28/09/20

REVIEW - CLASS ACTION PARK

0 View

Beroperasi selama 18 tahun (1978-1996), Action Park yang terletak di Vernon, New Jersey, terkenal atas desain wahana tak ideal yang memakan total enam nyawa. Jumlah korban cedera? Tidak terhitung. Tapi Class Action Park bukan cuma dokumenter soal taman hiburan berbahaya. Bukan juga sebatas keserakahan satu individu yang menginisiasinnya, pula soal praktek korupsi dan budaya 80an, di mana remaja Amerika memuja semangat kebebasan tanpa kontrol.

Tidak pakai basa-basi, filmnya langsung bergerak ekstra cepat, menyeret kita langsung ke pusat aksi. Butuh waktu untuk membiasakan dengan tempo bertuturnya. Pun di beberapa bagian, penceritaannya agak berantakan, di mana pokok bahasan bisa mendadak berpindah. Tapi rasanya tak ada yang keberatan, karena daya tariknya tinggi, serta sarat fakta-fakta unik nan mengejutkan.

Duo sutradara Seth Porges dan Chris Charles Scott III menerapkan gaya konvensional, mewawancarai beberapa narasumber sambil diselingi stok rekaman Action Park di masa kejayaannya. Satu per satu, mantan pegawai dan pengunjung menuturkan deretan kegilaan di taman hiburan yang didirikan oleh Eugene Mulvihill tersebut. Siapa Eugene Mulvihill? Nanti kita akan sampai ke sana. Terlebih dulu, filmnya menyoroti berbagai wahana yang dipandang paling “ekstrim”.

“Ekstrim” di sini berarti “berpotensi mematikan”. Mayoritas wahana dibuat berdasarkan ide-ide impulsif Mulvihill, yang kemudian direalisasikan oleh orang-orang yang tak memiliki latar belakang pendidikan teknik. Salah satunya Cannonball Loop, seluncuran air yang mempunyai putaran 360 derajat bak roller coaster. Hasilnya? Wajah-wajah berlumuran darah, gigi-gigi tanggal yang tertancap di seluncuran, hingga orang-orang yang tersangkut di tengah putaran.

Ada pula Alpine Slide, di mana pengunjung duduk di sebuah kereta luncur, lalu bergerak menuruni area pegunungan dengan kecepatan tinggi, di lintasan berbahan semen. Sepanjang tahun 1984-1985, tercatat ada 14 patah tulang dan 26 cedera kepala akibat wahana ini. Di sekolah, saat seseorang datang dengan luka di tubuh, respon dari teman-temannya adalah, “Alpine Slide, huh?”, walau mungkin luka itu disebabkan oleh hal lain. Cedera yang didapat di Action Park bagai battle scars yang bisa dibanggakan. Bahkan meski sekadar kaki melepuh akibat panasnya lantai yang terbuat dari aspal hitam jalan raya.

Kenapa para karyawan bersikap acuh terhadap kondisi tersebut? Pertanyaan lebih besarnya, “Kenapa tempat berbahaya itu begitu digandrungi?”. Terkait karyawan tidak mengherankan, sebab mayoritas dari mereka adalah remaja yang datang hanya demi mabuk-mabukkan dan berhubungan seks di sebuah kabin berbau busuk. Sedangkan pengunjungnya adalah perwujudan kebebasan 80an, yang mendambakan tempat di mana hukum tak berlaku. Mereka bebas melanggar aturan memakai wahana, bersumpah serapah, mabuk, dan sebagainya.

Di sinilah kita harus kembali pada sosok Eugene Mulvihill. Tidak mengherankan jika Action Park begitu liar, karena sang pendiri pun adalah seseorang yang memimpikan dunia tanpa hukum. Bermula dari bisnis kotor di wall street, menciptakan perusahaan asuransi palsu untuk memuluskan berdirinya Action Park, hingga berurusan dengan mafia, Mulvihill juga dideskripsikan oleh para koleganya sebagai pria dengan segudang gagasan gila. Begitu gila, salah satu pebisnis membatalkan rencana berinvestasi. Nama pebisnis itu Donald Trump.

Menjaga supaya tak perlu menampilkan rekaman bernuansa kekerasan, Porges dan Charles Scott III memakai animasi sebagai media menggambarkan momen-momen ekstrim, termasuk kecelakaan. Animasi 2D sederhana yang jauh dari kemewahan teknologi, tapi justru sempurna mewakili kesann aneh dan konyol kisahnya.

Memasuki 25 menit terakhir, Class Action Park menjamah ranah lebih serius, kala membahas tentang George Larsson Jr., orang pertama yang tewas di sana, setelah meluncur keluar lintasan Alpin Slide pada 8 Juli 1980. Selang 16 tahun, dan setelah lima orang lagi meregang nyawa, barulah Action Park ditutup. Mengapa selama itu? Karena— secara tidak mengejutkan —banyak pemegang kekuasaan dan figur terpandang di Vernon, menerima “santunan” dari Mulvihill, atau bekerja di bawahnya.  

Walau saya berharap porsi pihak yang dirugikan ditambah, secara keseluruhan film ini cukup adil dalam memainkan perspektif terhadap Action Park: Suatu produk dari suatu masa, yang kerap memancing romantisasi dari para saksi mata, sambil tetap mengakui betapa buruk dan berbahaya tempat tersebut. Bukankah kita sering begitu? Cerita mengenai kegilaan dan kenakalan masa lalu jauh lebih seru untuk dikenang.


Available on HBO MAX

1 komentar :