Beberapa film
berkata, “live your life” atau “life is for living”. Beberapa
lainnya mengajarkan agar kita mengikuti passion, sebagai api yang
membakar semangat hidup. Tanpanya, hidup tiada berarti. Semuanya benar, tapi Soul,
yang lahir dari sentuhan emas Pete Docter (Monsters, Inc., Up, Inside
Out), mengajak penonton kembali ke awal, membicarakan esensi dasar namun
lewat tuturan ambisius. Pertanyaan eksistensial dilontarkan, “Percikan macam
apa yang dibutuhkan dalam kehidupan?”.
Bagi Joe Gardner
(Jamie Foxx), percikan itu adalah musik. Tepatnya musik jazz. Sejak dibawa sang
ayah ke sebuah pertunjukan saat masih kecil, Joe meyakini bahwa ia terlahir
untuk bermusik. Tapi kenyataan berkata lain. Karirnya jalan di tempat, dan kini
Joe mengajar musik di SMP. Sebuah pekerjaan yang tak ia nikmati, meski sang ibu
(Phylicia Rashad), menuntutnya agar melupakan mimpi bermusik dan mencari
pekerjaan tetap.
Kesempatan datang
sewaktu musisi jazz ternama, Dorothea William (Angela Bassett), menawari Joe
menjadi pianis di pertunjukkannya. Joe berhasil meraih kesempatan tersebut,
tapi akibat terlalu gembira, di perjalanan pulang ia jatuh ke lubang got. Begitu
terbangun, Joe mendapati dirinya sudah berbentuk jiwa, dan berada di tengah
antrean menuju Great Beyond alias akhirat. Di titik ini saya mulai
menyayangkan tidak adanya theatrical release bagi Soul. Bagaimana
tim animator menerjemahkan “pintu akhirat” sebagai sesuatu yang megah nan magis
tanpa harus tampak rumit, jelas pantas disaksikan di layar lebar.
Menolak “pergi” di saat
kesempatan mulai menghampiri, Joe mencoba kabur, tapi malah berakhir di Great
Before. Tempat di mana jiwa-jiwa berkumpul guna diberi kepribadian sebelum
menjalani hidup di bumi. Terjadi kesalahpahaman, dan Joe malah diminta menjadi
mentor untuk 22 (Tina Fey). Walau sudah ribuan tahun berlalu, 22 belum juga
menemukan “percikan” yang membuatnya ingin hidup. Padahal nama-nama seperti
Bunda Teresa, Carl Jung, Abraham Lincoln, Muhammad Ali, dan lain-lain, pernah
menjadi mentornya (salah satu humor terlucu sekaligus paling berani di film ini).
Demi membantu 22
menemukan “percikan” itu, sekaligus mengembalikan Joe ke bumi, keduanya pun
melakoni petualangan “lintas alam” yang selalu berhasil membawa alurnya ke arah
tak terduga, berkat eksplorasi luas dari ketiga penulis naskahnya: Pete Docter,
Mike Jones (turut menulis naskah Luca yang rilis 2021), Kemp Powers.
Jika Inside Out (2015) adalah penjelajahan ke dalam (otak manusia), maka
Soul menjelajah ke luar, memperkenalkan penonton pada dunia-dunia
imajinatif yang “menjelaskan” dinamika jiwa manusia. Salah satunya zona di mana
orang-orang mengalami trance saat tenggelam dalam passion mereka,
sekaligus tempat terperangkapnya jiwa-jiwa yang hilang akibat terobsesi akan
hal tertentu.
Di zona itulah Soul
melempar salah satu gagasannya, bahwa “passion yang menghidupkan”
dan “obsesi yang mematikan” hanya memiliki perbedaan tipis. Bahkan dibanding Inside
Out sekalipun, film ini lebih diperuntukkan bagi penonton dewasa. Khususnya
mereka yang mempertanyakan tujuan hidup. “Those really aren’t purpose.
