10/02/21

REVIEW - LITTLE BIG WOMEN

0 View

Istilah "budaya ketimuran" kerap dibawa-bawa sebagai kedok mengekang kebebasan individu. Konon "orang Timur" harus bersikap sopan, lembut, berpakaian tertutup, dan sebagainya. Padahal, jika tidak dijadikan dalih pengekangan para konservatif kolot, istilah tersebut bisa dimaknai secara positif. Melalui karya-karya sineas Asia, dapat kita lihat perwujudan "budaya ketimuran" sesungguhnya, yang kaya akan nilai-nilai kultural, sensitivitas, kebesaran hati, dan tak ketinggalan, sebenar-benarnya spiritualitas.

Terkait persoalan di atas, film-film Taiwan belakangan makin menunjukkan taji. Sebagaimana A Sun tahun lalu, Little Big Women (sama-sama tayang di Netflix), yang diadaptasi dari film pendek berjudul Guo Mie (2017), juga mengetengahkan dinamika keluarga yang dibungkus penuh kehangatan. Di kedua versi, tokoh utamanya dimainkan oleh Chen Shu-fang, yang memenangkan Best Leading Actress pada Golden Horse Awards berkat perannya di film ini (juga Best Supporting Actress untuk perannya di Dear Tenant).

Lin Shoying (Chen Shu-fang) sedang menyambut ulang tahun ke-70, ketika sang suami yang telah menghilang selama 20 tahun, tiba-tiba meninggal di hari yang sama. Pesta perayaan pun berubah jadi pemakaman. Tiga puteri Lin berkumpul. Ching (Hsieh Ying-xuan) si sulung dengan kepribadian free-spirited yang tengah mengurus perceraian, Yu (Vivian Hsu) si dokter operasi plastik sukses yang datang membawa puteri remajanya, Clementine (Buffy Chen), dan Jiajia (Sun Ke-fang) yang tinggal sekaligus mengurus restoran bersama sang ibu.

Deretan rahasia masa lalu terungkap (beberapa kali muncul flashback guna memperlihatkan peristiwa-peristiwa penting), luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh pun ikut terbuka. Apalagi saat Lin mengetahui keberadaan Tsai Meilin (Ding Ning), wanita yang selama ini merupakan kekasih mendiang suaminya. Sesosok ayah/suami yang doyan selingkuh, kemudian pergi tanpa pamit selama puluhan tahun, hanya untuk kembali pulang dalam kondisi tidak bernyawa. Mudah bagi penonton mengutuk dan membenci, namun apa yang dirasakan keluarganya tentu tidak sesederhana itu.

Sutradara Joseph Hsu menulis naskahnya bersama Maya Huang, berdasarkan kisah hidup neneknya, sebagai media menyampaikan bahwa membenci itu mudah, namun takkan menyembuhkan. Little Big Women membawa keempat tokoh wanitanya dalam proses memaafkan dan merelakan. Bukan demi yang meninggalkan dunia, tapi agar mereka yang masih harus melanjutkan hidup, memperoleh kedamaian serta kebahagiaan. Karena sejatinya, proses tersebut jauh lebih berat, lebih membutuhkan kekuatan dibanding melempar kebencian.

Fokusnya adalah kehangatan. Kehangatan itu timbul dari interaksi anggota keluarga, yang tentunya tidak melulu diisi pergunjingan, perdebatan, atau tetes air mata. Pastinya ada tawa. Di luar dugaan, Little Big Women punya selera humor yang cukup gila (dalam artian positif). Momen "adu doa" dan "kecoa" jadi beberapa highlight.

Naskahnya membagi ruang keempat tokoh wanitanya sama rata. Bahkan lima, sebab Clementine pun diberi jatah eksplorasi sesuai porsi, tanpa memaksa karakternya bertingkah terlalu dewasa. Lin tetaplah inti dari Little Big Women, dan Chen mampu menghidupkan figur ibu yang kerap keras kepala tanpa harus kehilangan simpati. Tidak kalah kuat adalah Hsieh, yang menambah dinamika, sebagai satu-satunya figur wanita dalam keluarga yang gemar mendobrak sekat-sekat atas nama kebebasan. 

Selaku pembungkus performa gemilang jajaran pemain adalah sensitivitas Joseph Hsu, baik sebagai penulis maupun sutradara, seperti telah saya singgung di awal tulisan. Sensitivitas yang "sangat ketimuran", karena lekat dengan pemaknaan nilai kekeluargaan, pula spiritualitas. Contohnya ketika Lin mengikat benang merah di perut seorang wanita hamil (ada konteks lain dalam momen ini yang saya tidak bisa sebutkan). Sebuah kepercayaan yang dimaknai betul esensinya, yaitu sebagai ungkapan kasih sayang, alih-alih sebatas ritual yang dilakukan karena kebiasaan atau kewajiban. 

Sedangkan sensitivitas lebih general dapat dilihat di berbagai adegan karaoke. Pertama, sewaktu di pesta ulang tahunnya, Lin menyanyikan lagu soal kehilangan sosok pasangan. Menjelang adegan usai, musik latar memudar, menyisakan suara Lin, memancarkan isi hatinya yang campur aduk. Dan rasanya tidak perlu membahas adegan penutupnya. Silahkan tonton sendiri dan selamat berurai air mata. 


Available on NETFLIX

1 komentar :

  1. Next review: Judas and The Black Messiah

    Kayaknya bakalan dapet top star nih dari mas rasyid hehehe

    BalasHapus