Saya percaya komedian (yang baik) punya sensitivitas di atas rata-rata. Mereka bisa menangkap nyawa, esensi di balik hal-hal keseharian yang bagi sebagian orang mungkin terkesan remeh, guna mengkreasi materi komedi. Sehingga tidak mengejutkan saat di Hollywood, nama-nama seperti Jim Carrey, Steve Carell, hingga Adam Sandler, jago berakting drama.
Fenomena serupa muncul di Indonesia. Bedanya, transformasi terjadi pada figur di belakang kamera. Ernest Prakasa mengawali, Muhadkly Acho turut serta, dan kini giliran Bene Dion Rajagukguk, selepas tiga tahun lalu melakoni debut penyutradaraan lewat Ghost Writer. Mengadaptasi novel hasil karyanya sendiri, sensitivitas Bene melahirkan film Indonesia terbaik 2022, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Ngeri-Ngeri Sedap bicara mengenai keluarga Batak, yang berpusat pada gesekan generasi antara orang tua dan anak. Pak Domu (Arswendi Bening Swara) dan Mak Domu (Tika Panggabean) punya empat anak, tapi cuma Sarma (Gita Bhebita), si anak kedua sekaligus satu-satunya puteri, yang tinggal bersama mereka. Sedangkan tiga putera mereka sudah bertahun-tahun kembali dari perantauan di Jawa.
Domu (Boris Bokir) si sulung yang diharapkan bakal meneruskan garis keturunan Batak justru hendak menikahi Neny (Indah Permatasari), seorang gadis Sunda. Gabe (Lolox) memilih jadi pelawak walau berkuliah di fakultas hukum. Sementara Sahat (Indra Jegel) malah menetap di Yogyakarta, meski sebagai bungsu, ia berhak mewarisi rumah keluarga.
Filmnya terasa makin personal karena Bene bak membagi keping-keping jiwanya untuk membentuk tiga tokoh tersebut. Masing-masing mewakili proses belajar. Domu soal percintaan, Gabe soal pilihan profesi, Sahat soal memaknai kehidupan di "Kota Pelajar".
Singkat cerita, Pak Domu dan Mak Domu pura-pura hendak bercerai agar ketiga putera mereka mau pulang. Taktik tersebut, ditambah upaya para anak menghalangi perceraian orang tua, membuka jalan bagi naskah milik Bene untuk meramu penceritaan kaya. Sehingga, biarpun membicarakan keluarga Batak, Ngeri-Ngeri Sedap tetap jadi suguhan universal.
Nomor satu jelas dinamika keluarga. Ini pun cakupannya luas. Utamanya tentang upaya menyeimbangkan, antara hak anak menentukan arah hidupnya, dengan kewajiban menghormati orang tua. Turut disentil pula mengenai "citra", di mana membuat sebuah keluarga nampak harmonis di mata orang luar, acap kali lebih dipentingkan daripada benar-benar mewujudkan keharmonisan itu.
Permasalahan gender tidak ketinggalan dibahas. Anak perempuan yang mengorbankan impian pribadi, hingga istri yang memilih diam. Bene bukan sedang memaksakan diri menyoroti penderitaan perempuan lewat perspektif laki-laki, melainkan menaruh simpati sebagai keluarga. Di saat bersamaan ia pun mencuatkan kesusahan anak laki-laki yang tak tahu cara untuk saling menyuarakan perhatian.
Semua kembali pada paham kolot mengenai "laki-laki harus kuat". Si ayah tak pernah memperlihatkan bagaimana menunjukkan kasih sayang antar laki-laki dalam keluarga. Besarnya harga diri Pak Domu selaku kepala keluarga juga membuatnya mengedepankan gengsi, enggan lebih dulu mendatangi buah hatinya, baik secara fisik atau batin. Andai harga diri itu dikesampingkan. Andai semua anggota keluarga bersedia mendengarkan, ketimbang (cuma) minta didengarkan.
Menjadi tontonan universal bukan berarti unsur budaya sekadar numpang lewat. Minimal, berkat itu filmnya terasa segar. Lupakan film Jakarta-sentris dengan cafe. Di sini karakternya berkumpul di lapo. Botol miras bermerk yang kerap dipakai menyimbolkan "perangai di luar moral" diganti gelas tuak yang menghangatkan aktivitas bercengkerama. Imageries Kristen yang masih langka di film kita pun kerap mengisi layar.