That’s regular old living”, ucap Joe pada 22, yang menyebut hal-hal remeh
seperti berjalan-jalan, menikmati permen, atau menangkap benih maple sebagai
tujuannya menjalani hidup. Joe, sebagaimana banyak dari kita, sudah tenggelam
dalam ambisi-ambisi serta tuntutan kehidupan. Sebaliknya, kemurnian 22
membantunya melihat “the beauty of life”.
Soul adalah
soal keindahan. Keindahan yang efektif mengaduk-aduk emosi penonton, melalui
perpaduan artistik dan penceritaan. Diiringi lantunan musik jazz bernyawa
gubahan Trent Reznor dan Atticus Ross, filmnya kembali membuktikan menegaskan
kehebatan Pixar membangun realisme melalui animasi. Contoh mudahnya adalah
ketika Terry (Rachel House) yang bertugas menghitung jumlah jiwa di Great
Beyond datang ke bumi untuk mencari Joe dan 22. Semua “petugas” di alam
jiwa punya desain sederhana. Hanya berupa sambungan garis-garis. Dan ketika Terry
membaur ke bumi, ia seperti figur animasi yang masuk ke dunia live action.
Emosi bakal mencapai
puncak ketika pencapaian artistik di atas bertemu kisahnya, yang mengajak
penonton merenungkan cara memaknai hidup. Menjawab pertanyaan di paragraf
pembuka, “Percikan macam apa yang dibutuhkan dalam kehidupan?”. Rasanya
kesadaran bahwa hidup itu sendiri sudah merupakan anugerah adalah percikan yang
kita butuhkan.
Available on DISNEY
HOTSTAR+
Baca review mas rasyid, auto mewek lagi ini 😭
BalasHapus😭😭😭
HapusBakal jadi best animasi terbaik tahun ini pasti nya. Animasi Pixar memang jarang mengecewakan.🤗
BalasHapusSaingannya cuma Wolfwalkers. Paling nanti Over the Moon, Demon Slayer & Croods 2 jadi penggembira
HapusTernyata bukan film bocil wkwk, cocok bgt ditonton pas kita udh cape sm beban idup, a revelation
BalasHapusMantap nih filmnya, mengajarkan kita bersyukur..
BalasHapusTernyata semakin dewasa kita jadi lupa dan abai tentang nikmat yang dimiliki...
Terlalu fokus pada apa yang diinginkan padahal ketika sudah tercapai, kok gini yah biasa ajah sih, percis dengan yang dirasakan joe.
Kira² abis "tersetrum" di great beyond ada apa ya disana? 😳
BalasHapusHuhu, sempet ngarep nanti2 bakal diputer di bioskop. Fix ga ada. Masih gak rela mau nonton di layar tak lebar
BalasHapusSy malah menilai film ini jauh lebih dark dan kontemplatif
BalasHapusSetlah nonton ini tiba2 kepikiran kalo kt tiba2 mati.. udah siap gak?? Sdh nikmati hidup gak?? Punya bekal apa??
Seketika ingat kalo masi sering gak bersyukur dan abai dgn org2 disekitar..
Gagal mencapai sesuatu yg besar bisa bikin lost soul.. sementara hal yg "kecil" sj sdh bisa bikin kt hidup😢
Tipikal film-film animasi Pixar. Punya pesan moral yang dalam, tapi bisa disampaikan secara sederhana. Mudah dipahami oleh orang dewasa tanpa terkesan menggurui. Memang benar, obsesi yang besar akan sesuatu hal kadang membuat kita tenggelam terlalu jauh, dan lupa menjalani kehidupan. Padahal jika kita mau berhenti sejenak, melihat ke sekitar dan bersyukur akan hal-hal kecil yang kadang lupa kita syukuri, seperti kesehatan, keluarga, matahari pagi, hembusan angin, dsb., kita akan menyadari bahwa life literally is the greatest gift we should be grateful for.
BalasHapusGreat movie, and excellent review as always.
One of my comfort film
BalasHapus