22/12/20

REVIEW - SOUND OF METAL

0 View

REVIEW INI MENGANDUNG SPOILER

Apa yang anda bayangkan tiap mendengar sebutan “musisi metal”? Rasanya tidak jauh dari rambut gondrong, tato, gaya hidup rock ‘n roll, hingga sosok gahar, bahkan menyeramkan. Kesan yang muncul karena persona macam itu kerap dipilih oleh para musisi cadas. Sehingga menarik saat melalui Sound of Metal yang ia tulis naskahnya bersama adiknya, Abraham Marder, sutradara Darius Marder justru menampilkan hal sebaliknya, yakni sewaktu musisi metal berada dalam fase paling rapuh nan penuh ketidakberdayaan. Sewaktu sang musisi tak lagi mampu mendengar kebisingan yang identik dengan hidupnya.

Ruben (Riz Ahmed) merupakan penabuh drum duo metal Blackgammon, di mana kekasihnya, Lou (Olivia Cooke), menjadi vokalis. Ruben selalu bangun pagi, membuat jus sehat untuk sarapan sembari memutar musik delta blues. Kemudian setelah Lou membuka mata, keduanya berdansa diiringi lagu romantis. Marder Bersaudara nampaknya memang ingin mendobrak stereotip-setereotip di atas.

Hingga telinga Ruben berdenging keras, dan sejak itu pendengarannya menurun dengan cepat. Dokter menyebut bahwa kini Ruben hanya bisa mendengar 20-30% suara, dan itu bakal segera memburuk. Terdapat opsi memasang implan koklea, namun biayanya begitu tinggi, pun tidak ditanggung asuransi. Momen kali pertama Lou mengetahui kondisi kekasihnya, dikemas mengharukan oleh Darius, tanpa perlu pernak-pernik dramatisasi, membuktikan kapasitasnya membangun emosi lewat visual (selain tentunya suara, yang nanti akan saya bahas).

Berkat bantuan seorang kawan, Ruben dan Lou menemukan sebuah komunitas khusus orang tuli di area pedesaan, yang dijalankan oleh Joe (Paul Raci), yang kehilangan pendengarannya akibat ledakan bom kala Perang Vietnam. Joe menyarankan agar Ruben menetap sementara waktu di sana. Bukan untuk penyembuhan, melainkan belajar hidup tanpa indera pendengaran. Ruben meragu, karena di sana, ia harus mengisolasi diri dari dunia luar, yang artinya, berpisah dengan Lou, yang mesti melanjutkan tur seorang diri.

Di komunitas tersebut, tanpa disadari, Ruben melakukan perjalanan mencari kedamaian, ketika dituntut menghabiskan waktu dengan berdiam diri, atau melakukan hal-hal “remeh” seperti belajar bahasa isyarat, atau bermain bersama anak-anak sesama tuna rungu. Indahnya ketenangan adalah apa yang bakal ia dapat, tapi tentu saja proses itu begitu sulit bagi Ruben, yang terbiasa akan kebisingan dan keriuhan musik.

Kondisi protagonisnya diwakili oleh tata suara luar biasa, yang berpeluang besar mendaratkan nominasi Oscar bagi Sound of Metal. Acap kali suara diredupkan, guna menempatkan kita di posisi Ruben. Bahkan nantinya saat Ruben telah dipasangi implan, seperti apa suara yang dihasilkan implan tersebut juga direka ulang oleh film ini. Walau saya yakin ketepatannya tidak 100%, elemen itu membantu agar penonton tidak dihadapkan pada kondisi abstrak, sehingga dapat ikut merasakan dan memahami kekecewaan, amarah, dan frustrasi dalam benak sang protagonis.

Dari situ saya dibuat mendukung penuh perjalanan Ruben, alhasil kala akhirnya ia mulai bisa beradaptasi, dan memperlihatkan senyum bahagia yang tulus, ada keharuan yang muncul. Sudah pasti performa Riz Ahmed turut berperan. Akting non-verbalnya memaparkan rasa-rasa yang dapat penonton resapi serta pahami. Tatkala Ruben akhirnya menguasai “seni” menerima dan merelakan, di situlah Sound of Metal mencapai puncak emosinya. Saya pun bersyukur Marder Bersaudara menyelipkan konflik romansa secara tepat guna, tanpa kompleksitas berlebih, yang berujung menguatkan kesan bittersweet filmnya. Tidak ada perselingkuhan, tidak ada kekasih jahat, hanya dua manusia yang berusaha menerima, bahwa setelah terpisah beberapa lama, mereka telah menjadi orang yang berbeda.


Available on PRIME VIDEO

4 komentar :

  1. bro buat daftar pendek film terbaik se-2020 dong. buat nonton nih

    BalasHapus
  2. Cesar8:42 PM

    Riz Ahmed oscar worthy nih, Bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besar banget peluang dapet nominasi. Tapi piala mungkin Chadwick yang dapet

      Hapus