Sebagai sutradara sekaligus penulis, dibanding para kompatriotnya sesama "comedian-turns-filmmaker", Bene memiliki satu keunggulan, yaitu keseimbangan drama dan komedi. Transisinya luar biasa mulus. Bahkan sebuah elemen dalam alur bisa dipakai untuk menguatkan kedua genre. Perihal kebohongan Pak Domu dan Mak Domu misalnya. Di satu titik kita menertawakan kejenakaan rencana mereka, namun di titik lain, hati kita diiris-iris, apalagi sewaktu mengetahui bahwa terselip kejujuran di balik kebohongan itu.
Sekali lagi, Bene membekali pengarahannya dengan sensitivitas. Bahkan sewaktu pacing sesekali tersendat akibat adegan yang bergulir agak terlalu lama, emosi senantiasa berhasil disalurkan. Kuncinya adalah memahami makna dalam tiap ungkapan rasa. Jatuhnya air mata harus terjadi karena itulah reaksi yang wajar ditampilkan karakter. Bukan sebatas dramatisasi kosong agar penonton ikut menangis.
Puncak intensitas emosi terjadi dalam momen yang menampilkan usaha Bene menantang kapasitas penyutradaraannya, melalui long take guna membungkus sebuah pertengkaran besar. Eksekusinya belum benar-benar mulus. Tatkala satu per satu karakternya keluar-masuk frame, seolah itu terjadi karena "gilirannya tiba" alih-alih situasi natural. Bentuk mise-en-scène yang wajar di drama panggung, tapi tidak di film.
Tapi harus diakui, keputusan memakai long take membantu para aktor mengolah rasa secara maksimal. Arswendy Bening Swara menusuk hati lewat suaranya yang pecah karena tangis, Tika Panggabean dan Gita Bhebita seketika mencuri simpati, pun trio anak laki-laki semuanya solid memainkan emosi. Bagi saya Lolox paling mengejutkan. Setelah Gara-Gara Warisan mengubah persepsi saya terhadapnya, di sini ia kembali naik kelas.
Satu yang wajib dicatat, Ngeri-Ngeri Sedap bukan berniat menyudutkan orang tua atau adat. Sebaliknya, ia menghargai mereka. Bukan dengan cara mengagungkan, tetapi membuka mata atas adanya kelebihan juga kekurangan. Karena memuja secara buta bukanlah bentuk cinta. Ngeri-Ngeri Sedap merupakan surat cinta bagi semua. Bagi mereka yang pergi demi impian, bagi mereka yang tinggal dan menjaga kenangan, bagi rumah yang akan terus dirindukan.
Film yg sangat J3MBUT 🙏😅
BalasHapusSetuju soal Lolox, mungkin karna masih fresh dengan penampilannya di GGW, jadi nonton ini bener2 berasa next level. Dari sekedar ngelawak (yang mana lucu kali deh, ga boong, wajib nonton GGW!), tp ini tuh total akting. Aktingnya pun ga kaleng2, karna selain delivery dialog bagus, detil gesturnya juga masuk. Huhu salut!
BalasHapusNontonnya sampe nangis ga bang?
BalasHapusreview film RUMAH KUNTILANAK di tunggu ya...film indonesia yang bikin gemes, sesak nafas & mindblowing banget
BalasHapusReview Cinta Subuh dong bang!
BalasHapusWah Jarang jarang film Indonesia dapat nilai "Bagus" dari bang Rasyid, semoga Film Indonesia selalu naik kelas ke depannya
BalasHapussiapkan sapu tangan atau tissu, please...
BalasHapussetuju dengan mise-en-scene yang terasa kurang natural
BalasHapusagak ganjel rasanya pas nonton, ternyata itu produk teater panggung ya pantes ada yang "beda"
tapi rasa "mengganjal" itu ditutup dengan sangat apik namun bangsat oleh gita bebita. gila gila
He em, long take nya memang agak kurang. Sarma saves the long take.
HapusKalo sy terkesima dgn suara parau tapi marah dari Pak Domu. Joss bgt aktingnya Pak Domu.