Carter adalah karya ambisius dari Jung Byung-gil, dan saya punya love-hate relationship dengan ambisi sang sutradara, yang namanya makin dikenal publik internasional pasca kesuksesan The Villainess (2017). Ada kalanya keliaran Jung Byung-gil memancing senyum lebar, bahkan sesekali timbul kekaguman, namun tidak jarang membuat geleng-geleng kepala.
Judulnya merujuk pada nama si protagonis, Carter Lee (Joo Won), yang terbangun tanpa mengingat identitasnya. Belum sempat ia memproses segala kebingungan di kepalanya, Carter harus langsung menyelamatkan diri dari kejaran CIA dan prajurit Korea Utara. Satu-satunya petunjuk berasal dari suara seorang wanita (Jeong So-ri) yang cuma bisa ia dengar karena alat yang terpasang di telinganya.
Menurut suara tersebut, jika Carter mau mendapat ingatannya lagi, ia harus melakukan sebuah misi. Targetnya adalah menyelamatkan Jung Ha-na (Kim Bo-min), gadis yang diculik karena tubuhnya memiliki DNA untuk memproduksi vaksin penangkal virus mematikan yang telah mengacaukan dunia selama dua bulan.
Suara wanita tadi melempar beragam instruksi pada Carter. "Belok kanan di pertigaan", "Amankan alat itu", "Sembunyikan mayatnya", "Masuk ke dalam mobil". Rasanya seperti menonton seorang teman sedang bermain video game. Kesan itu makin kuat, sebab Jung Byung-gil mengemas filmya agar tampak dibuat dalam satu take. Inilah asal muasal love-hate relationship yang saya sebut di atas.
Mari bahas dulu sisi positifnya. Jung Byung-gil sama sekali tidak menahan diri. Rasanya dia diberi kebebasan melakukan apa saja sesuai keinginan. Darah sebanyak apa pun, nudity sevulgar mungkin, dan tentunya, aksi liar sebagaimana kemauannya. Menyebut film ini "over-the-top" nampaknya masih kurang mewakili. Komikal. Mungkin itu kata yang paling pas. Semua hukum fisika dilawan. Kala sebuah mobil jungkir balik sebelum menimpa kepala orang sampai remuk bukanlah momen tergila, bisa dibayangkan bagaimana gelaran aksi lainnya. Oh, apakah saya sudah menyebut Carter nantinya bakal menjamah genre zombie?
Makin besar, makin konyol, makin asyik. Carter memang spektakel macam itu. Terkait pilihan one-shot (palsu) miliknya, Jung Byung-gil tidak asal menggerakkan kamera, dalam arti, pengarahannya tampak betul-betul sudah melewati perencanaan detail soal latar terjadinya sebuah aksi. Jika berlatar sebuah mobil, lingkungan seperti apa yang mobil itu lewati? Ada apa saja di sekitarnya? Kemudian ia eksplorasi tiap titik, supaya bisa memposisikan kamera di sudut-sudut unik yang kadang tak terduga. Perspektifnya pun rutin berubah. Kadang menyoroti protagonis, lalu pindah ke antagonis, kadang memakai sudut pandang orang pertama, kadang orang ketiga.
Sekali lagi, Jung Byung-gil sangat berambisi. Segala bentuk kendaraan ia pakai sebagai tempat adu jotos dan baku tembak, dari mobil, kereta api, pesawat, hingga helikopter. Klimaksnya merupakan puncak pencapaian dari ambisi yang tidak diganggu batasan-batasan logika tersebut.
Tapi muncul pertanyaan: Apakah kesan one-shot perlu diterapkan? Karena Carter tetap bisa tampil over-the-top sembari mengeksplorasi berbagai sudut kamera dan lokasi, tanpa harus memakai gaya tersebut. Bahkan bisa jadi jauh lebih memukau, karena Jung Byung-gil kentara belum siap menyentuh teknik itu. Menemukan "potongan" di film dengan gaya faux one-shot mungkin bukan perkara sulit, entah berupa trik kamera atau yang memerlukan bantuan CGI, tapi jahitan di Carter benar-benar buruk.
Transisi kasar, juga penggabungan dua shot yang gagal melebur akibat perbedaan framing atau pencahayaan, jadi beberapa masalah mendasar. Kekurangan akibat batasan biaya selalu dapat dimaklumi, tapi Jung Byung-gil terlampau memaksakan diri atas nama ambisi tampil bergaya.
Di departemen naskah, Jung Byung-gil kembali berduet bersama Jung Byeong-sik setelah The Villainess. Tidak mengejutkan jika penulisannya buruk, mengingat kualitas penceritaan bukan tujuan utama film ini, tapi sebagaimana presentasi aksi, naskahnya turut direcoki ambisi. Ambisi untuk tampil lebih besar dan lebih kompleks dari kebutuhan.
Sewaktu aksi berlangsung, cerita berhenti. Sebaliknya, begitu aksi rehat, ceritanya masuk, untuk tiba-tiba menjejali penonton dengan rentetan eksposisi mengenai intrik politik rumit, yang mustahil dicerna seutuhnya hanya dalam sekali tonton. Akhirnya, Carter memang masih menghibur, tapi seharusnya bisa jadi salah satu aksi terbaik tahun ini.
(Netflix)
Bang review film lightyear dong
BalasHapusNamanya Carter Lee, gue jadi teringat nama duo protagonis di trilogi Rush Hour deh
BalasHapusSaya udah nonton filemnya. Saya termasuk Fans Korean Movie (hebat pertumbuhan bisnis filem mereka)
BalasHapusDefinisi simpel saya apakah suatu filem dibilang BAGUS/JELEK hanya ada dua :
1. Jika kamu menahan kencing selama nonton filem dan merasa terpuaskan/TERSENYUM selepas menonton filem. Itu filem BAGUS.
2. Jika kamu sudah menguap-nguap, pengen skip menuju akhir filem dan merasa ada ganjalan/koq begini-koq begitu selepas menonton filem. Itu filem JELEK.
Dan Carter masuk ke kategori no. 2. Tidak perduli seberapa hebat action dan CGI-nya....