Melabeli pelaku aksi kriminalitas sadis sebagai "iblis" wajar terjadi. Ada kalanya itu diperlukan guna menghindari justifikasi atas tindakannya. Tapi sebatas berhenti pada "pelabelan" tidak jarang menutup mata kita dari masalah utama, termasuk soal sistem. Bagi pihak-pihak yang mestinya turut bertanggung jawab pun, itu bisa menjadi bentuk "cuci tangan".
Diangkat dari kisah Martin Bryant, pelaku pembantaian di Port Arthur yang menewaskan 35 jiwa pada 1996, Nitram dibuat untuk memahami sebab suatu tragedi. Harapannya, selepas mengutuk kekejian, langkah preventif dapat dicanangkan.
Nitram (Caleb Landry Jones) adalah pemuda dengan disabilitas intelektual (di realita, Martin Bryant memiliki IQ 66, setara bocah 11 tahun). Hobinya menyalakan petasan, yang membuatnya tak disukai warga sekitar. Sang ibu (Judy Davis) memasang sikap antara memandang rendah si putera tunggal, jengah, tapi juga peduli. Walau kepedulian tersebut cenderung lebih dekat ke arah mengontrol.
Di sebuah sesi bersama psikiater, sang ibu menyampaikan bahwa obat yang diresepkan untuk Nitram "membantu memudahkan hidupnya". Lalu si psikiater bertanya, "Memudahkan hidup Nitram atau hidup anda?". Satu kalimat dari naskah buatan Shaun Grant tersebut cukup menggambarkan masalah mendasar dalam penanganan bagi anggota keluarga penderita disabilitas (terutama psikis).
Apakah ibu merupakan sosok antagonis film ini? Dia bersalah, tapi Nitram bukan penuturan hitam-putih, Mungkin lebih pas disebut "kelabu". Dunia milik Nitram adalah dunia kompleks yang destruktif. Ayah Nitram (Anthony LaPaglia), selaku satu dari sedikit orang yang mau coba memahami si tokoh utama, bermimpi membeli BnB bermodalkan uang pinjaman bank. Nantinya ini turut menyentil satu lagi wajah kelam terkait kelas ekonomi. Tatkala si kaya selalu mengangkangi golongan pekerja, lahirlah dunia di mana hati dan kepedulian telah tiada.
Nitram sempat menemukan pelipur lara kala bertemu Helen (Essie Davis), wanita kaya (mantan aktris sekaligus pemilik permainan lotere) yang berusia jauh lebih tua darinya. Sayangnya kebahagiaan itu berlangsung singkat. Apakah dengan demikian kita diajak bersimpati pada pemuda yang kelak jadi pelaku pembantaian? Untungnya tidak.
Baik naskah maupun pengarahan Justin Kurzel di kursi sutradara sama-sama mampu bersikap netral, memperlakukan kisahnya sebagai proses observasi. Kurzel, yang kembali menangani drama psikologis sebagaimana debutnya di Snowtown (2011), bersikap bagai peneliti yang mendalami sambil tetap menjaga jarak dari subjek.
Melalui aktingnya, Caleb Landry Jones melahirkan subjek menarik. Kadang pemuda rapuh yang mencari kasih sayang, kadang figur yang menebar kejanggalan mengerikan dalam diam, kadang histerikal. Apakah ia iblis sebagaimana disebut orang-orang? Atau manusia biasa yang dinding batinnya retak akibat kekeliruan bersama?
Kompleks, ambigu. Itulah mengapa Nitram sanggup mengikat penonton yang bersedia ditantang untuk menelusuri persoalan pelik. Satu-satunya hal pasti di film ini adalah mengenai regulasi senjata api yang diangkat memasuki paruh akhir. Walau keberadannya diperlukan karena termasuk isu paling vital, kegamblangan tersebut membuat third act-nya tak sekuat babak-babak sebelumnya.
(Klik Film)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar