Ryan Murphy kembali ke kursi penyutradaraan
film panjang setelah satu dekade absen (terakhir melalui Eat Pray Love). Tapi berkat karya-karyanya di layar kaca, kita tahu
harus berekspektasi seperti apa terhadap The
Prom, sebuah komedi musikal remaja sarat pesan relevan mengenai kesetaraan
dan self-love, serta inklusivitas
yang memberi kesempatan bersuara bagi para minoritas, meski di tangan Murphy,
suara tersebut dipenuhi keklisean, drama opera sabun, serta kemustahilan.
Diadaptasi oleh duo penulis naskah Bob
Martin dan Chad Beguelin dari musikal Broadway berjudul sama, yang juga
dilahirkan oleh mereka berdua, The Prom mengisahkan
tentang malam prom di sebuah SMA di
Indiana, yang dibatalkan. Menurut Greene (Kerry Washington) selaku ketua POMG,
pembatan itu dikarenakan salah satu siswi, yaitu Emma Nolan (Jo Ellen Pellman),
berniat membawa sesama perempuan ke acara tersebut. Walau didukung penuh oleh Tom
Hawkins (Keegan-Michael Key) sang kepala sekolah, Emma tetap mendapat celaan
dari seisi sekolah.
Di tempat lain, dua bintang Broadway narsis,
Dee Dee Allen (Meryl Streep) dan Barry Glickman (James Corden), tengah merasa
hancur karena pertunjukan terbaru mereka dicela habis-habisan oleh kritikus. Sampai
berita mengenai Emma memberi keduanya ide. Demi publisitas, Dee Dee dan Barry,
ditemani Trent Oliver (Andrew Rannells) si lulusan Julliard graduate dan Angie
Dickinson (Nicole Kidman) si chorus girl,
berniat datang ke Indiana guna membantu Emma.
Sebagaimana negara-negara adidaya merasa
negara miskin butuh uluran tangan mereka untuk meraih kesejahteraan, atau SJW
kota besar penghuni cafe mahal menganggap orang-orang desa perlu mereka
edukasi, keempat bintang Broadway ini ngotot memberi bantuan, tanpa tahu (baca:
peduli) apa yang Emma butuhkan. Tapi sekali lagi, ini film Ryan Murphy, di mana
manusia-manusia berperangai buruk bakal menyadari kesalahan, kemudian berubah.
Walau perubahan itu tak melalui proses yang meyakinkan.
Bahkan melalui kacamata musikal, di mana
nyanyian dapat menyelesaikan masalah, simplifikasi yang dilakukan The Prom termasuk berlebihan. Sesuka apa
pun saya mendengar sindiran terhadap kemunafikan para homofobia soal
pengaplikasian ajaran Alkitab dalam nomor Love
Thy Neihgbor, sekuen musikal ini jadi bukti nyata penyederhanaan filmnya
atas masalah kompleks. Tapi saya yakin Murphy, Martin, dan Beguelin menyadari
itu.
Meski mengganggu, rasanya mereka bukan
sedang membodohi penonton. Kekurangan di atas merupakan kesengajaan. Seperti perkataan
Pak Hawkins mengenai bagaimana Broadway menjadi eskapisme, The Prom menyediakan tempat bagi penonton untuk kabur dari
ketidakadilan realita, ditemani lagu-lagu super
catchy berlirik super cheesy. Murphy
pun mampu melahirkan hiburan menyenangkan di deretan sekuen musikal, contohnya
klimaks meriah berlatar malam prom, yang
biarpun lagi-lagi terkesan naif, mengandung niat baik, yakni menyediakan safe haven bagi semua orang, apa pun
gender dan preferensi seksual mereka.
Penceritaan The Prom bukan hanya terganggun simplifikasi, juga penyertaan
subplot, juga momen-momen tidak perlu. Mungkin para penulis ingin penonton juga
peduli pada karakter-karakter selain Emma, namun akibatnya, fokus melebar, pun
durasi membengkak hingga 131 menit. Mungkin bakal melelahkan andai filmnya
tidak memiliki jajaran pemain jempolan. Di luar dugaan Corden cukup baik
mengolah rasa, Keegan memberi kita figur likeable,
begitu pula Pellman, sebagai protagonis yang dengan senang hati kita dukung
berkat keteguhan dan kekuatannya. Streep? Mungkin tidak banyak aktris selain
Streep yang mampu menggabungkan sisi komikal over-the-top dengan kerapuhan sosok bintang paruh baya yang hatinya
tak seglamor citranya. Sementara performa Kidman di lagu Zazz bakal membuatmu merindukan Satine dari Moulin Rouge!, berharap suatu hari sang aktris akan mendapatkan
proyek musikal serupa sebagai bintang utama.
Available on NETFLIX
krik krik
BalasHapus