REVIEW - THE MAN WHO SOLD HIS SKIN

Tidak ada komentar

Pada 2012, Kaouther Ben Hania mengunjungi museum Louvre, yang kebetulan tengah mengadakan retrospektif bagi seniman asal Belgia, Wim Delvoye. Perhatian Ben Hania tertuju pada salah satu karya bertajuk Tim. Bukan lukisan, bukan pula patung, melainkan tato di punggung pria bernama Tim Steiner. Rupanya sejak 2008, tato itu telah dimiliki kolektor asal Jerman, Rik Reinking, dalam sebuah perjanjian yang mengharuskan Steiner duduk bertelanjang dada selama berjam-jam di berbagai pameran guna memperlihatkan tatonya. Poin mencengangkan lain dari perjanjian itu adalah, saat kelak Steiner meninggal, punggungnya akan dikuliti, supaya tato tersebut bisa disimpan di ruang koleksi Reinking.

Dari situlah lahir The Man Who Sold His Skin, perwakilan Tunisia di ajang Academy Awards 2021, yang sukses masuk jajaran nominasi. Kasusnya memang menarik, namun apa yang Ben Hania coba sampaikan? Selain sindiran bagi kaum elitis dunia seni, ada soal perang sipil Suriah, juga rasisme terhadap imigran, khususnya yang berasal dari Timur Tengah (saya yakin poin terakhirlah yang mengunci status nominasi film ini). 

Alkisah, Sam Ali (Yahya Mahayni) terpaksa mengungsi ke Lebanon, meninggalkan kekasihnya, Abeer (Dea Liane), akibat dituduh memprovokasi pemberontakan. Tidak lama berselang, Abeer dijodohkan dengan pria kaya dan pindah ke Brussel, Belgia. Merasa perlu menyelamatkan sang pujaan hati dari "cengkeraman monster", Sam menerima tawaran Jeffrey (Koen De Bouw), seorang seniman, untuk menato punggungnya. Syaratnya, Sam harus diperbolehkan menetap di Brussel. 

Berbeda dengan Steiner, tato milik Sam berupa gambar visa Schengen. Menurut Jeffrey, esensi karya terbarunya ini adalah mengkritisi, bagaimana pengungsi Suriah diberi label persona non grata, dipersulit aksesnya kala mengunjungi berbagai negara. Kini, sebagai benda seni, Sam justru bebas pergi ke mana saja untuk dipertunjukkan dalam ekshibisi. "Menjadi komoditi malah mengembalikan sisi kemanusiaan serta kebebasannya", ucap Jeffrey. Tapi tidak butuh waktu lama hingga Sam menyadari, seiring dengan ia mendapatkan lagi hak tersebut, ia pun kehilangan beberapa hak lainnya. 

Di suatu pameran, Sam ditegur ketika hendak mengajak foto bersama seorang bocah yang mengagumi tatonya. Sam wajib terus duduk di bawah lampu yang menyoroti punggungnya. Seolah hanya punggung bertato itu yang berharga dari Sam, bukan dirinya secara utuh sebagai manusia. Pun tindak tanduknya tidak pernah lepas dari pengawasan sang art dealer, Soraya (Monica Bellucci dengan rambut pirang yang akan membuat banyak penonton pangling).

Naskah buatan Ben Hania mampu tampil menarik mempresentasikan isu tentang dilucutinya kemanusiaan, bahkan saat individu berada di luar zona perang di mana banyak kejahatan kemanusiaan terjadi. Pemandangan ketika Sam dipertontonkan, kemudian duduk di atas panggung untuk dilelang (dalam adegan yang turut menyenggol perihal prasangka berbasis rasisme kepada orang Timur Tengah), seperti memutar waktu, menuju masa perbudakan. Hanya saja, perbudakan modern ini berkedok "apresiasi seni". 

The Man Who Sold His Skin memang tidak selantang The Square (2017) dalam mengolok-olok kaum elitis dunia seni. Ketimbang menampar wajah mereka, Ben Hania cuma memposisikan filmnya bak pengunjung museum yang diam-diam berbisik, bergunjing di belakang. Ketajaman presentasi Ben Hania juga patut dipertanyakan, terkait penggambaran sosok Jeffrey. Apakah ia termasuk elitis yang jadi target kritik? Jika ya, mengapa di akhir sikapnya berubah (meski masih berorientasi uang)? 

Perubahan mendadak Jeffrey tak ubahnya bentuk kebingungan Ben Hania mengenai bagaimana cara mengeluarkan protagonisnya dari konflik. Konklusinya bak berasal dari film berbeda (film hiburan ringan sarat twist yang kerap tak memedulikan logika), walau harus diakui, secara esensi, The Man Who Sold His Skin memberikan akhir yang pantas didapatkan karakternya, selepas frustrasi berkepanjangan yang dihidupkan melalui akting meyakinkan Yahya Mahayni. 


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: