08/02/21

REVIEW - MALCOLM & MARIE

0 View

Malcolm & Marie merupakan film Hollywood pertama yang menjalani semua tahap, dari pra-produksi hingga pasca-produksi, di tengah pandemi COVID-19. Melaluinya, Sam Levinson (Assassination Nation) selaku sutradara sekaligus penulis naskah, menunjukkan kemampuan mengubah batasan jadi ruang eksplorasi, meski pada akhirnya, kelemahan justru berasal dari hal-hal yang tak berhubungan dengan keterbatasan akibat pandemi. 

Hanya diisi dua aktor plus satu lokasi (maksimal cuma 12 orang boleh berada di set), alih-alih monoton, filmnya malah terasa intim. Pemakaian warna hitam putih pun membantu, kala pencahayaan juga tata rias tak semaksimal biasanya (kedua pemeran utama bertanggung jawab atas kostum serta riasan mereka sendiri). Dan di tangan sinematografer Marcell Rév, keindahan visual dimunculkan dari gaya hitam putih berkontras tinggi. 

Alkisah, Malcolm (John David Washington) sedang berbunga-bunga. Premiere film terbarunya (dia adalah sutradara dan penulis) sukses besar. Sesampainya di rumah mewah di Malibu yang disewakan oleh pihak studio, ia langsung menuangkan minuman, menyalakan musik sekeras mungkin, lalu menari penuh semangat sambil meluapkan euforia. Tapi kita tahu, sang kekasih, Marie (Zendaya), tidak merasa demikian. Dia berdiri di luar, merokok, memasang wajah dingin. Ada yang mengganggu pikirannya. Well, lebih tepatnya "banyak". 

Malcolm terus berseloroh, termasuk soal bagaimana seusai premiere, ia menemui beberapa kritikus, yang menyebutnya sebagai "The Next Spike Lee" dan "The Next Barry Jenkins". Malcolm tidak puas. "Kenapa bukan The Next William Wyler?", tanyanya, sebelum membahas secara panjang lebar mengenai tendensi kritikus mengasosiasikan film buatan sineas kulit hitam dengan isu ras. Malcolm jengah, karena cuma ingin membuat drama yang bisa dinikmati semua orang, alih-alih tontonan politis. "But your next movie is Angela Davis' biopic", balas Marie. 

Perdebatan perihal muatan politis dalam film merupakan salah satu titik terbaik sekaligus paling jujur milik Malcolm & Marie. Tentunya ini kejengahan Levinson sendiri, yang ia salurkan melalui karakternya. Terkait bagaimana banyak kritikus dewasa ini terlalu memaksakan diri agar tampak "woke", hingga soal representasi. Salah satu usalan mengkritisi "male gaze" dalam film Malcolm, yang membicarakan tentang perjuangan wanita pecandu narkoba. Bagi Malcolm, sah-sah saja jika seorang pencerita memandang sesuatu melalui perspektifnya. Terasa meta, sebab di sini, Levinson adalah seorang kulit putih yang membuat film mengenai pasangan kulit hitam.

Di luar persoalan di atas, konflik utamanya tetap mengenai sepasang kekasih, yang sama-sama bermasalah secara personal, sehingga begitu pertengkaran pecah, keduanya berulang kali menghancurkan satu sama lain, namun tetap saling mencintai. Terdengar serius? Tentu. Apalagi Malcolm & Marie dipenuhi teriakan. Tapi sebagai variasi, sesekali Levinson memasukkan kalimat witty, yang juga berfungsi menjaga romantisme Malcolm dan Marie, di sela-sela keributan destruktif mereka. 

Sayangnya kualitas penulisan Levinson tergolong inkonsisten. Di satu sisi, ia jeli menyelipkan informasi guna memperkaya penokohan, plus sedikit kejutan di antara bentakan-bentakan. Semakin banyak informasi masuk, semakin sulit menentukan mesti berpihak pada siapa, karena sejatinya, Malcolm & Marie bukan seputar "siapa-benar-siapa-salah", bukan seputar individu, melainkan sepasang manusia. Masalah naskahnya terletak pada kerapian struktur.

Ada kalanya pertengkaran satu dengan berikutnya tidak diberikan transisi memadai. Seolah Levinson sekedar membuat checklist berisi hal apa saja yang harus diperbincangkan. Tidak jarang pula, filmnya tersesat di tengah tumpang tindihnya kalimat yang terlontar tanpa henti. Benar bahwa kalau membicarakan keotentikan, tidak ada keteraturan dalam pertengkaran. Ketika dikuasai emosi, seseorang cenderung bersikap impulsif, meluapkan segalanya tanpa kontrol. Tapi bukankah di situ seni penulisan naskah? Di mana kekacauan semestinya dapat dipresentasikan secara rapi, tanpa kehilangan kesan otentik.

Hasilnya, Malcolm & Marie sering terasa melelahkan. Untungnya Levinson bukan sutradara medioker. Dia punya sensitivitas yang efektif membangun romantisme, keintiman, hingga sensualitas elegan. Terpenting, filmnya memiliki hati. Puncaknya pasca segala keluh kesah sudah dilemparkan, ketika Malcolm & Marie menekankan substansinya. Poin sederhana, namun salah satu pondasi utama suatu hubungan: Hargai pasanganmu. 

Tentu filmnya takkan berhasil tanpa Washington dan Zendaya. Mereka ibarat dua kutub berseberangan. Washington sebagai Malcolm lebih agresif, tampak begitu digdaya dengan ekspresi serta gestur besar. Tapi terpancar jelas, bahwa setiap amarah, keangkuhan, dan semangatnya, berasal dari kelemahan. Sebaliknya, Zendaya sebagai Marie bak sosok rapuh, namun tak pernah goyah. Sewaktu diam dengan tatapan dinginnya, Marie nampak lebih besar dibanding Malcolm yang terus melontarkan serangan. Kontradiksi inilah yang malah memperlihatkan betapa kuat perasaan keduanya. Serupa tagline-nya, they're madly in Love


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar