Status sebagai "babak pertama" memang melukai narasi milik Srimulat: Hil yang Mustahal. Naskah buatan Fajar Nugros tampil bak prolog yang diulur-ulur, kemudian usai sebelum memberi payoff sepadan (masalah khas film yang kisahnya dipecah). Secara penceritaan, filmnya lemah.
Tapi di menit awal, ketika dalam gerak lambat, satu demi satu anggota Srimulat turun dari mobil yang dikerumuni para penggemar, sementara Whiskey and Soda kepunyaan Roberto Delgado yang lebih dikenal publik Indonesia sebagai "lagu tema Srimulat" terdengar, saya bisa merasakan kekaguman Fajar pada kelompok komedi legendaris itu. Srimulat: Hil yang Mustahal mungkin kurang lihai bercerita, namun ia jelas dibuat memakai cinta.
Alurnya sederhana. Popularitas Srimulat sebagai grup lawak di Jawa telah tersebar, dan mereka pun diundang ke Jakarta guna tampil di televisi nasional. Teguh (Rukman Rosadi), selaku pemimpin Srimulat, mengutus Asmuni (Teuku Rifnu Wikana) untuk mengepalai rombongan yang terdiri dari Timbul (Dimas Anggara), Tarsan (Ibnu Jamil), Tessy (Erick Estrada), Basuki (Elang El Gibran), Nunung (Zulfa Maharani), Paul (Morgan Oey), Anna (Naima Al Jufri), serta istri Teguh, Djudjuk (Erika Carlina).
Muncul satu nama baru, yaitu Gepeng (Bio One), pemain kendang yang justru lebih lucu dari mereka semua. Teguh mengizinkannya bergabung, meski beberapa pihak keberatan, khususnya Tarsan. Penggambaran Tarsan di sini cukup menarik. Penggambarannya tak dipaksakan "sempurna", walau "Tarsan asli" tampil sebagai cameo. Bahkan di salah satu bagian, meski tersirat, filmnya menyebut Tarsan "tidak lucu", karena tugasnya adalah membuat anggota lain terlihat lucu.
Ada juga bumbu romansa antara Gepeng dan Royani (Indah Permatasari), puteri Babe Makmur (Rano Karno) si pemilik kontrakan tempat Srimulat tinggal selama di Jakarta. Tapi fokus utama tetap tentang para anggota Srimulat, terutama proses mereka mencari kekhasan masing-masing, seperti Tarsan dengan seragam tentara, atau Tessy yang mendapat ide memakai batu akik serta pakaian wanita.
Penuturannya memang kurang rapi. Kadang tampak ingin bercerita, tetapi bentuknya tidak jarang seperti kumpulan sketsa. Untungnya, kumpulan sketsa yang lucu. Selain humor toilet yang cenderung menjijikkan alih-alih menggelitik, sisanya efektif memancing tawa. Seperti sudah saya sebut, kekaguman Fajar terhadap Srimulat amat kentara. Dia tahu letak "daya bunuh" tiap lawakan, lalu mempresentasikannya berbekal timing serta semangat yang tepat. Ini karya terbaik seorang Fajar Nugros.
Ensemble cast-nya juga berjasa besar. Salah satu ensemble cast terbaik di film kita. Saking bagusnya, sulit memilih sosok favorit. Merujuk pada kemiripan tampang dan gerak-gerik, Ibnu Jamil cukup menonjol. Apalagi ia berhasil "lulus ujian" tatkala muncul di satu frame bersama Tarsan. Tapi bukan berarti nama lain kalah bagus. Bio One di performa terbaik, Teuku Rifnu mengolah citra intimidatifnya selaku penguat komedi, Zulfa Maharani sempurna memotret ke-lebay-an Nunung, sedangkan Elang El Gibran sempat memamerkan kekuatan dramatik di sebuah momen non-verbal.
Momen favorit saya adalah sewaktu anggota Srimulat berkumpul di teras bersama Ki Sapari (Whani Darmawan), kemudian melempar satu per satu lawakan klasik yang sudah kita kenal betul. Saya tertawa, tapi anehnya, juga terharu. Aneh, karena sebagai anak 90an, kenangan saya akan Srimulat yang bubar pada 1989 jelas sedikit. Hanya lewat acara Aneka Ria Srimulat (1995-2003), itu pun sebatas tahu, bukan menggemari.
Sampai saya sadar, rasa haru tersebut bukan dipicu nostalgia tentang Srimulat, melainkan memori-memori indah yang dibawa lawakannya. Kaki terinjak, melorot dari kursi, dan lain-lain, adalah lawakan yang senantiasa muncul di tongkrongan. Lakukan itu, maka orang-orang yang tumbuh pasca era kejayaan Srimulat pun tetap bakal berkata, "Waah Srimulat". Srimulat telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita. Srimulat lebih dari salah satu bagian kultur, melainkan kultur itu sendiri.
Lawakan Srimulat memang "lawakan tongkrongan". "Gayeng" kalau kata kami orang Jawa. Itulah mengapa pemakaian teras sebagai latar menjadi penting. Tempat yang identik dengan kesantaian, tawa, kehangatan, kebersamaan. Sama seperti nilai-nilai usungan Srimulat.
Setuju banget bang ini ensemble cast yang paling juara terutama di genre 'comedy' yang dimana jarang banget. Dan gua yakin Ibnu Jamil, Zulfa sama Elang deserve nominasi Citra taun ini. Dan yang gua suka aktornya kebanyakan baru lagi yang main.
BalasHapusEntah kalo Citra, tapi pasti bakal push mereka di Pilmay tahun depan 👍
HapusReview film nya Everything Everywhere All At Once dong, karna nilai di IMDB dan situs lainya memberikan nilai SANGAT BAGUS. Tapi kayaknya otak aku gk kesampean deh sama film gini, bikin pusing. Yang bisa aku tangkep cuma ibunya aja bisa menerima anaknya apa adanya, itu doang dari 2jam lebih?
BalasHapusMasih belom tayang
HapusNGAKAK HABIS MELEDAK TAWA TAK TERKENDALI...GENRE KOMEDI DRAMA HORROR...FILM KOMEDI TERKEREN PARAH BANGET PECAH TAHUN 2022...SKOR 95/100
BalasHapusSempat agak lama bisa ngecerna komedinya, tapi pas udah dapet ngakak gak berhenti-berhenti haha
BalasHapusBaru sadar Naimma Aljufri itu mantan artis cilik yang meranin anak teraniaya di sinetron Apa Salahku? bareng Moudy Wilhelmina dulu ya. Bareng Bio One juga kan?? Sekarang mereka ketemu lagi di satu film, entah kebetulan atau nggak ya...?
BalasHapusPerforma para cast nya belum semua disebutin mas. Gimana nih penampilan Dimas Anggara? Baru lihat trailernya dan menurutku doski berhasil melepaskan image cowok romantis khas film-film Screenplay deh
BalasHapusOh ya mas, kira-kira sekuelnya bakalan muncul anggota Srimulat yang lain nggak kayak Mamiek dan Gogon?
Aku paling suka Elang yg jadi Basuki bisa pas bgt dari suara gerak-gerik.
BalasHapus