REVIEW - NOMADLAND

Tidak ada komentar

"Home, is it just a word? Or is it something you carry within you?". Demikian kutipan lirik Home is a Question Mark, yang sempat dibicarakan oleh karakter film ini. Lagu kepunyaan Morrissey tersebut memang sempurna mewakili perjalanan para nomad di Nomadland, dalam mencari definisi rumah. Apakah RV bisa disebut rumah? Atau harus berupa bangunan beratap? Apakah rumah adalah kebersamaan dengan orang-orang terkasih? Ataukah suatu hal lain, yang meski tak dapat dilihat namun bisa dirasa?

Pastinya, protagonis kita, Fern (Frances McDormand), menolak disebut "homeless". "I'm just houseless. Not the same thing, right?", ungkapnya. Fern memilih kehidupan nomad, tinggal di RV berpindah dari satu tempat ke tempat lain, satu pekerjaan musiman ke pekerjaan lain, pasca kehilangan segalanya. Suaminya meninggal. Kehilangan lain menyusul, kala USG Corporation selaku perusahaan di mana ia bekerja sekaligus pemilik kota Empire tempatnya menetap, gulung tikar. Selain pekerjaan, Fern juga kehilangan tetap tinggal, karena bersamaan dengan tutupnya perusahaan, Empire juga dihapus dari peta. 

Nomadland diproduksi selama empat bulan di sela-sela fase pra-produksi Eternals, di mana Chloé Zhao selaku sutradara, bersama McDormand dan para kru, juga hidup secara nomaden dalam van. Walau memiliki naskah (ditulis sendiri oleh Zhao berdasarkan buku non-fiksi berjudul sama karya Jessica Bruder), prosesnya cenderung lekat dengan metode improvisasi, khususnya mengenai momen apa saja yang bakal diambil. Tujuannya apa lagi kalau bukan realisme.

Dan realismelah yang didapat. McDormand kembali membuktikan kapasitasnya, sebagai salah satu pelakon terbaik, untuk urusan kesubtilan. Penampilannya bukan "kepura-puraan (pretend)", namun "menjadi (be)". Detail-detail kecil mengalir alami, mewakili salah satu fungsi film sebagai potret realita. 

Ada satu adegan yang sangat saya suka, yakni ketika lewat satu take, penonton diperlihatkan Fern, yang berjalan mengelilingi tanah lapang tempat para nomad singgah. Kamera bergerak, menyapu tiap sudut, memperlihatkan segala aktivitas orang-orangnya. Ibarat tur singkat, adegan ini memperkenalkan penonton pada keseharian nomad. McDormand terus berjalan, lebih sering diam kecuali saat membalas sapaan, tapi bahasa tubuhnya berbicara banyak. Bagai seorang pemandu, gerak-geriknya seolah mengarahkan kita untuk meresapi keindahan di sekitar, sembari ditemani musik gubahan Ludovico Einaudi (J. Edgar, Mommy, The Father) yang terdengar menentramkan.

Adegan di atas spesial karena sanggup merangkum segala keunggulan Nomadland. Akting realis McDormand, sensitivitas penuturan Zhao, hingga sinematografi Joshua James Richards (kolaborator sekaligus kekasih Zhao), yang mewakili metode penceritaan visual sang sutradara. Bisa kita tengok di The Rider (2017), Zhao menyukai lanskap. Bentangan alam luas yang bak menyatukan tokoh-tokohnya dengan semesta. Gaya yang tepat guna membungkus Nomadland, sebuah kisah mengenai makhluk hidup sebagai bagian alam. 

Selain McDormand dan David Strathairn (memerankan David, pria yang menaruh hati pada Fern), mayoritas pemain lain adalah amatir. Tepatnya nomad sungguhan. Hasilnya, tercipta momen-momen genuine yang menguatkan dampak emosional, dari hubungan manis Fern dengan Linda (Linda May) selaku sahabat sekaligus mentornya dalam menjalani kehidupan nomad, hingga monolog Swankie (Swankie), saat mengingat kembali peristiwa masa lalu yang membuatnya yakin bahwa hidupnya sudah lengkap. 

Saya sempat menemukan pertanyaan yang kira-kira berbunyi, "Kalau diadaptasi dari buku non-fiksi, juga menampilkan nomad asli, mengapa tidak sekalian membuat dokumenter?". Sederhana saja, karena Zhao punya tujuan spesifik (sebelum Zhao direkrut, McDormand berniat memerankan versi fiktif dari Linda). Bukan semata soal nomad, melainkan nomad yang masih melakukan pencarian. Fern masih menimbang-nimbang, gamang, terombang-ambing dalam pemikiran, "Apakah ini jalan hidup yang benar?". Dokumenter dapat mengangkat hal serupa, namun bersifat "past", bukan "present", tidak terjadi "langsung" tepat di depan mata penonton, yang mana memudahkan terciptanya koneksi dengan karakter.

Salah satu yang mengganggu pikiran Fern adalah persoalan romansa. David menyukainya, dan secara tersirat, Fern pun tak sepenuhnya menutup pintu hati. Sayangnya, poin ini jadi titik terlemah Nomadland, yang melucuti nuansa organik ceritanya, cenderung konvensional dibanding bagian-bagian narasi lain, pula kurang menyatu dengan gagasan besar filmnya. Terasa tidak tepat, sama seperti yang Fern rasakan terkait konsep "tinggal dan menetap di bawah atap".

Mendominasi sepertiga akhir alur, kelemahan tadi cukup menggoyang stabilitas Nomadland (membuat saya urung menjagokan kemenangan naskahnya di Oscar nanti) sebelum menemukan lagi pijakannya melalui kesimpulan menyentuh nan sarat makna mengenai perjalanan. Mengenai hidup. Para nomad tidak mengenal "selamat tinggal". Setiap kali berpisah di jalan masing-masing, atau bahkan saat salah satu meninggal dunia, mereka berkata "See you down the road". Nyatanya pertemuan memang kembali terjadi. Entah hitungan hari, minggu, bulan, tahun, atau mungkin di kehidupan berikutnya dalam wujud yang berbeda.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: