13/12/20

REVIEW - THE PROM

0 View

Ryan Murphy kembali ke kursi penyutradaraan film panjang setelah satu dekade absen (terakhir melalui Eat Pray Love). Tapi berkat karya-karyanya di layar kaca, kita tahu harus berekspektasi seperti apa terhadap The Prom, sebuah komedi musikal remaja sarat pesan relevan mengenai kesetaraan dan self-love, serta inklusivitas yang memberi kesempatan bersuara bagi para minoritas, meski di tangan Murphy, suara tersebut dipenuhi keklisean, drama opera sabun, serta kemustahilan.

Diadaptasi oleh duo penulis naskah Bob Martin dan Chad Beguelin dari musikal Broadway berjudul sama, yang juga dilahirkan oleh mereka berdua, The Prom mengisahkan tentang malam prom di sebuah SMA di Indiana, yang dibatalkan. Menurut Greene (Kerry Washington) selaku ketua POMG, pembatan itu dikarenakan salah satu siswi, yaitu Emma Nolan (Jo Ellen Pellman), berniat membawa sesama perempuan ke acara tersebut. Walau didukung penuh oleh Tom Hawkins (Keegan-Michael Key) sang kepala sekolah, Emma tetap mendapat celaan dari seisi sekolah.

Di tempat lain, dua bintang Broadway narsis, Dee Dee Allen (Meryl Streep) dan Barry Glickman (James Corden), tengah merasa hancur karena pertunjukan terbaru mereka dicela habis-habisan oleh kritikus. Sampai berita mengenai Emma memberi keduanya ide. Demi publisitas, Dee Dee dan Barry, ditemani Trent Oliver (Andrew Rannells) si lulusan Julliard graduate dan Angie Dickinson (Nicole Kidman) si chorus girl, berniat datang ke Indiana guna membantu Emma.

Sebagaimana negara-negara adidaya merasa negara miskin butuh uluran tangan mereka untuk meraih kesejahteraan, atau SJW kota besar penghuni cafe mahal menganggap orang-orang desa perlu mereka edukasi, keempat bintang Broadway ini ngotot memberi bantuan, tanpa tahu (baca: peduli) apa yang Emma butuhkan. Tapi sekali lagi, ini film Ryan Murphy, di mana manusia-manusia berperangai buruk bakal menyadari kesalahan, kemudian berubah. Walau perubahan itu tak melalui proses yang meyakinkan.

Bahkan melalui kacamata musikal, di mana nyanyian dapat menyelesaikan masalah, simplifikasi yang dilakukan The Prom termasuk berlebihan. Sesuka apa pun saya mendengar sindiran terhadap kemunafikan para homofobia soal pengaplikasian ajaran Alkitab dalam nomor Love Thy Neihgbor, sekuen musikal ini jadi bukti nyata penyederhanaan filmnya atas masalah kompleks. Tapi saya yakin Murphy, Martin, dan Beguelin menyadari itu.

Meski mengganggu, rasanya mereka bukan sedang membodohi penonton. Kekurangan di atas merupakan kesengajaan. Seperti perkataan Pak Hawkins mengenai bagaimana Broadway menjadi eskapisme, The Prom menyediakan tempat bagi penonton untuk kabur dari ketidakadilan realita, ditemani lagu-lagu super catchy berlirik super cheesy. Murphy pun mampu melahirkan hiburan menyenangkan di deretan sekuen musikal, contohnya klimaks meriah berlatar malam prom, yang biarpun lagi-lagi terkesan naif, mengandung niat baik, yakni menyediakan safe haven bagi semua orang, apa pun gender dan preferensi seksual mereka.

Penceritaan The Prom bukan hanya terganggun simplifikasi, juga penyertaan subplot, juga momen-momen tidak perlu. Mungkin para penulis ingin penonton juga peduli pada karakter-karakter selain Emma, namun akibatnya, fokus melebar, pun durasi membengkak hingga 131 menit. Mungkin bakal melelahkan andai filmnya tidak memiliki jajaran pemain jempolan. Di luar dugaan Corden cukup baik mengolah rasa, Keegan memberi kita figur likeable, begitu pula Pellman, sebagai protagonis yang dengan senang hati kita dukung berkat keteguhan dan kekuatannya. Streep? Mungkin tidak banyak aktris selain Streep yang mampu menggabungkan sisi komikal over-the-top dengan kerapuhan sosok bintang paruh baya yang hatinya tak seglamor citranya. Sementara performa Kidman di lagu Zazz bakal membuatmu merindukan Satine dari Moulin Rouge!, berharap suatu hari sang aktris akan mendapatkan proyek musikal serupa sebagai bintang utama.


Available on NETFLIX

1 komentar :