman yang menanti di rumah. Pun anda akan mendapati, tokoh-tokohnya beberapa kali mengungkapkan prasangka. Ada yang terbukti kebenarannya, ada yang terbantahkan (Sesuatu yang menyulut deretan perdebatan terkait film pendek Tilik belum lama ini).
Diskriminasi gender tidak lupa dikupas. Dari sisi Aida, ia satu dari sekian banyak wanita korban seksisme, yang kehilangan harganya di mata masyarakat akibat tak mampu memiliki momongan. Sedangkan Santi dihadapkan pada seksisme (plus keserakahan) berkedok kepedulian. Pria-pria kampung menggelar pertemuan dengan Firman dan Aida demi mencari jalan keluar (baca: meminta ganti rugi sebesar 30 juta rupiah).
Apakah angka itu didapat dari hasil diskusi dengan Santi? Rupanya tidak. Bahkan ketika mendadak Santi mendatangi pertemuan itu, para warga mengusirnya, dengan bersenjatakan pernyataan bahwa ia tak semestinya keluar rumah karena sang suami baru meninggal. Para pria, baik warga kampung maupun Firman, berlomba-lomba menjadi "penyelesai masalah", menggunakan cara kotor. Kalimat-kalimat bernada tinggi tak henti mereka lontarkan, sementara kedua wanita memilih bertukar isi hati. Putri Ayudya dan Asmara Abigail memamerkan performa kuat sebagai dua figur yang sama-sama dihantui kehilangan serta perasaan bersalah.
Adriyanto mengarahkan filmnya dengan senstivitas, ditemani musik gubahan komposer langganannya, Indra Perkasa, yang paling mencuri perhatian saya melalui orkestrasi megah di penghujung durasi. Indah, cukup mendayu, namun tanpa kesan cengeng. Sayangnya, konflik Mudik memuncak dalam pertengkaran penuh teriakan verbal berisi kalimat-kalimat klise, ketimbang kesubtilan di mana ekspresi rasa dipercantik sebagaimana ditampilkan momen penutupnya. Pun pengembangan konfliknya, dari masalah relatable yang jarang disentuh seputar kecelakaan di tengah mudik, lagi-lagi menyentuh persoalan yang sudah (terlalu) sering diusung film drama negeri ini, sebutlah urusan poligami hingga kehamilan. Memang dekat dengan realita, tapi ada banyak varian untuk menyajikan tema empowerment (Sinema India ada di garis terdepan perihal ini).
Pada akhirnya, di balik segala problematika tadi, Mudik tetaplah mengenai perjalanan pulang, memaafkan, dan berdamai. Termasuk memaafkan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, juga "pulang" menuju kemerdekaan sebagai individu yang bebas.
Available on MOLA TV
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar