07/08/22

REVIEW - PREY

0 View

Setelah 35 tahun, akhirnya Predator punya installment yang bisa menjaga substansi film orisinalnya, tanpa harus melakukan pengulangan. Predators (2010) memang solid, namun sebatas reka ulang film pertama dengan jagoan yang kalah karismatik. Sedangkan Predator 2 (1990) dan The Predator (2018) kehilangan nyawa akibat coba tampil beda. Prey juga mengakhiri rentetan pemilihan judul yang miskin kreativitas (Thank God it's not 'Prey-Dator'). 

Digarap oleh Dan Tractenberg (10 Cloverfield Lane), Prey bertindak selaku prekuel, mengajak penonton mundur ke tahun 1719, tatkala Predator pertama kali menginjakkan kaki di Bumi. Latar waktunya saja sudah membawa kesegaran. Bagaimana kapak dan panah mampu mengalahkan mesin pembunuh bersenjatakan teknologi, yang bahkan masih tampak canggih bagi para veteran Perang Vietnam 268 tahun berselang?

Patut diingat, Dutch (Arnold Schwarzenegger) menang bukan karena unggul beradu otot atau berkat berondongan peluru. Dutch menang karena akhirnya tak memandang konfrontasi melawan Predator sebagai pertarungan, melainkan upaya bertahan hidup, sembari mengubah peran sang pemburu jadi yang diburu. Dua hal yang jadi keunggulan suku Comanche. 

Naru (Amber Midthunder) ingin diakui sebagai pemburu handal layaknya sang kakak, Taabe (Dakota Beavers), walau ia tumbuh dengan diberi pelatihan sebagai penyembuh. Orang-orang meremehkannya, tapi Naru merasa siap menjalani kuhtaamia, ritual bagi para pemburu Comanche. Sebuah "burung petir" yang ia lihat diyakini merupakan pertanda. Nara tidak tahu bahwa yang dilihatnya bukan burung, melainkan kapal luar angkasa yang menurunkan sesosok Predator. 

Makan waktu sekitar 45 menit sampai sang protagonis melihat wujud Predator secara utuh, tapi naskah buatan Patrick Aison cerdik perihal melakukan build-up. Keputusan menyembunyikan tampilan Predator berdampak positif dalam pembangunan intensitas. Bukan perkara gampang, sebab penonton sudah sangat familiar dengan sosoknya. 

Secara bergantian kita dibawa mengobservasi aktivitas Comanche dan Predator, guna menjelaskan peran kedua pihak. Predator berkeliaran memburu hewan-hewan (ular, singa, beruang) untuk menegaskan statusnya di puncak rantai makanan. Sedangkan Comanche, berbekal keterampilan mereka, terbiasa memburu hewan pemburu. 

Di satu kesempatan, sebuah tim dibentuk (Naru dan Taabe tergabung di situ), ketika salah seorang anggota suku diserang seekor singa. Begitu korban ditemukan, mereka langsung meramu obat serta membuat tandu saat itu juga. Naskahnya membuat kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri, alasan orang-orang Comanche punya peluang mengalahkan Predator meski tertinggal secara teknologi. 

Prey tak membuat berburu sebatas alasan agar dapat membuat adegan aksi atau kejar-kejaran. Berburu benar-benar jadi nyawa cerita. Misal di ritual kuhtaamia, di mana pemburu Comanche harus "berkomunikasi" dengan si mangsa sebelum mengakhiri hidupnya. Perburuan, seperti halnya kehidupan dan kematian, dipandang sebagai hal sakral. 

Naskahnya juga tidak terjebak dalam stigma moralitas baik-buruk dalam memandang peran pemburu dan mangsa. Apakah Predator jahat karena memburu manusia? Kalau begitu mengapa Comanche, selaku mangsa Predator, dipandang baik di saat mereka pun memburu hewan? Lalu bagaimana dengan kelompok penjelajah Prancis yang menguliti bison secara brutal?  

Tatkala tiba waktunya aksi mengambil alih, Dan Trachtenberg melakukan tugasnya dengan cukup baik, dibantu tata kamera cekatan garapan Jeff Cutter. Sentuhan gore turut memberi pernak-pernik penambah daya hibur, meski secara kuantitas maupun kreativitas konsep, belum bisa disebut spesial. Sayang, ada lubang di pengarahan Trachtenberg, yang lumayan mempengaruhi kenikmatan menonton. Ada kalanya detail aksi hilang di tengah transisi, membuat saya beberapa kali memencet tombol rewind agar dapat mencerna suatu peristiwa (termasuk "serangan terakhir" Naru, yang berperan vital menggambarkan kecerdikannya). 

Biarpun kelemahan di atas cukup fatal, untunglah rentetan aksi milik Prey juga menyimpan peran lain di samping sebagai spektakel. Dipenuhi adu strategi serta elemen survival, aksinya menyeimbangkan otot dan otak, yang menunjang proses pendewasaan Naru, yang dihidupkan oleh penampilan organik Amber Midthunder. 

(Disney+ Hotstar)

7 komentar :

  1. Kayaknya mirip2 Apocalisto yang diburu jd memburu dengan strategi...

    BalasHapus
  2. Anonim8:50 AM

    Prey-Dator 🤣

    BalasHapus
  3. Barusan nonton dan cukup bagus, cuma sosok predatornya terlalu lama muncul secara utuh.

    BalasHapus
  4. Anonim6:09 PM

    alur narasi nya bagus dan sederhana....

    BalasHapus
  5. Long take fighting scene cukup keren...

    BalasHapus
  6. EKO SUTRISNO7:03 PM

    kayanya bakal lebih seru klo predator datang di era samurai abad pertengahan jepang atau diera perang salib

    BalasHapus
  7. Anonim8:31 PM

    Naru mirip Yuki Kato

    BalasHapus