Keabsurdan khas Charlie Kaufman mungkin sudah membuat banyak
orang malas duluan menonton filmnya. Synecdoche, New York (2008) dan Anomalisa
(2015) memang bak labirin membingungkan tanpa jalan keluar pasti. Sedangkan
naskah-naskahnya yang diberikan pada sutradara lain seperti Being John
Malkovich (1999), Adaptation (2002), hingga Eternal Sunshine of
the Spotless Mind (2004), biarpun lebih ringan, tetap kental surealisme.
Tapi saya selalu mengagumi cara Kaufman menuangkan ide.
Cerita-cerita Kaufman selalu memberikan keindahan di balik
ambiguitas. Sebuah kehandalan bertutur, di mana penonton dapat menarik
kesimpulan, yang meski berlainan, selalu punya kedekatan personal bagi
masing-masing penginterpretasi. Peran film sebagai “perjalanan spiritual” bagi
tiap individu pun terpenuhi. Hal serupa bisa dirasakan dalam karya terbarunya, I’m
Thinking of Ending Things, selaku adaptasi novel berjudul sama buatan Iain
Reid.
Seorang wanita muda (Jessie Buckley) berniat mengakhiri
hubungannya dengan sang kekasih, Jake (Jesse Plemons), yang baru berjalan tujuh
minggu. Tapi sebelum sempat diutarakan, dia keburu diajak menemui orang tua
Jake (diperankan Toni Collette dan David Thewlis). Sepanjang perjalanan,
keduanya membicarakan hal berbau filosofis, membaca puisi Ode: Intimations
of Immortality karya William Wordsworth, pula mendiskusikan A Woman
Under the Influence (1974), di mana si wanita “mengutip” ulasan kritikus
Pauline Kael terhadap film milik John Cassavetes tersebut.
Sejak tadi saya menyebut karakter Buckley sebagai “wanita”,
sebab kita tak pernah tahu pasti namanya. Tepatnya, namanya selalu berubah.
Awalnya, Jake memanggilnya Lucy, kemudian berubah jadi Louisa, Lucia, lalu
Ames. Aneh? Tunggu sampai kalian bertemu ayah dan ibu Jake, dalam sebuah makan
malam canggung selaku panggung bagi Toni Collette memamerkan satu lagi
kegilaan, kali ini sebagai wanita penderita tinitus, dengan gerak-gerik yang
bakal membuat siapa pun lawan bicaranya merasa tidak nyaman.
Apa yang saya tuliskan baru permukaan dari segala absurditas I’m
Thinking of Ending Things, termasuk saat batasan ruang dan waktu
ditiadakan. Oh, apakah saya sudah menyebutkan tentang pria tua (Guy Boyd) yang
bekerja sebagai petugas kebersihan di SMA Jake? Sesekali kita menyaksikan
rutinitas pria itu, yang erat dengan kekosongan, juga ejekan dari orang-orang
di sekitarnya.
Apabila familiar dengan karya-karya Kaufman, anda akan tahu
mesti mencari petunjuk dari mana, pun memahami kegemaran sang sineas mengangkat
soal individu kesepian dengan krisis eksistensi. Novelnya— yang walau
mengandung surealisme cenderung lebih gamblang memberi jawaban —pun membicarakan
hal serupa. Mengenai kesepian yang melahirkan fantasi-fantasi, dan tatkala
bawah sadar mulai menolak fantasi itu, tercetuslah keinginan untuk “mengakhiri
segalanya”.
Tapi seperti saya singgung di atas, I’m Thinking of Ending
Things memfasilitasi terciptanya interpretasi lain, guna menciptakan
kedekatan personal bagi masing-masing penonton. Ketimbang “sekadar” tentang
individu, saya memandang kisahnya juga sebagai gambaran hubungan romantis yang
berlangsung sepihak. Jake adalah representasi pria yang terlalu dominan,
sehingga membuat sang kekasih (sebut saja Lucy) “kehilangan dirinya sendiri”.
Lucy mulai menjadi Jake. Tentu dia ingin lepas. Dia ingin “pulang”, namun
melalui beraneka cara, Jake menghalanginya.
I’m Thinking of Ending Things memang keanehan yang menarik, namun
bukan yang terbaik dari seorang Charlie Kaufman. Kali ini Kaufman terlampau
bergantung pada ungkapan verbal berkepanjangan, yang perlahan kehilangan daya
tarik akibat pengadeganan monoton di dalam mobil. Bukannya tanpa tujuan.
Kaufman bagai ingin membangun perasaan terkekang si karakter di tengah “badai”.
Benar bahwa berkatnya, kita mudah menangkap maksud tersebut, namun seiring
waktu, kelelahan yang Lucy rasakan pun menular, dan penonton berpotensi ikut
merasa lelah terhadap filmnya.
Padahal Kaufman jagonya menuangkan gagasan-gagasan ke dalam visual kreatif. Penanganan Kaufman mampu mencuatkan keindahan dari keanehan, yang kembali ia tunjukkan di sini. Misal pada klimaks berupa tarian balet yang mencerminkan musikal Oklahoma!. Diiringi orkestra gubahan Jay Wadley, Kaufman menyamarkan tragedi brutal dalam keabsurdan estetik, yang mana sama seperti keseluruhan filmnya.
Available on NETFLIX
Jujur Mas,Sy garuk2 kepala gak faham tentang maksud film ini...😄
BalasHapusBanyak sekali adegan surealis yg bikin saya gagal faham maksud film ini sampai ending credit title bergulir,Setelah sy nonton dahi sy berkerut,Maksudnya apa film ini...he...
Absurd banget,Mungkin film ini memang segmented dan bukan untuk orang seperti saya,2 jam 14 menit nonton sy merasa gak dapat apa2...ha...,Mumet malahan,Maunya film ini apa...😄 (atau mungkin sy yg bodoh dan gagal faham)
Kl bs nnt bikin artikel khusus untuk menjelaskan maksud film ini Mas...he...
Salam...
Tuh udah disinggung sedikit soal interpretasinya (objektif & subjektif). Dari "clue" itu bisa kebaca kok garis besarnya
HapusSpoler.
BalasHapusKalo saya menangkap nya semua cerita yg terjadi 2 jam lebih ini hanya khalayan jake, Semua keanehan terjadi itu wujud dari perjalanan hidup dirinya. Saat orang nya bertengkar, saat orang tua nya menua dan semua nya ada khayalan juga kurasa.
sang sineas mengangkat soal individu kesepian dengan krisis eksistensi...
BalasHapusscorpiowww truest.... hehe