08/10/20

REVIEW - DEERSKIN

0 View

Deerskin datang dari kepala Quentin Dupieux, sutradara yang membuat Rubber (2010). Walau lebih normal dibadingkan horor satir tentang ban mobil pembunuh itu, karya terbarunya ini masihlah film yang mustahil ditebak arah bergulirnya, setidaknya pada mayoritas kesempatan. Tengok saja adegan pembukanya, di mana beberapa remaja memasukkan jaket ke dalam bagasi mobil, sambil berkata ke arah kamera, bahwa mereka takkan mengenakan jaket lagi selamanya. Sebuah prolog bagi kritik terkait perusakan manusia terhadap alam? Rupanya bukan.

Sejurus kemudian, kita berkenalan dengan sang protagonis. Georges namanya, diperankan oleh Jean Dujardin, yang paling dikenal kala memenangkan Oscar untuk Aktor Terbaik, lewat perannya di The Artist (2011). Georges menghabiskan lebih dari 7500 euro demi menebus jaket kulit rusa impiannya. “Killer style”. Demikian cara Georges menyebut gayanya. Sebutan yang nantinya menghadirkan makna lain.

Georges rela kehabisan uang, sehingga harus menjadikan cincin kawinnya sebagai jaminan saat menunggak biaya sewa kamar hotel, bahkan makan dari sisa-sisa di tempat sampah, demi jaket tersebut. Sang istri baru meninggalkannya, pula memblokir kartu kredit mereka, yang memperparah situasi Georges. Tapi ia tidak peduli. Terpenting, jaket impian sudah didapat. Georges terus mengagumi penampilannya, merekam dirinya yang sedang bergaya di depan cermin, lalu mulai terlibat obrolan dengan si jaket, seolah benda itu hidup.

Dupieux, yang juga menulis naskahnya, membangun atmosfer sureal yang aneh. Banyak orang-orang di sini yang terasa “tidak hidup”, menciptakan nuansa deadpan kental. Deerskin sesekai mengingatkan pada karya-karya Roy Andersson, hanya saja, pacing-nya lebih cepat, lebih ringan, lebih dinamis, dan lebih banyak darah. Sedangkan humornya semakin menggelitik seiring dengan semakin absurdnya perilaku serta tutur kata Georges. Beberapa berupa komedi hitam, beberapa satir, beberapa murni kekonyolan, namun respon yang diharapkan muncul dari penonton selalu serupa: WTF?!  

Setiap malam, Georges mampir ke bar tempat Denise (Adèle Haenel) bekerja sebagai bartender. Ketika ditanya soal profesinya, Georges berbohong, dan mengaku dirinya adalah sineas. Kebohongan itu makin dalam, karena Denise, yang ternyata bercita-cita menjadi editor, mulai melontarkan banyak pertanyaan. Singkat cerita, kebohongan itu memaksa Georges terus merekam, melanjutkan “produksi filmnya”, dengan cerita hasil inspirasi dari “obrolannya” dengan si jaket. Georges ingin menjadi satu-satunya pria di dunia yang memakai jaket, sementara si jaket ingin menjadi satu-satunya jaket di dunia. Georges adalah seseorang tanpa sedikitpun ilmu tentang film, yang membuat film demi memenuhi ego dan ambisi konyol. Terdengar familiar.

Dujardin melahirkan karakter pecundang yang dengan senang hati penonton tertawakan, khususnya tiap ia membanggakan “killer style” miliknya. Tapi seiring waktu, kekonyolan Georges dibarengi kengerian. Dia tidak simpatik, namun aksinya menyenangkan diikuti, bahkan cenderung adiktif. Saya tak keberatan andai filmnya berlangsung lebih lama.

Pertanyaannya, apa sebenarnya yang ingin Deerskin sampaikan? Potret sesosok pria sakit jiwa? Obsesi tidak sehat? Sentilan terhadap indusri film? Atau kisah seorang pria yang menyembunyikan kesepian dan kerapuhannya di balik cangkang maskulinitas? Bukan semua hal di atas. Bahkan setelah Deerskin mencapai momen penutup, saya yakin Quentin Dupieux, yang mampu membungkus 77 menit menghibur penuh absurditas, kejutan, dan belokan, cuma ingin bersenang-senang mempermainkan ekspektasi penonton. Baik ekspektasi terkait arah alur, maupun substansi di dalamnya. Kalau memang ada yang Deerskin ingin sentil, itu adalah penontonnya sendiri, yang berusaha (terlalu) keras membaca kandungan ceritanya. Seperti omong kosong George soal profesinya sebagai sineas yang tidak perlu dianggap serius, begitu juga film ini.



Available on HBO MAX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar