Walau memakai kata "miracle" di judul, dan punya beberapa peristiwa yang mendekati keajaiban, Miracle: Letters to the President sesungguhnya membicarakan hal yang amat dekat, yaitu rumah. Tentang ikatan dan kerinduan terhadapnya. Baik rumah sebagai tempat, maupun orang-orang yang jadi tujuan untuk pulang.
Berlatar 1980an, naskah buatan Son Joo-yeon dan sang sutradara, Lee Jang-hoon (Be with You), terinspirasi dari pembuatan stasiun swasta pertama di Korea Selatan, tepatnya di provinsi Gyeongsang Utara. Meski terdapat rel, tidak ada stasiun di sana. Para warga pun harus berjalan kaki menyusuri rel tersebut dari stasiun terdekat. Bukan perjalanan mudah, bahkan cenderung berbahaya. Tiga terowongan plus tiga jembatan mesti dilewati. Kecelakaan berujung kematian kerap terjadi.
Joon-kyeong (Park Jeong-min) merupakan siswa SMA jenius dalam bidang matematika. Banyak kesempatan baginya untuk memperoleh pendidikan lebih baik di kota besar, namun didorong cita-citanya membangun stasiun bagi warga setempat, Joon-kyeong memilih tetap tinggal di Gyeongsang bersama kakaknya, Bo-kyeong (Lee Soo-kyung). Ayahnya, Tae-yoon (Lee Sung-min), adalah masinis. Hubungan ayah-anak ini sayangnya kurang harmonis.
Satu yang rutin Joon-kyeong lakukan adalah, menulis surat bagi presiden, berisi permintaan membangun stasiun. Tahun demi tahun berlalu, entah sudah berapa surat dikirim, tapi belum juga muncul tanggapan. Kata "menyerah" tidak ada dalam kamus Joon-kyeong. Surat terus ditulis, termasuk dengan uluran bantuan Ra-hee (Yoona), teman sekelas yang menaruh ketertarikan pada polah unik Joon-kyeong.
Alurnya tentu mengikuti pola film-film serupa, yang memadukan kisah inspiratif dan suguhan tearjerker. Begitu pula urusan pengadeganan. Tentu momen sepasang kekasih melihat kunang-kunang bakal kita temukan. Menariknya, biarpun garis besarnya formulaik, film ini bukan seperti kereta yang selalu setia berjalan di relnya. Beberapa kejutan ditawarkan.
Pertama, sekaligus yang paling menonjol, jelas twist besar di pertengahan durasi. Twist yang sejatinya tidak memiliki urgensi bila mengacu pada cerita mengenai pembangunan stasiun, tapi minimal presentasinya enggan mencurangi penonton. Naskahnya menebar remah-remah petunjuk yang akan membuat penonton berujar, "Oh pantas!" begitu kejutan itu dibuka. Terpenting, twist tersebut memberi makna lebih pada salah satu temanya, yakni tentang sulitnya melepas ikatan (dengan "rumah"). Alasan Joon-kyeong pantang menyerah jadi lebih personal serta bisa dipahami.
Masih terkait twist di atas, tersimpan satu lagi sisi menarik, dan untuk membahasnya, saya harus menuliskan spoiler. (SPOILER STARTS) Bo-kyeong meninggal akibat jatuh dari jembatan kala menghindari kereta. Sosoknya yang kita lihat cuma imajinasi Joon-kyeong...or is it? Penokohan Bo-kyeong agak menjauh dari tipikal "karakter imajiner". Sosoknya lebih ambigu. Daripada figur khayalan, Bo-kyeong lebih dekat ke representasi spritual, yang erat kaitannya dengan sensitivitas sineas Asia. Perwujudan dari "rumah". Perpanjangan tangan semesta yang sesekali membantu lewat cara-cara misterius. (SPOILER ENDS)
Kejutan berikutnya terkait peletakkan titik dalam penceritaan. Pendirian stasiun bukan jadi puncak, namun hadir di pertengahan. Poin satu ini sebenarnya dampak dari banyaknya subplot dalam naskah, sehingga harus meluangkan waktu ekstra untuk menuntaskan seluruhnya. Selain perihal stasiun, masih ada romansa dan kisah kejeniusan Joon-kyeong. Ambisius, dan hasilnya tidak selalu mulus. Alurnya terasa penuh sesak, sehingga tak jarang naskahnya kelabakan membagi porsi. Misal, sebagai film berjudul "Letters to the President", momen kala surat-surat itu akhirnya menemui hasil justru kurang diberi sorotan. Tidak terasa seperti payoff.
Naskahnya memang belum sempurna, tapi pengarahan Lee Jang-hoon, yang memahami bagaimana cara kerja tearjerker, memastikan emosinya berhasil tersampaikan. Musik gubahan Kim Tae-seong (1987: When the Day Comes, The Admiral: Roaring Currents) juga efektif membangun rasa, dan selaku pelengkap, lagu Reality milik Richard Sanderson tidak pernah gagal memperkuat situasi romantis.
Jajaran cast-nya tanpa cela. Park Jeong-min adalah protagonis simpatik, Lee Sung-min dan Lee Soo-kyung mumpuni melakoni adegan emosional masing-masing, sementara Yoona jadi penyeimbang. Di antara cerita mengharu biru yang dibumbui tragedi, Yoona memimpin selipan humornya dalam menyegarkan suasana.
Miracle: Letters to the President bicara mengenai stasiun, baik secara literal atau figuratif. Joon-kyeong bercita-cita membangun stasiun. Di sisi lain ia juga tertahan di stasiun. Dia menanti sang ayah singgah layaknya penumpang menunggu kereta yang tak kunjung tiba. Pun masih berat baginya meninggalkan stasiun itu karena hal-hal yang belum usai. Sampai ketika beban-beban tersebut tuntas, dan kereta yang ditunggu tiba, Joon-kyeong akhirnya siap pergi menuju destinasi berikutnya, meninggalkan stasiun yang jadi persinggahan pertama. Stasiun itu bernama "rumah".
(VIDIO)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar