02/06/22

REVIEW - HAPPENING

0 View

(Tulisan ini mengandung SPOILER)

Bahkan setelah mulai menonton, saya masih bertanya-tanya, "Apa yang spesial dari Happening?". Premis tentang gadis remaja yang terancam masa depannya karena hamil lalu menimbang keputusan melakukan aborsi entah sudah berapa kali diangkat di berbagai medium, dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Kenapa adaptasi novel L'événement karya Annie Ernaux ini dapat menyabet penghargaan prestisius Golden Lion di Festival Film Venice 2021? 

Mengingat kisahnya berlatar 12 tahun sebelum aborsi dilegalkan di Prancis, apakah ada urgensi di dalamnya, atau sebatas potret masa lalu? Sampai datang adegan ketika seorang dokter merespon kecemasan protagonisnya dengan pernyataan, "You have no choice". Di situ semua tampak jelas bagi saya. Happening bukan "cuma" tentang kehamilan remaja, aborsi, atau potret suatu era, melainkan bagaimana wanita dilucuti pilihan-pilihan hidupnya. Persoalannya bisa diubah jadi hal selain kehamilan dan aborsi, lokasi bisa dipindahkan ke luar Prancis, latar waktu pun bisa dipindahkan termasuk ke era sekarang, dan Happening takkan kehilangan relevansi. 

Prancis, 1963, Anne (Anamaria Vartolomei) adalah mahasiswi yang sedang menanti ujian akhir. Dia rajin, pintar, berbakat, seolah jalan menuju sukses terbuka lebar. Sampai Anne tahu ia hamil. Dia belum siap menjadi ibu, yang tentu bakal mendistraksi studinya. Masalahnya, saat itu aborsi masih ilegal. Pelakunya diancam hukuman penjara. Jangankan berbuat, hanya membicarakannya saja dianggap tabu. Di satu kesempatan salah satu sahabat Anne dengan gamblang berani membahas tentang seks, bahkan memperagakannya, namun langsung tutup mulut kala Anne menyinggung aborsi. 

Artinya, ancaman tidak hanya datang dari perspektif hukum, juga sosial. Tidak satu orang pun mengulurkan tangan. Ditambah tuntutan studi, Anne seperti ditekan dari segala sisi. Sedangkan ayah si janin tak sepenuh hati membantu. Seolah kehamilan Anne bukan urusan yang perlu ia pikirkan. Serupa dengan cara banyak pria merespon isu-isu mengenai wanita.

Ada kalanya naskah buatan sang sutradara, Audrey Diwan, bersama Marcia Romano dan Anne Berest, tampil klise dalam pengembangan konflik, tapi keklisean itu memang tak terhindarkan. Kita tahu prestasi akademik Anne bakal merosot, yang mana selalu menimpa karakter dengan nasib serupa di film-film lain, tapi itu adalah kewajaran, kalu tidak mau disebut kepastian.

"I'll manage", demikian ucap Anne tiap mendengar pertanyaan mengenai bagaimana caranya mengatasi masalah. Jawaban yang bisa dimaknai sebagai ketidaktahuan, tapi juga dapat dilihat sebagai penolakan atas kata "menyerah". Anne terus berjalan, dan Diwan tak membiarkan si protagonis lepas dari sorot kamera. Kala dunia berpaling dari wanita-wanita dengan nasib seperti Anne, Diwan dan kameranya tidak. 

Kita diajak terus berada di dekat Anne. Depan, belakang, samping, dari segala penjuru. Sinematografi garapan Laurent Tangy menerapkan rasio aspek 1.37 : 1 yang makin memperkuat kedekatan tersebut. Selain berfungsi menegaskan perasaan terkekang karakternya, pilihan teknis itu pun memfasilitasi akting subtil Anamaria Vartolomei yang tampil kuat bak magnet. 

(SPOILER STARTS) Anne akhirnya melakukan aborsi, melalui sekuen yang dieksekusi secara intens nan menyakitkan. Diwan memakai over-the-shoulder shot untuk membungkus momen tersebut. Penonton bagai ada di belakang Anne, melihat apa yang ia lihat (bukan ekspresinya) agar dapat menaruh simpati. Di situ kepekaan sang sutradara nampak. Perspektif orang pertama tidak digunakan, sebab biar bagaimanapun, mustahil membuat semua penonton filmnya merasakan kesakitan yang Anne rasa, baik fisik maupun psikis. Memaksakannya hanya akan berujung pada upaya membangun empati semu. (SPOILER ENDS)

Happening bukan perjalanan yang mudah, tapi konklusinya, yang secara jeli mengubah kata yang biasanya diasosiasikan dengan tragedi menjadi sumber kelegaan, memberi payoff yang indah. Menyaksikan film ini, saya makin mantap menyanggah terminologi "pro-choice" dan "pro-life" dalam menyikapi isu aborsi. Karena ketika individu dibebaskan memilih jalannya sendiri, itu juga suatu bentuk dukungan bagi kehidupan.

(Klik Film)

2 komentar :

  1. Film yg jarang dibahas, tapi powerful banget. Nunggu film2 anamaria lainnya lagi, cantik beud dah si do'i

    BalasHapus
  2. Anonim9:38 PM

    review film RUMAH KUNTILANAK di tunggu ya...film indonesia yang bikin gemes, sesak nafas & mindblowing powerfull banget

    BalasHapus