Saya masih ingat betul bagaimana empat tahun lalu proses penyelamatan 12 bocah dan satu pelatih tim sepakbola junior Wild Boars, yang terjebak selama hampir tiga minggu di gua Tham Luang, menyitar perhatian setiap hari. Ketika akhirnya semua orang berhasil diselamatkan, dunia diingatkan bahwa kemanusiaan sama sekali belum lenyap.
Itu pula yang coba ditekankan pasutri sutradara, Elizabeth Chai Vasarhelyi dan Jimmy Chin (pembuat dokumenter pemenang Academy Awards, Free Solo), dalam The Rescue. Lebih dari 10 ribu orang dari puluhan negara, dengan beragam latar belakang serta kepercayaan (termasuk skeptisme Barat dan mistisisme Timur yang sempat berbenturan), berkumpul demi satu tujuan.
Kita takkan mendengar pengalaman para Wild Boars karena hak terkait cerita mereka lebih dulu diamankan Netflix, tapi para pembuat The Rescue mampu memutar otak untuk menyuguhkan kemasan yang kreatif. Kisah para penyelam dikedepankan, kemudian disulap layaknya film team up, di mana mereka digambarkan bak pahlawan (well, they are) yang bersatu membentuk sebuah tim super.
Tatkala upaya penyelamatan termasuk oleh Navy SEAL Thailand kesulitan menemukan titik terang, dua penyelam gua asal Inggris, John Volanthen dan Rick Stanton pun dihubungi. Mereka bukan militer maupun pasukan khusus. "Hanya" dua pria paruh baya, yang tiap akhir Minggu melakukan hobi berbahaya menyelami gua-gua bawah air. Siapa sangka ketika Navy SEAL kelabakan, mereka justru mampu mengarungi trek gua sepanjang empat kilometer, berenang selama lebih dari dua jam, dan jadi harapan terakhir 13 orang yang terjebak di Tham Luang?
Terdengar ajaib, pun "keajaiban" memang selalu ditekankan oleh Chin dan Vasarhelyi dalam narasi mereka. Misalnya soal hubungan Stanton dengan Amp, seorang suster asal Thailand yang berlibur ke Inggris. Mereka jatuh cinta, meski hanya bersama sekitar dua minggu, sebelum Amp kembali ke kampung halaman, yang ternyata begitu dekat dengan lokasi kejadian. "Sungguh sebuah kebetulan", kata Amp. Benarkah sebatas kebetulan, atau semesta sedang membukakan jalan?
Keberhasilan The Rescue menekankan perihal keajaiban itu menjadikannya makin emosional. Ditambah kepiawaian dua sutradara membangun kesan "running out of time (or oxygen?)", intensitas pun terjaga, walau penonton sudah tahu bagaimana semua bakal berakhir.
Bukan berarti filmnya nihil informasi baru. Didesain seperti team up movie, pengenalan terhadap tiap penyelam pun dilakukan. Penempatan di tengah proses penyelamatan memang kerap sedikit menurunkan tensi narasi, tapi berguna menambah informasi. Terutama fakta bahwa mereka kurang ahli dalam kehidupan sosial, sehingga akrab dengan perundungan. Terlibat di misi ini ibarat justifikasi pilihan mereka mencurahkan waktu menekuni hobi yang dipandang aneh dan "cari mati".
Kita tahu garis besar peristiwa pula misi penyelamatannya, namun tidak dengan detail di baliknya. The Rescue menyuplai detail itu, memaparkan beberapa intrik sekaligus masalah teknis yang tak sempat disorot media. Adegan reka ulang jadi kunci. Vasarhelyi dan Chin menciptakan adegan reka ulang yang luar biasa meyakinkan. Didukung penyuntingan rapi yang menggabungkannya dengan stock footage, sulit memilah mana reka ulang mana rekaman asli.
Mempertahankan realisme adalah faktor penting. Kita diajak mengulang kembali perasaan saat kali pertama mengikuti beritanya empat tahun lalu, kali ini secara lebih immersive, seolah dibawa terjun langsung ke lokasi. Ketika semuanya usai, timbul keyakinan bahwa dunia tidak segelap gua tempat bocah-bocah ini terkurung. Setidaknya selama kemanusiaan masih terus menerangi sepanjang jalan.
(Disney+ Hotstar)
Sepertinya udah 3 kali baca review movie blogger yg memuji film ini, mau nonton tp lagi puasa Disney+ huhu.
BalasHapusJimmy Chin emang idola, atlet panjat tebing, fotografer, sutradara.... Jimmy emang luarbiasa!
BalasHapus