04/11/20

REVIEW - THE LIE

0 View

Merupakan remake film Jerman berjudul We Monsters (2015), The Lie sebenarnya berpotensi jadi media percontohan, soal bagaimana menggeser drama keluarga getir khas sineas Eropa, ke arah thriller/horor yang lebih bersahabat bagi penonton luas. Sayang, Veena Sud yang berperan selaku sutradara sekaligus penulis naskah, terlalu banyak melucuti eksplorasi terkait dampak perceraian terhadap anak, yang sejatinya adalah pondasi segala permasalahan karakternya.

Kayla (Joey King) nama protagonis kita. Seorang gadis yang merasa tak menerima kasih sayang selepas perceraian orang tuanya. Dia tinggal bersama sang ibu, Rebecca (Mireille Enos), yang berporfesi sebagai pengacara korporat, setelah memutuskan keluar dari kepolisian. Sedangkan ayahnya, Jay (Peter Sarsgaard), masih kukuh mengejar kesuksesan lewat jalur musik. Hari itu tiba giliran Jay mengantar Kayla ke sekolah balet. Di tengah jalan, keduanya bertemu Brittany (Devery Jacobs), sahabat Kayla yang juga hendak menuju sekolah tersebut. Kayla pun mengajak Brittany ikut di mobil mereka.

Karena ingin buang air, Brittany meminta Jay menghentikan mobil di tengah area antah berantah. Bersama Kayla, Brittany memasuki hutan, namun tak lama kemudian, Jay mendengar teriakan puterinya. Jay bergegas mencari, dan menemukan Kayla menangis, duduk di tepi jembatan, seolah hendak melompat ke sungai yang mengalir deras di bawah. Lalu Kayla mengaku sudah mendorong Brittany. Selain arus deras, jarak yang cukup tinggi dengan jembatan, ditambah kondisi sungai di musim dingin, membuat Jay yakin Brittany sudah tak tertolong.

Jay putuskan untuk menyembunyikan perbuatan Kayla. Rebecca awalnya menolak, tapi begitu memikirkan rentetan konsekuensi yang bisa dihadapi puterinya, ia pun setuju. Sebuah kebohongan, yang nantinya berujung menciptakan kebohongan-kebohongan lain. Ya, seperti judulnya, The Lie bicara mengenai dampak kebohongan, dan naskah Veena Sud cukup cerdik memanfaatkan tema tersebut sebagai materi thriller.

Kebohongan kerap kita jadikan jalan keluar dari permasalahan. Di sini, kita diajak satu kebohongan berujung kebohongan lain, yang bukannya menyelesaikan, justru menambah masalah. Andai kebohongan pertama tak terucap, semuanya takkan terjadi. Pertanyaannya, manakah “kebohongan pertama” itu?

Latar bersalju yang dingin, memberikan atmosfer kelam yang sesuai, selaku panggung bagi Veena Sud memamerkan kapasitas penyutradaraannya, yang mampu membangun tensi secara perlahan. Intensitasnya merambat, sambil sesekali, tiap dibutuhkan, bisa tiba-tiba mencengkeram. Sud bak bersenang-senang mempermainkan penontonnya, membuat kita geregetan melihat para protagonisnya melakukan kesalahan demi kesalahan.

Tapi seperti sudah disinggung di atas, The Lie nyaris sepenuhnya menanggalkan eksplorasi terkait dampak perceraian pada anak, khususnya remaja. Apa yang nampak di layar hanya simplifikasi, di mana dampak tersebut hanya dipakai sebagai justifikasi keputusan-keputusan bodoh Kayla. Tiada penelusuran maupun diskusi lebih lanjut.

Saya pun tak merasa The Lie memilih ending yang tepat. Terhitung ada dua momen yang dapat dipakai mengakhiri kisah secara lebih baik. Momen pertama yang bertempat di meja makan adalah opsi paling berisiko, mengingat penonton arus utama takkan menyukai ambiguitas. Tapi sebagai penutup, momen itu sempurna menangkap ironi dari kebersamaan keluarga, sekaligus menyentil pemaknaan atas konsep “keluarga saling melindungi”.

Kemudian datanglah twist, yang untuk penonton film genre veteran, tentunya takkan sulit ditebak. Twist yang berusaha keras ditutupi, sampai pada titik di mana filmnya terkesan mencurangi penonton, dengan memanfaatkan ketidakstabilan mental karakternya, selaku remaja korban perceraian. The Lie pun bisa diakhiri sesaat setelah twist itu, yang walau bermasalah, tetap mengandung ironi mencekat sebagai resolusi. Tapi The Lie merasa penonton butuh kejelasan, sehingga baru menyudahi ceritanya selepas eksposisi panjang, dan shot penutup yang bertujuan menghembuskan harapan, ketimbang menguatkan kegetiran akibat efek domino kebohongan.


Available on PRIME VIDEO

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar