“Alphabet? So much confusion.
Number? No confusion. What you see is
what you getting”. Demikian ucap Shakuntala Devi (Vidya Balan). Sayangnya
manusia tidak sesederhana itu. Angka bisa dilihat hanya sebagai angka, namun
individu jauh lebih kompleks. Melalui biografi garapan sutradara Anu Menon ini,
sinema India kembali memperlihatkan kapasitasnya berlaku adil serta
mengedepankan hati dalam menangani isu kemanusiaan, meski presentasinya tak
senantiasa mulus.
Shakuntala Devi dibuka saat Anupama Banerji (Sanya Malhotra), puteri
Shakuntala, bersiap memperkarakan sang ibu ke pengadilan. Mengapa? Guna
menjawab itu, filmnya membawa kita jauh ke belakang, tepatnya sejak Shakuntala
kecil (Araina Nand) mulai menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang jenius di
bidang matematika. Melihat bakat Shakuntala, ayahnya, Bishaw Mitra Mani
(Prakash Belawadi), membawa puterinya berkeliling dari satu sekolah ke sekolah
lain sebagai bentuk pertunjukan. Di sana, Shakuntala bakal menjawab soal-soal
rumit yang diajukan guru, dan setiap pertunjukan selalu berujung kesuksesan,
tepuk tangan meriah, serta sedikit uang untuk sang ayah.
Sebuah eksploitasi? Mungkin. Pastinya,
Shakuntala menikmati itu, biarpun ia harus kehilangan masa kecil. Kehilangan
yang memukulnya adalah sewaktu sang kakak, Sharada (Jiya Shah), meninggal.
Sharada memang sudah lama sakit-sakitan. Jangankan membawanya ke rumah sakit,
uang hasil pertunjukan Shakuntala pun cuma cukup membiayai kebutuhan pokok
sehari-hari. Shakuntala menyalahkan orang tuanya atas kematian Sharada,
khususnya sang ibu (Ipshita Chakraborty Singh), yang menurutnya, hanya bisa
diam. Hari itu Shakuntala bersumpah akan menjadi “a very big woman”.
Menyusul berikutnya adalah
perjalanan Shakuntala mewujudkan impian tersebut. Dari bocah kampung miskin
yang tak mengenyam pendidikan, ia menjadi jenius matematika terkenal kelas
dunia, mendapat julukan “Manusia Komputer” setelah mengalahkan komputer canggih
dalam pertandingan hitung menghitung, mencatatkan namanya di buku rekor dunia selepas menyelesaikan perkalian 13 digit angka (7.686.369.774,870 ×
2.465.099.745.779) dalam 28 detik, menemukan metode menghitung cepat
sebagaimana kini banyak dipakai lembaga bimbingan belajar, menjadi astrologer,
menulis buku, bahkan sempat menjajal politik.
Sebagai “bonus”, sepanjang
perjalanan protagonisnya, film ini sesekali menyentuh beberapa isu sosial,
seperti rasisme hingga peran gender. “Kenapa laki-laki selalu ingin merasa
dibutuhkan oleh perempuan?”, tanya Shakuntala. Tapi perjalanan Shakuntala bukan
satu-satunya hal yang coba diangkat. Shakuntala
Devi berambisi tampil lebih. Sayangnya, lebih dari yang filmnya mampu.
Alurnya terus bergerak bolak-balik
antara masa lalu dan kini, di mana kedua masa bak cerminan satu sama lain. Kita
sudah melihat bagaimana masa kecil Shakuntala mempengaruhi proses tumbuh
kembangnya, membuatnya bersumpah akan menjadi ibu yang lebih baik. Ironisnya,
keinginan itu justru menciptakan pengulangan. Shakuntala ingin hadir dalam
hidup Anupama. Dia ingin, puterinya tumbuh sebagai “a very big woman”, sama sepertinya. Tapi sebagaimana Shakuntala
sendiri, itulah penyebab Anupama membenci dan ingin menjadi sosok yang sama
sekali berbeda dari ibunya.
Anu Menon ingin filmnya tampil
bertenaga. Tempo cepat ditambah iringan musik rancak pun dipakai. Benar bahwa
pilihan gaya tersebut membuat Shakuntala
Devi terkesan dinamis, tapi Anu berusaha terlalu keras memacu pergerakan
cerita. Akibatnya, kala dipertemukan dengan penyuntingan buruk, aliran alurnya
pun terasa buru-buru, liar, dan kasar. Bangunan emosi dari keterkaitan tiap
linimasa tak seutuhnya tersalurkan, sebab tiap peristiwa gagal dijembatani
dengan baik. Pun naskah yang Anu tulis bersama Nayanika Mahtani dan Ishita
Moitra kurang piawai perihal menyeimbangkan fokus, kapan harus menjadi potret
seorang Shakuntala Devi (yang mana dapat melahirkan sebuah film tersendiri),
kapan menggambarkan bagaimana rasanya menjadi puteri seorang Shakuntala Devi.
Padahal, “balancing” merupakan tujuan film ini. Sebuah intensi yang baik,
sebab ketimbang menyalahkan salah satu pihak, Anu berusaha mengajak penonton
memahami keduanya tanpa menjustifikasi kesalahan masing-masing. Baik Shakuntala
maupun Anupama menyimpan alasan di balik sikap mereka, hanya saja, tersulut
benturan akibat kelalaian memandang satu sama lain sebagai individu yang
berdiri sendiri dan terpisah dari pengotakkan peran (Ibu mestinya seperti ini,
anak harusnya seperti itu). Pesan di atas mungkin takkan semudah itu meresap di
otak penonton akibat ketidakmulusan penceritaan, tapi soal menyentuh hati,
pengarahan Anu Menon, khususnya di babak konklusi, berhasil melahirkan
momen-momen hangat yang melibatkan ibu dan anak.
Satu hal yang saya apresiasi
adalah, sebagai biografi, Shakuntala Devi
tidak ragu menampilkan deretan kelemahan protagonisnya, dan menjauh dari
kesan mengultuskan. Kesan yang turut dibantu oleh penampilan gemilang Vidya
Balan, yang secara meyakinkan, memainkan sosok jenius penuh kepercayaan diri
dan tak jarang terkesan sombong, yang meski selalu tahu cara menyelesaikan
masalah matematika, kerap tenggelam dalam ketidaktahuan bila dihadapkan
pada masalah interpersonal, yang coba ia tutupi lewat senyum atau tawa.
Shakuntala tidak paham, kenapa orang lain tak melihat dunia sebagaimana
dirinya. Karena berbeda dengan angka, realita hidup tak selalu seperti apa yang
nampak.
Available on PRIME VIDEO
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar