Saya sangat ingin menyukai Kambodja. Karya terbaru sutradara Rako Prijanto ini cukup menyegarkan, mengingat romansa dewasa tergolong jarang mengisi perfilman kita. Pun keputusannya "meminjam" beberapa gaya Wong Kar-wai jadi pernak-pernik yang menarik. Sayang, setumpuk potensi miliknya lebih banyak berguguran ketimbang bermekaran.
Anda tidak salah baca. Kambodja merupakan upaya Rako dan Anggoro Saronto (penulis naskah) untuk memindahkan karya Wong Kar-wai ke latar Indonesia. Khususnya In the Mood for Love (2000). Karakter dengan profesi jurnalis, perselingkuhan, pertukaran pasangan, pemakaian gerak lambat, rantang makanan, mahjong, semua ada. Bahkan ending-nya juga berlatar "kamboja", walau punya pemaknaan berbeda (konon terinspirasi dari lagu Menanti Di Bawah Pohon Kemboja milik Nien Lesmana).
Jakarta 1955, Danti (Della Dartyan), seorang pustakawan, baru pindah ke kos baru bersama sang suami, Sena (Revaldo), yang jadi petinggi sebuah partai politik. Menilik latar waktunya, walau tak pernah disebut secara gamblang, mudah ditebak partai apa yang dimaksud. Pasutri lain, Bayu (Adipati Dolken) si penulis dan Lastri (Carmela van der Kruk) si biduan adalah tetangga mereka.
Kesampingkan iklim politiknya, pengembangan alur Kamodja kurang lebih serupa dengan In the Mood for Love. Hubungan para pasutri memburuk, sampai kesepian mendekatkan Danti dan Bayu. Seperti Wong Kar-wai pula, naskah buatan Anggoro Saronto bertutur bak keping-keping memori, yang lebih disatukan oleh aliran rasa.
Masalahnya, dalam usaha untuk tetap terasa "pop", Kambodja masih mengutamakan gaya bercerita konvensional (bukan berbasis vibe), yang mana membutuhkan keteraturan narasi. Tatkala jembatan-jembatan penghubung antar momen kerap ditiadakan, hasilnya adalah drama bertempo lambat, namun dengan progresi alur buru-buru yang sering terkesan "patah".
Naskah juga kerepotan menyeimbangkan romansa dan politik. Apakah politik sebatas latar pembangun suasana? Tidak juga, sebab elemen itu berpengaruh besar di pengembangan cerita. Tapi eksplorasinya cenderung dangkal. Di paruh akhir, Bayu berkata pada Danti bahwa ia mengalami perubahan idealisme, tak lagi fanatik memuja satu paham dan figur. Tapi seperti apa pastinya idealisme Bayu, luput dipaparkan. Penokohannya pun jadi lemah.
Danti sendiri bukan karakter yang "matang", tapi Della membuatnya bagai magnet. Kambodja ingin tampil elegan, dan Della mendefinisikan "elegan". Kala mendapati Bayu diam-diam menulis cerita berdasarkan hubungan mereka, ia marah. Tidak secara meletup-letup. Della menahannya, dan kita bisa melihat gradasi emosinya, dari susah payah menekan amarah, lalu perlahan semakin tenang. Semua tampak dari emosi dan permainan napas.
Mengambil latar 50an, departemen artistik Kambodja cukup menarik disimak. Memang ada kalanya para pemain kelepasan, berbicara layaknya manusia modern, tapi jumlahnya masih bisa dimaafkan. Sedangkan di departemen musik, sangat kentara keinginan Rako untuk mereplikasi gaya Michael Galasso di In the Mood for Love melalui orkestra mendayu dan beberapa sampling musik klasik (Air on the G String milik Bach, Clair de lune milik Debussy). Indah di telinga, meski pemakaiannya agak berlebih, sampai terkadang menenggelamkan dialog.
Kekurangan dalam pengarahan Rako adalah, ia tak mampu mengimbangi keindahan audio dengan visual sebanding. Misal sebuah momen romantis nan intim beriringkan Clair de lune. Datar, kurang impactful. Kambodja berambisi tampil estetis, namun tanpa sense yang memadai dari para pembuatnya.
(Klik Film)
So far dr Love For Sale 2, Akhirat, aku ga terlalu sreg sama chemistry Della dan Adipati. Penasaran kalau di film ini apa lebih baik..
BalasHapusfilm film yang rilis ott entah kenapa kurang serius digarap dalam segi cerita.terkesan asal jadi..
BalasHapus