REVIEW - ALL TOGETHER NOW

Tidak ada komentar

(Review Ini Mengandung SPOILER!)

Empat tahun pasca merebut hati penonton saat mengisi suara Moana, akhirnya Auliʻi Cravalho berkesempatan melakoni debut live action-nya dalam adaptasi novel Sorta Like a Rockstar milik Matthew Quick, yang merupakan juga penulis novel The Silver Linings Playbook, ini. Cravalho langsung memancarkan pesonanya sejak menit pertama melalui nyanyian, tarian kecil, dan senyum lebar, kala mengajar Bahasa Inggris untuk ibu-ibu Korea lewat lagu The Clapping Song kepunyaan Shirley Ellis. Saya percaya, setelah ini namanya bakal melesat, walau All Together Now bukanlah tontonan yang akan diingat. 

Cravalho memerankan Amber, remaja ceria nan berhati mulia. Tiap akhir pekan ia menjadi sukarelawan sebuah panti jompo, hanya menerima sumbangan seikhlasnya sebagai bayaran mengajar Bahasa Inggris, pula memimpin teman-teman sekolahnya menyelenggarakan pertunjukan bakat dengan tujuan menolong mereka yang membutuhkan. Dia gemar membantu, tapi enggan menerima uluran tangan orang lain, sebagaimana diajarkan sang ibu, Becky (Justina Machado). 

Prinsip itu dipegangnya teguh, sampai Amber tak memberi tahu siapa pun kalau sekarang ia dan ibunya tak memiliki tempat tinggal, setelah pergi dari rumah kekasih Becky yang melakukan tindak kekerasan. Beruntung, Becky berprofesi sebagai sopir bus sekolah, sehingga keduanya, secara diam-diam bisa bernaung sementara waktu di bus yang ia kendarai. Keduanya saling menyayangi, namun Becky memiliki masalah. Dia seorang alkoholik. Pun tidak peduli berapa kali Amber menyatakan ketidaksetujuan, Becky masih ingin kembali pada kekasihnya. Padahal selain pernah "main tangan", pria itu pula yang menjatuhkannya ke jurang alkoholisme.

Tentu Amber menolak tinggal diam. Dia ingin memperbaiki kehidupan sang ibu. Dia pun menyimpan mimpi melanjutkan berkuliah di Carnegie Mellon University, yang juga merupakan almamater mendiang ayahnya, guna mengasah bakat tarik suaranya. Tapi begitu Amber melakukan perlawanan, All Together Now menghadirkan kejutan. Kejutan yang sayangnya, juga suatu bentuk simplifikasi terhadap konflik. Becky meninggal akibat kecelakaan. Kemudian, seolah segala dosanya terhapus dan dilupakan. Filmnya bergerak ke ranah drama melankoli dangkal, yang menutup mata atas kerumitan hubungan orang tua dengan anak, yang meliputi komunikasi hingga cara masing-masing pihak menunjukkan kasih sayang. Peluang eksplorasi itu dibuang. Mendadak Becky adalah ibu penyayang tanpa kesalahan. 

Sewaktu keceriaan Amber hilang, begitu pula pesona film ini, yang di menit-menit sebelumnya, begitu bergantung pada energi Cravalho. Akting dramatiknya memang realistis, tapi naskah garapan sutradara Brett Haley (Hearts Beat Loud, All the Bright Places) bersama Matthew Quick dan Marc Basch, bak kebingungan memanfaatkan duka protagonisnya. Ketimbang eksplorasi, repetisi-repetisi justru dilakukan. Naskahnya mengulang-ulang penggambaran betapa sedih dan putus asanya Amber, serta bagaimana orang-orang di sekitarnya berusaha memberikan dukungan menggunakan cara yang sama. Amber merasa lelah terus-terusan ditawari bantuan, saya merasa lelah menghadapi repetisi filmnya. 

Tapi seperti telah disiratkan judulnya, All Together Now tetaplah suguhan penuh harap, dengan pesan penting yang cukup relevan, mengingat banyak individu zaman sekarang mulai bersikap apatis pada kebersamaan di lingkup sosial. Menerima pertolongan dan/atau hadiah tak menandakan kelemahan, bukan pula kekeliruan, apalagi jika kita memang membutuhkannya. 

Pertunjukan bakat yang mengisi babak ketiga memang satu lagi wujud simplifikasi, dengan presentasi yang semestinya bisa lebih kuat andai hubungan Amber dan teman-temannya lebih sering mengisi layar, namun harus diakui, sebuah penampilan selaku puncak pertunjukan, berhasil tampil hangat sekaligus menyentuh. Senyum dan air mata hadir bersamaan, sembari menyempurnakan tuturan pesan seputar dinamika sosial tadi.

Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: