Sebenarnya sah-sah saja ketika
sebuah dokumenter hanya mengangkat, atau cenderung memihak pada satu sisi. Menjadi
kurang utuh di saat masalah yang diangkat merupakan kontroversi sarat
pro-kontra yang tak pernah mencapai titik temu. Karena di situ, dialog antar
sisi justru memperkaya pemahaman. Memihak salah satunya, bakal memunculkan
kesan kampanye atau propaganda. Tapi sekali lagi, saya tidak memakai kata “salah”,
melainkan “kurang utuh”. Bukan sebuah dosa, hanya saja begitu film usai,
penonton akan mengharapkan lebih banyak.
Begitulah Spaceship Earth garapan Matt Wolf. Dokumenter tentang proyek
Biosphere 2, di mana kubah raksasa sebagai replika ekosistem Bumi diciptakan,
selaku eksperimen guna mencari tahu seberapa besar kemungkinan manusia dapat
hidup di planet lain. Proyek tersebut berlangsung pada 26 September 1991,
ketika delapan partisipan (disebut “biospherians”),
harus tinggal di dalam kubah selama dua tahun, sepenuhnya terpisah dari dunia
luar. Setidaknya begitulah tujuan awalnya.
Tapi proyek Biosphere 2 baru kita
temui saat film menginjak durasi sekitar satu jam. Sebelumnya, penonton dibawa
mundur ke tahun 1960-an, melihat bagaimana sekelompok hippies hidup secara
komunal di bawah komando John P. Allen. Tapi alih-alih menikmati hidup tanpa
beban sambil menghisap ganja, para hippies ini menjalankan misi-misi, yang
semakin lama, skalanya semakin besar.
Diawali pendirian grup teater,
menjalankan peternakan, berlayar menggunakan kapal buatan
sendiri, kemudian menjalankan berbagai bisnis di banyak negara, dari hotel
di Kathmandu hingga galeri seni di London. Pertunjukan teater di Antartika pun
sempat dilakoni. Menariknya, tak satu pun dari mereka berstatus ekspertis. Tiap
misi dijalankan bermodal semangat komunal, bahwa jika dilakukan bersama,
kemustahilan dapat ditiadakan.
Pada titik ini Spaceship Earth dipenuhi momen mengagumkan, yang bisa membuat penonton
lupa kalau Wolf tak memberi kita kesempatan mengenal lebih jauh deretan
narasumbernya, juga dinamika hubungan mereka. Semua bergerak cepat, sampai
akhirnya dicetuskanlah misi terbaru sekaligus terbesar: membangun Biosphere 2
(Jika anda mempertanyakan wujud Biosphere 1, jawabannya adalah Bumi itu
sendiri). Disokong suntikan dana dari Ed Bass yang konon mencapai 200 juta
dollar, dibangunlah replika Bumi. Oksigen, air, tumbuhan, hewan, bahkan
miniatur laut lengkap dengan biota-biotanya, semua tersedia.
Wajar bila anda merasa bak tengah
menonton film fiksi-ilmiah. Pelakunya pun menyebut misi mereka sebagai “science without fiction”. Dibarengi voice over yang kerap berisi kalimat
bernada ambisius, menonton Spaceship
Earth terasa seperti sedang mendengarkan dongeng berlatar masa depan,
seputar hasrat manusia mencapai keagungan. Kemudian muncul pertanyaan. Apakah
ini murni riset ilmiah, atau ambisi manusia bermain Tuhan?
Kontroversi lain
turut mencuat, khususnya mengenai keakuratan eksperimen itu dari sudut pandang
sains. Belum lagi sewaktu ditengarai terjadi aktivitas yang menyalahi aturan
eksperimen begitu kedelapan Biospherians mulai
mengalami kesulitan (kurangnya asupan oksigen dan pangan jadi kendala
terbesar). Isu-isu tersebut dimunculkan, tapi terkesan hanya sebagai formalitas
belaka. Begitu tiba saatnya dua sisi dibenturkan, filmnya masih sibuk
memperdengarkan opini narasumber, yang masih berkutat soal “betapa luar biasa
misi ini”.
Sudut pandang kontra hanya
ditampilkan melalui stok footage berita
atau sekilas wawancara dari masa lampau. Sedangkan narasumber yang khusus
diwawancari demi film ini, semua berasal dari pelaku misi, alias bawahan John,
yang sempat dituduh menciptakan kelompok cult.
Setiap mencuat isu baru, filmnya entah buru-buru mengalihkan fokus tanpa
membahasnya lebih jauh, atau memberi kesempatan narasumber, termasuk John
sendiri, menyampaikan pembenaran.
Sekali lagi, itu bukanlah dosa. Mungkin
saja ini memang sebuah branding. Apalagi,
ditinjau dari segi teknis, pencapaian Spaceship
Earth tidak main-main. Entah berapa ratus (atau mungkin ribu) jam stok
rekaman yang mesti diolah David Teague selaku editor untuk menghasilkan susunan
rapi semacam ini, walau sempat tersandung masalah pacing. Tapi jangan berharap melalui dokumenter ini bersedia merangkum
aneka perspektif. Pada akhirnya, John P. Allen tetaplah sosok revolusioner
jenius yang disalahartikan.
Available on HULU
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar