Sama seperti Indonesia (Ibu Pertiwi), India memakai figur perempuan (Mother India) sebagai personifikasi bangsa. Walau demikian, kenapa di kedua negara perempuan kerap dirampas haknya? Bukankah itu sama artinya merendahkan "tanah kelahiran"? Mungkin justru karena itu. Karena perempuan sebatas diidentikkan dengan "melahirkan". Para perempuan di Writing with Fire menolak kekolotan tersebut.
Berstatus dokumenter panjang India pertama yang menyabet nominasi Academy Awards, film garapan Sushmit Ghosh dan Rintu Thomas ini mengangkat kisah orang-orang di balik Khabar Lahariya, satu-satunya surat kabar yang dijalankan oleh perempuan Dalit (kasta terendah di India).
Saat kita berkenalan dengan jurnalis Khabar Lahariya, reputasi mereka sudah cukup dikenal, setidaknya di Uttar Pradesh tempat kantornya berpusat. Mengingat surat kabar ini berdiri sejak 2002, jauh sebelum Writing with Fire diproduksi, "tugas" mengangkat fase awal itu memang mustahil disertakan. Sebagai gantinya, kita diajak menyaksikan sebuah awal baru, tatkala Khabar Lahariya bertransisi ke media digital.
Bermodalkan smartphone dan kanal YouTube (hingga tulisan ini dibuat, memiliki 561 ribu subscribers dan telah ditonton lebih dari 171 juta kali), modernisasi pun dilakukan. Bukan perkara gampang, mengingat sekali lagi, para jurnalis adalah wanita Dalit, yang jangankan mendapat gelar sarjana, hak mengenyam pendidikan saja dilucuti. Banyak yang bingung perihal mengoperasikan kamera smartphone, ada pula yang kesulitan membaca alfabet.
Tiga nama jadi sorotan utama. Meera Devi sang chief reporter, Suneeta Prajapati yang khusus memberitakan kriminalitas, dan Shyamkali Devi yang masih hijau. Kita mengikuti ketiganya beraksi di lapangan, dan walau tak diucapkan gamblang, jelas mereka berjuang mewakili suara-suara pihak yang kerap dibungkam, sebutlah korban perkosaan, hingga rakyat kecil yang ditindas mafia tambang. Artinya, risiko dimusuhi jajaran penguasa amatlah besar.
Dari sini Writing with Fire berhasil membangun kekaguman saya terhadap subjeknya. Mereka bukan sekelompok pejuang idealisme naif yang luput menyadari bahaya profesinya. Pun sempat ada berita soal pembunuhan wartawan wanita senior. Alih-alih mundur, mereka malah melangkah maju, sebagaimana ditunjukkan Suneeta kala dengan tegas mengonfrontasi pria yang menghalangi liputannya.
Rintangan lain berasal dari internal keluarga. Suami Meera mengutarakan pesimisme terkait masa depan pekerjaan sang istri dan cenderung pasif memberi dukungan, keengganan menikah membuat keluarga Suneeta dipandang buruk oleh lingkungan, sementara Shyamkali memutuskan bercerai pasca jadi korban KDRT. Semasa menikah, si suami sering memaksanya berhenti mewartakan berita, yang direspon Shyamkali dengan jawaban, "Kamu yang akan aku tinggalkan, bukan pekerjaanku". Tanpa sadar saya bertepuk tangan.
Di tengah era yang menambah ragam gaya dokumenter, Sushmit Ghosh dan Rintu Thomas mempertahankan kemasan jurnalistik, yang justru selaras dengan subjeknya. Penceritaannya rapi. Transisi fokus antara karakter berlangsung mulus, dan selama kurang lebih 94 menit, kita mengikuti perkembangan ketiganya setahap demi setahap. Suneeta yang karirnya terus menanjak, juga Shyamkali, yang meski awalnya tertinggal (tak mampu mengoperasikan smartphone, kesulitan memilih sudut pandang berita), belakangan mulai menguasai trik-trik liputan lapangan.
Memasuki paruh akhir, selepas perjalanan yang biarpun berliku cenderung uplifting, muncul beberapa fakta menyakitkan. Bersamanya, mencuat pertanyaan, "Apakah itu wujud kekalahan?". Saya yakin bukan. Kekalahan adalah ketika tiada perlawanan dilakukan, dan barisan perempuan Khabar Lahariya jelas melawan. Melawan dengan tulisan, dengan tutur kata di pemberitaan, sembari membawa nyala api keadilan.
(Klik Film)
Terimakasih ulasannya mas, saya belum nonton film ini, danada rencana buat nonton. Kalau boleh sumbang saran, saya mau usul supaya film-film foreign atau film asing non hollywood bisa diperbanyak mas.... Karena sebetulnya banyak sekali film-film luarbiasa selain hollywood. Btw makasih mas, mohon maaf sebelumnya.
BalasHapusharus di banyakin sih review selain film hollywood, biar semua tau juga ni gakalah kok film yg lain. Makasih infonya mas
BalasHapus