02/08/20

REVIEW - SHAKUNTALA DEVI

0 View
Alphabet? So much confusion. Number? No confusion. What you see is what you getting”. Demikian ucap Shakuntala Devi (Vidya Balan). Sayangnya manusia tidak sesederhana itu. Angka bisa dilihat hanya sebagai angka, namun individu jauh lebih kompleks. Melalui biografi garapan sutradara Anu Menon ini, sinema India kembali memperlihatkan kapasitasnya berlaku adil serta mengedepankan hati dalam menangani isu kemanusiaan, meski presentasinya tak senantiasa mulus.

Shakuntala Devi dibuka saat Anupama Banerji (Sanya Malhotra), puteri Shakuntala, bersiap memperkarakan sang ibu ke pengadilan. Mengapa? Guna menjawab itu, filmnya membawa kita jauh ke belakang, tepatnya sejak Shakuntala kecil (Araina Nand) mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang jenius di bidang matematika. Melihat bakat Shakuntala, ayahnya, Bishaw Mitra Mani (Prakash Belawadi), membawa puterinya berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain sebagai bentuk pertunjukan. Di sana, Shakuntala bakal menjawab soal-soal rumit yang diajukan guru, dan setiap pertunjukan selalu berujung kesuksesan, tepuk tangan meriah, serta sedikit uang untuk sang ayah.

Sebuah eksploitasi? Mungkin. Pastinya, Shakuntala menikmati itu, biarpun ia harus kehilangan masa kecil. Kehilangan yang memukulnya adalah sewaktu sang kakak, Sharada (Jiya Shah), meninggal. Sharada memang sudah lama sakit-sakitan. Jangankan membawanya ke rumah sakit, uang hasil pertunjukan Shakuntala pun cuma cukup membiayai kebutuhan pokok sehari-hari. Shakuntala menyalahkan orang tuanya atas kematian Sharada, khususnya sang ibu (Ipshita Chakraborty Singh), yang menurutnya, hanya bisa diam. Hari itu Shakuntala bersumpah akan menjadi “a very big woman”.

Menyusul berikutnya adalah perjalanan Shakuntala mewujudkan impian tersebut. Dari bocah kampung miskin yang tak mengenyam pendidikan, ia menjadi jenius matematika terkenal kelas dunia, mendapat julukan “Manusia Komputer” setelah mengalahkan komputer canggih dalam pertandingan hitung menghitung, mencatatkan namanya di buku rekor dunia selepas menyelesaikan perkalian 13 digit angka (7.686.369.774,870 × 2.465.099.745.779) dalam 28 detik, menemukan metode menghitung cepat sebagaimana kini banyak dipakai lembaga bimbingan belajar, menjadi astrologer, menulis buku, bahkan sempat menjajal politik.

Sebagai “bonus”, sepanjang perjalanan protagonisnya, film ini sesekali menyentuh beberapa isu sosial, seperti rasisme hingga peran gender. “Kenapa laki-laki selalu ingin merasa dibutuhkan oleh perempuan?”, tanya Shakuntala. Tapi perjalanan Shakuntala bukan satu-satunya hal yang coba diangkat. Shakuntala Devi berambisi tampil lebih. Sayangnya, lebih dari yang filmnya mampu.

Alurnya terus bergerak bolak-balik antara masa lalu dan kini, di mana kedua masa bak cerminan satu sama lain. Kita sudah melihat bagaimana masa kecil Shakuntala mempengaruhi proses tumbuh kembangnya, membuatnya bersumpah akan menjadi ibu yang lebih baik. Ironisnya, keinginan itu justru menciptakan pengulangan. Shakuntala ingin hadir dalam hidup Anupama. Dia ingin, puterinya tumbuh sebagai “a very big woman”, sama sepertinya. Tapi sebagaimana Shakuntala sendiri, itulah penyebab Anupama membenci dan ingin menjadi sosok yang sama sekali berbeda dari ibunya.

Anu Menon ingin filmnya tampil bertenaga. Tempo cepat ditambah iringan musik rancak pun dipakai. Benar bahwa pilihan gaya tersebut membuat Shakuntala Devi terkesan dinamis, tapi Anu berusaha terlalu keras memacu pergerakan cerita. Akibatnya, kala dipertemukan dengan penyuntingan buruk, aliran alurnya pun terasa buru-buru, liar, dan kasar. Bangunan emosi dari keterkaitan tiap linimasa tak seutuhnya tersalurkan, sebab tiap peristiwa gagal dijembatani dengan baik. Pun naskah yang Anu tulis bersama Nayanika Mahtani dan Ishita Moitra kurang piawai perihal menyeimbangkan fokus, kapan harus menjadi potret seorang Shakuntala Devi (yang mana dapat melahirkan sebuah film tersendiri), kapan menggambarkan bagaimana rasanya menjadi puteri seorang Shakuntala Devi.

Padahal, “balancing” merupakan tujuan film ini. Sebuah intensi yang baik, sebab ketimbang menyalahkan salah satu pihak, Anu berusaha mengajak penonton memahami keduanya tanpa menjustifikasi kesalahan masing-masing. Baik Shakuntala maupun Anupama menyimpan alasan di balik sikap mereka, hanya saja, tersulut benturan akibat kelalaian memandang satu sama lain sebagai individu yang berdiri sendiri dan terpisah dari pengotakkan peran (Ibu mestinya seperti ini, anak harusnya seperti itu). Pesan di atas mungkin takkan semudah itu meresap di otak penonton akibat ketidakmulusan penceritaan, tapi soal menyentuh hati, pengarahan Anu Menon, khususnya di babak konklusi, berhasil melahirkan momen-momen hangat yang melibatkan ibu dan anak.

Satu hal yang saya apresiasi adalah, sebagai biografi, Shakuntala Devi tidak ragu menampilkan deretan kelemahan protagonisnya, dan menjauh dari kesan mengultuskan. Kesan yang turut dibantu oleh penampilan gemilang Vidya Balan, yang secara meyakinkan, memainkan sosok jenius penuh kepercayaan diri dan tak jarang terkesan sombong, yang meski selalu tahu cara menyelesaikan masalah matematika, kerap tenggelam dalam ketidaktahuan bila dihadapkan pada masalah interpersonal, yang coba ia tutupi lewat senyum atau tawa. Shakuntala tidak paham, kenapa orang lain tak melihat dunia sebagaimana dirinya. Karena berbeda dengan angka, realita hidup tak selalu seperti apa yang nampak.


Available on PRIME VIDEO

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar