Dua bulan lalu saya sempat mengulas
dokumenter Slay the Dragon, yang
membahas praktek gerrymandering di
sistem politik Amerika Serikat, yang berperan menghancurkan demokrasi, khususnya
dalam pemilu. Karya Christopher Durrance dan Barak Goodman tersebut, jika
ditonton berurutan dengan All In: The
Fight for Democracy buatan Liz Garbus dan Lisa Cortés, bakal menjadi double feature yang sempurna, selaku
penegas betapa demokrasi di Amerika sudah masuk fase kritis.
Pemilu Gubernur negara bagian
Georgia pada 2018 membuka gerbang kisahnya. Saat itu, hanya dengan selisih
sekitar 54 ribu suara, Brian Kemp mengalahkan Stacey Abrams, perwakilan Demokrat
yang juga calon gubernur Afrika-Amerika wanita pertama di Amerika Serikat. Hasil
itu memicu kontroversi seputar isu voter
suppression, yakni strategi memenangkan pemilu dengan mempengaruhi dan/atau
menghalangi kelompok pemilih tertentu agar tidak menyumbangkan suara mereka.
Bisa ditebak, targetnya adalah para
minoritas, dalam hal ini, kulit hitam. Para narasumber, termasuk Abrams
sendiri, merujuk pada fakta bahwa 300 ribu orang salah ditandai sebagai “tidak
memenuhi syarat untuk memilih”, sedangkan proses pendaftaran 53 ribu pemilih
ditunda tanpa pemberitahuan. Ya, Abrams muncul sebagai narasumber. Apakah itu
menjadikan film ini sebuah kampanye atau propaganda? Bisa jadi. Tapi apakah itu
otomatis membuat tuduhan yang dialamatkan kepada Kemp keliru? Nanti dulu.
Naskah buatan Jack Youngelson menjabarkan bukti-bukti kuat, sehingga
penggambaran Stacey Abrams sebagai protagonis dalam kisah mengenai hak pilih,
adalah hal yang tepat. Filmnya membawa kita mundur jauh ke masa lalu, menilik
sejarah kala Amerika baru berdiri. Dinyatakan bahwa “rakyat” memiliki hak
memilih pemimpinnya. Tapi siapa definisi “rakyat” di sini? Sebab dalam pemilu
yang mensahkan George Washington sebagai presiden pertama Negeri Paman Sam,
hanya pria kulit putih pemilik properti yang mempunyai hak pilih, alias cuma
sekitar 6% populasi.
Selanjutnya, selama 102 menit, All In: The Fight for Democracy
memberikan begitu banyak pemahaman-pemahaman baru, khususnya bagi penonton awam
(baca: bukan warga negara Amerika Serikat). Fokusnya adalah memperkenalkan
bentuk-bentuk voter suppression, dari
yang gamblang seperti nasib tragis Maceo Snipes, veteran Perang Dunia II yang
ditembak mati di rumahnya tiga hari selepas menyumbangkan suara di pemilu,
hingga yang lebih subtil seperti tes literasi, penerapan kartu identitas,
pencocokkan tanda tangan, gerrymandering,
dan sebagainya.
Terdengar rumit dan membosankan?
Jangan khawatir, sebab Liz Garbus dan Lisa Cortés tahu cara mengemas dokumenter
mereka agar tampil dinamis nan menghibur, meski mengangkat pokok pembicaraan
serius. Pacing-nya cekatan, enggan
berlama-lama di satu titik. Walau dampaknya, ada satu-dua subplot berakhir sebatas
numpang lewat, contohnya soal relawan Hispanik yang turun ke jalan guna meningkatkan
kesadaran publik untuk memilih.
Selain model talking head, beberapa sekuen menerapkan bentuk animasi stylish untuk membungkus kisah yang tak
memiliki materi dokumentasi. Hasilnya memanjakan mata. Sedangkan
peristiwa-peristiwa bersejarah yang terekam kamera, dipresentasikan apa adanya,
menekankan pada kekuatan realisme. Contohnya unjuk rasa Bloody Sunday pada 7 Maret 1965, yang lebih intens, lebih emosional
ketimbang versi dramatisasinya dalam Selma
(2014).
Pihak penentang beranggapan bahwa,
UU yang mengatur kesetaraan hak pilih tak lagi diperlukan, karena rasisme dan
diskriminasi lain tidak lagi separah dulu. Kalau anda berpikiran serupa, simak
pernyataan dari mendiang Ruth Bader Ginsburg (may you rest in power) berikut: “Throwing out preclearance when it has worked and is continuing to work
to stop discriminatory changes is like throwing away your umbrella in a
rainstorm because you are not getting wet.”
Available on PRIME VIDEO
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar