03/08/20

REVIEW - SPACESHIP EARTH

0 View
Sebenarnya sah-sah saja ketika sebuah dokumenter hanya mengangkat, atau cenderung memihak pada satu sisi. Menjadi kurang utuh di saat masalah yang diangkat merupakan kontroversi sarat pro-kontra yang tak pernah mencapai titik temu. Karena di situ, dialog antar sisi justru memperkaya pemahaman. Memihak salah satunya, bakal memunculkan kesan kampanye atau propaganda. Tapi sekali lagi, saya tidak memakai kata “salah”, melainkan “kurang utuh”. Bukan sebuah dosa, hanya saja begitu film usai, penonton akan mengharapkan lebih banyak.

Begitulah Spaceship Earth garapan Matt Wolf. Dokumenter tentang proyek Biosphere 2, di mana kubah raksasa sebagai replika ekosistem Bumi diciptakan, selaku eksperimen guna mencari tahu seberapa besar kemungkinan manusia dapat hidup di planet lain. Proyek tersebut berlangsung pada 26 September 1991, ketika delapan partisipan (disebut “biospherians”), harus tinggal di dalam kubah selama dua tahun, sepenuhnya terpisah dari dunia luar. Setidaknya begitulah tujuan awalnya.

Tapi proyek Biosphere 2 baru kita temui saat film menginjak durasi sekitar satu jam. Sebelumnya, penonton dibawa mundur ke tahun 1960-an, melihat bagaimana sekelompok hippies hidup secara komunal di bawah komando John P. Allen. Tapi alih-alih menikmati hidup tanpa beban sambil menghisap ganja, para hippies ini menjalankan misi-misi, yang semakin lama, skalanya semakin besar.

Diawali pendirian grup teater, menjalankan peternakan, berlayar menggunakan kapal buatan sendiri, kemudian menjalankan berbagai bisnis di banyak negara, dari hotel di Kathmandu hingga galeri seni di London. Pertunjukan teater di Antartika pun sempat dilakoni. Menariknya, tak satu pun dari mereka berstatus ekspertis. Tiap misi dijalankan bermodal semangat komunal, bahwa jika dilakukan bersama, kemustahilan dapat ditiadakan.

Pada titik ini Spaceship Earth dipenuhi momen mengagumkan, yang bisa membuat penonton lupa kalau Wolf tak memberi kita kesempatan mengenal lebih jauh deretan narasumbernya, juga dinamika hubungan mereka. Semua bergerak cepat, sampai akhirnya dicetuskanlah misi terbaru sekaligus terbesar: membangun Biosphere 2 (Jika anda mempertanyakan wujud Biosphere 1, jawabannya adalah Bumi itu sendiri). Disokong suntikan dana dari Ed Bass yang konon mencapai 200 juta dollar, dibangunlah replika Bumi. Oksigen, air, tumbuhan, hewan, bahkan miniatur laut lengkap dengan biota-biotanya, semua tersedia.

Wajar bila anda merasa bak tengah menonton film fiksi-ilmiah. Pelakunya pun menyebut misi mereka sebagai “science without fiction”. Dibarengi voice over yang kerap berisi kalimat bernada ambisius, menonton Spaceship Earth terasa seperti sedang mendengarkan dongeng berlatar masa depan, seputar hasrat manusia mencapai keagungan. Kemudian muncul pertanyaan. Apakah ini murni riset ilmiah, atau ambisi manusia bermain Tuhan?

Kontroversi lain turut mencuat, khususnya mengenai keakuratan eksperimen itu dari sudut pandang sains. Belum lagi sewaktu ditengarai terjadi aktivitas yang menyalahi aturan eksperimen begitu kedelapan Biospherians mulai mengalami kesulitan (kurangnya asupan oksigen dan pangan jadi kendala terbesar). Isu-isu tersebut dimunculkan, tapi terkesan hanya sebagai formalitas belaka. Begitu tiba saatnya dua sisi dibenturkan, filmnya masih sibuk memperdengarkan opini narasumber, yang masih berkutat soal “betapa luar biasa misi ini”.

Sudut pandang kontra hanya ditampilkan melalui stok footage berita atau sekilas wawancara dari masa lampau. Sedangkan narasumber yang khusus diwawancari demi film ini, semua berasal dari pelaku misi, alias bawahan John, yang sempat dituduh menciptakan kelompok cult. Setiap mencuat isu baru, filmnya entah buru-buru mengalihkan fokus tanpa membahasnya lebih jauh, atau memberi kesempatan narasumber, termasuk John sendiri, menyampaikan pembenaran.

Sekali lagi, itu bukanlah dosa. Mungkin saja ini memang sebuah branding. Apalagi, ditinjau dari segi teknis, pencapaian Spaceship Earth tidak main-main. Entah berapa ratus (atau mungkin ribu) jam stok rekaman yang mesti diolah David Teague selaku editor untuk menghasilkan susunan rapi semacam ini, walau sempat tersandung masalah pacing. Tapi jangan berharap melalui dokumenter ini bersedia merangkum aneka perspektif. Pada akhirnya, John P. Allen tetaplah sosok revolusioner jenius yang disalahartikan.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar