Saya menonton Incantation dua kali. Pertama di siang hari, lalu sekali lagi di malam hari. Tujuannya adalah uji coba terkait ada/tidaknya perbedaan tingkat kengerian. Ternyata ada. Sangat jauh malah. Saya pun yakin hasilnya bakal kembali berubah bila disaksikan di bioskop (membuat komparasi "mentah" dengan The Medium yang banyak muncul di media sosial menjadi kurang valid).
Semua soal experience dan persepsi. Di luar kegelapan serta kesunyian malam hari yang mendukung sensasi menonton film horor, mayoritas teror yang dialami protagonis Incantation pun terjadi pada kegelapan dan kesunyian malam yang sama, sehingga lebih mudah bagi penonton mengasosiasikan aktivitas menontonnya dengan pengalaman si karakter. For me, that's the beauty of movie, especially horror movie.
Perihal persepsi sendiri berperan penting dalam horor berpendapatan tertinggi sepanjang sejarah Taiwan ini. Trailernya yang mengundang kehebohan itu (terutama di Indonesia) bermain-main dengan persepsi visual melalui ilusi optik, saat kita diajak mengubah arah pergerakan kincir dan kereta. Di konteks filmnya, hal tersebut, ditambah arahan untuk ikut merapal mantra "hou-ho-xiu-yi, si-sei-wu-ma", disampaikan oleh Li Ronan (Tsai Hsuan-yen) kepada penonton vlognya.
Ronan mengunggah video berisi pengakuan, bahwa enam tahun lalu, akibat tindakan sembrononya, ia terkena sebuah kutukan yang merenggut nyawa orang-orang di dekatnya. Kini kutukan itu menyebar ke puterinya, Dodo (Huang Sin-ting). Melalui partisipasi penonton videonya, Ronan berharap dapat menyelamatkan sang puteri.
Elemen di atas adalah modal memadai guna memberi sentuhan segar bagi narasi Incantation sebagai mockumentary, di tengah formula "skeptis ignorant kena batunya", yang walau klise, belakangan menemukan relevansinya lagi pada masa di mana pola pikir logis justru kerap mengerdilkan mistisisme dan adat alih-alih memperluas perspektif.
Masalahnya, naskah buatan Chang Che-wei bersama sang sutradara, Kevin Ko, kurang rapi menangani penceritaan. Tiada batasan jelas terkait mana saja video yang Ronan bagikan ke publik, sehingga pengalaman menonton immersive yang konsepnya bawa gagal dimaksimalkan. Lompatan alur antara flashback dan masa kini pun tak berlangsung mulus, sebab naskah lalai menjembatani perpindahan latar waktunya.
Padahal kekuatan bercerita memegang peranan besar menentukan tingkat keberhasilan konklusinya, tatkala sebuah twist secara cerdik mengubah cara kita memandang keseluruhan alur. Lagi-lagi soal persepsi. Lalu timbul pertanyaan, "Bagaimana suatu persepsi terbentuk?". Kembali ke gambar kincir, arah gerakannya dapat diubah, tapi tanpa instruksi Ronan, apakah kita otomatis melakukannya? Apakah itu bukti kuatnya pikiran, atau malah kelemahan karena begitu gampangnya persepsi kita digiring ke arah tertentu? Perihal "menggiring persepsi" ini juga membuat medium internet yang karakternya pakai jadi tepat guna.
Demi mendukung gagasan terkait "memutarbalikkan persepsi", Kevin Ko banyak bermain-main dengan visual sarat simbol. Entah estetika properti (misal desain patung Buddha), gestur tangan, hingga salah satu yang paling menarik, penggunaan satu lagi ilusi optik di paruh akhir, ketika layar hanya diisi simbol dan teks terjemahan mantra.
Ko mungkin terlampau banyak menambahkan efek suara dan scoring dalam mempresentasikan teror yang berujung mengurangi kesan organik khas mockumentary, pun "video terowongan" yang hype-nya dibangun sepanjang durasi tak sepenuhnya berhasil jadi puncak, namun secara keseluruhan, ia tetap piawai menciptakan tontonan atmosferik. Jump scare tampil cukup efektif, deretan imageries-nya pun memancing rasa tidak nyaman (pengidap tripofobia mesti berhati-hati), khususnya tiap lantunan mantra mengiringi jalannya adegan.
(Netflix)
Bagus mana sama The Medium..?
BalasHapusFilmnya bikin penonton simpati dan kasihan akan hubungan Ibu dan Anak. Gimana si Rounan berjuang mati2an utk anaknya. Dan si anak waktu diajak balik ke panti asuhan malah pengen sama ibunya aja. Padahal kutukan terus menerus meneror keduanya.
BalasHapusSisanya sih anjiir bgt. Kayak sekte aneh lah, monster tak kasat mata lah, lubang2 di kulit….
Bosen banget nonton film ini. 30 menit pertama ketiduran, pas bangun dilanjutin dan tetap bosen. Padahal malam hari nontonnya. 2,5/5 dari saya.
BalasHapusKetika disuruh ngomong mantra didalam hati pas opening,untung aku ngomongnya dihati "ngga mau...ngga mau....we...wekk..wek"
BalasHapusTaiwan lagi jaya-jayanya bikin horror hbs The Sadness sekarang ini😁
BalasHapusHorror asia emang gak ada lawan. Beda sama horror barat
BalasHapusgaada lawan emang horror asia tuh pasti kerasa takutnya
BalasHapusAtmosfer horor dari Jepang sama Taiwan emang selalu mengena sih buat saya. Bahkan ngeliat jalanan sama rumah mereka aja dengan tone kebiruan begitu, udah berasa creepy-nya.
BalasHapus