Ketika mayoritas film bertemakan empowerment dari India membungkus isu
sensitiftnya dengan cerita kekeluargaan ringan nan hangat, Dolly Kitty Aur Woh Chamakte Sitare mengambil jalan sedikit berbeda.
Datang dari tangan sutradara sekaligus penulis naskah Alankrita Shrivastava
yang sebelumnya melahirkan Lipstick Under
My Burkha (2016), feminisme dihantarkan secara lebih tegas, dengan membawa
isu gender melalui perspektif seksual yang menantang pemikiran penonton.
Sayang, kali ini Alankrita berambisi merangkum terlalu banyak persoalan yang
justru mengganggu jalannya penceritaan.
Tinggal di sebuah kota terencana
bernama Noida, kondisi finansial Radha “Dolly” Yadav (Konkona Sen Sharma) dan
sang suami, Amit (Aamir Bashir), sejatinya stabil, namun mereka kesulitan
melunasi cicilan apartemen mewah, yang bahkan belum dibangun. Sementara, adik
sepupu Dolly, Kajal (Bhumi Pednekar), hendak tinggal bersama mereka. Berasal
dari Bihar, ia berambisi mengejar impian di kota besar. Seperti banyak
perantauan dari kampung, tidak butuh waktu lama bagi Kajal, untuk menyadari
bahwa kehidupan di kota lebih berat dari dugaan.
Baru sebentar bekerja sebagai buruh
pabrik, ia langsung keluar. Bukan cuma itu, perilaku Amit dengan “tangan nakal”
yang sering curi-curi kesempatan, membuat Kajal risih dan membuatnya ingin
tinggal di tempat lain. Tentu bukan perkara gampang, mengignat Kajal belum
punya cukup uang untuk memiliki tempat sendiri. Inilah contoh bagaimana
kebejatan pria merusak hidup wanita. Tidak seharusnya Kajal kebingungan mencari
tempat tinggal. Tidak seharusnya ia merasa tidak aman bernaung di bawah atap
keluarga sendiri.
Akhirnya Kajal menemukan pekerjaan
baru yang menyediakan banyak fasilitas termasuk tempat tinggal. Red Rose
Romance adalah nama perusahaannya. Sebuah penyedia layanan phone sex. Menggunakan nama “Kitty”, Kajal memakai suaranya untuk melayani
nafsu para lelaki mesum, yang salah satunya bahkan menelepon dan masturbasi
sementara sang istri tengah terbaring koma. Tapi melalui pekerjaan itu pula,
Kajal jatuh cinta untuk kali pertama, dengan seorang klien bernama Pradeep (Vikrant
Massey), yang membuai dengan kata-kata romantisnya.
Selain urusan cicilan, Dolly masih
punya masalah lain. Dia menderita HSDD (Hypoactive
Sexual Desire Disorder), di mana Dolly kehilangan hasrat berhubungan
seksual dengan Amit. Sampai Osmaan (Amol Parashar), si mahasiswa muda pengantar
makanan, mencuri perhatiannya. Problematika Dolly tidak berhenti di situ.
Putera bungsunya, Pappu (Kalp Shah), memiliki tendensi cross-dressing, suka memakai riasan sang ibu, ingin mencoba gaun,
dan lebih suka boneka daripada mobil-mobilan. Sewaktu sekolahnya mengadakan
karyawisata, Pappu ingin ikut bersama rombongan murid perempuan ke museum
boneka, tapi dilarang, karena murid laki-laki HARUSNYA pergi ke museum kereta. Alankrita
menyentil tentang penjajahan atas identitas gender, yang sudah menancap kuat
dalam kultur konvensional.
Membaca deskripsi di atas, mungkin
anda bisa menangkap betapa banyak isu yang berusaha disentil oleh Dolly Kitty. Selain kebebasan
seksualitas wanita yang diwakili oleh pencarian dua protagonisnya terhadap
kepuasan seks, ada perihal identitas gender, pelecehan, parenting, hingga kecenderungan menyalahkan istri dalam masalah
keluarga (Dolly dianggap penyebab Pappu tidak tumbuh “sebagaimana mestinya”).
Hampir di setiap titik, filmnya memaksakan cabang cerita baru, yang beberapa di
antaranya pun dipaksakan untuk saling terkoneksi.
Padahal urgency isu-isunya tinggi dan patut dituturkan secara lebih solid.
Saya angkat topi untuk keberanian Alankrita mendobrak ketabuan. Sempat penonton
diajak mempertanyakan, “Mana yang lebih suci? Profesi “halal” sebagai akuntan yang
diperlakukan bak pelayan pembuat kopi bergaji kecil sampai terpaksa mencuri
uang kantor, atau profesi “haram” bergelimang uang tanpa ada kecurangan?”. Saya
rasa tidak ada yang lebih suci atau lebih kotor. Tidak ada kebenaran hakiki.
Hanya dua wanita yang berjuang menyambung hidup.
Tentu saja keberanian terbesar
filmnya hadir saat menantang perspektif penonton terkait seksualitas wanita.
Klimaksnya menampilkan penjajahan pria atas kemerdekaan wanita mengekspresikan
seksualitasnya. Tegas, tajam, tapi sayangnya, terlalu berusaha mengejutkan
penonton, dan sekali lagi, memaksakan keterkaitan antara cabang-cabang alur.
Tapi tidak ada kesan dipaksaan
dalam akting dua aktris utamanya, yang natural menghidupkan dua figur wanita
yang dituntut selalu bertempur. Ya, keduanya berbuat beberapa kesalahan, namun penampilan
tegas sekaligus simpatik dari Bhumi Pednekar dan Konkona Sen Sharma, memastikan
kita tetap mendukung mereka, yang berjalan di area moralitas abu-abu.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar