REVIEW - ORPHAN: FIRST KILL

6 komentar

Orphan (2009) sudah memberi tahu bagaimana nasib keluarga yang mengadopsi Esther alias Leena (Isabelle Fuhrman) sebelumnya. Dia bunuh kedua orang tua angkatnya, kemudian membakar rumah mereka. Artinya penonton tahu bagaimana Orphan: First Kill selaku prekuel berakhir. Lalu apa perlunya menonton film ini?

Orisinalitas otomatis memudar. Identitas Esther bukan lagi misteri, pula modus operandinya yang kerap jadi alat pemancing rasa penasaran di film pertama. David Coggeshall pun tak sekuat David Leslie Johnson perihal membangun interaksi yang "hidup" antar karakter di naskah buatannya. Tapi Coggeshall memahami satu poin terpenting, yaitu ia wajib membawa pendekatan berbeda tanpa mengubah keseluruhan warna.

Ini masih Orphan sebagaimana kita kenal betul. Masih soal wanita dewasa yang menyusupi suatu keluarga dengan menyamar sebagai gadis cilik. Adegan-adegan seperti Esther menyaksikan orang tuanya berhubungan seks, atau sang ibu yang diam-diam memeriksa Alkitab kala Esther di kamar mandi pun masih dipertahankan. 

Bedanya, Orphan: First Kill tahu kalau percuma memaksa penonton bersabar menanti tokoh utamanya lepas kontrol. Kenapa menutupi sesuatu yang sudah diketahui? Karena itulah filmnya tancap gas sejak awal. Baru berjalan 10 menit dan Leena telah menumpahkan darah, dalam upayanya kabur dari Saarne Institute, Estonia. Tapi itu bukan pembunuhan pertamanya. Walau menyandang kata "first" di judul, momen saat Leena pertama kali mencabut nyawa manusia justru terjadi secara off-screen, jauh sebelum latar waktu film ini (satu lagi prekuel menyusul?). 

Leena kemudian mengambil identitas Esther, gadis Amerika yang hilang empat tahun lalu. Mendapati kabar puteri mereka ditemukan, Allen (Rossif Sutherland) dan Tricia (Julia Stiles) pun langsung membawa pulang Esther. Muncul inkonsistensi. Film pertama menyebut Esther membakar rumah orang tua angkatnya, sedangkan di sini, sejauh yang publik tahu, ia berstatus anak kandung. 

Seolah tak ingin penonton menyadari lubang tersebut, William Brent Bell (The Devil Inside, The Boy) selaku sutradara, menggerakkan filmnya begitu cepat. Sangat cepat, kadang penyuntingannya terasa berantakan. Di sisi lain, temponya memang pas. Jika Orphan mengutamakan elemen psikologis yang merambatkan misteri secara perlahan, maka Orphan: First Kill tampil lebih campy. Lebih ringan. Layaknya slasher, di mana lubang alur maupun kebodohan sepantasnya dimaklumi. 

Itulah kenapa inkonsistensi di atas, walau sulit, sebaiknya dilupakan. Begitu pula bagaimana Esther hadir tanpa detail rencana mumpuni. Padahal ia dicap sebagai penipu ulung sekaligus ahli manipulasi. Walau demikian, rupanya orang tua Esther tak mencurigai perubahan wajah puteri mereka. Leena dan Esther memang mirip, tapi orang tua mana pun pasti mengenali sang buah hati, biarpun sudah terpisah bertahun-tahun. Apakah ini satu lagi wujud kelemahan naskah?

Untungnya bukan. Pertama, Orphan: First Kill mengisahkan soal luka akibat tidak utuhnya keluarga. Luka itu mendorong seseorang memercayai kebohongan, entah secara sadar atau tidak. Kedua, adanya twist. First act-nya berusaha terlalu keras menutupi kejutan tersebut hingga terkesan menipu, namun di sisi lain, twist itu turut menjustifikasi "kebodohan" salah satu karakter. Harus diakui juga kalau kehadirannya sama sekali tak terduga, pun sekali lagi, di sebuah film campy, kesan curang dalam twist bukan bentuk dosa. 

Berkat twist itu pula klimaksnya memuaskan. Lebih memuaskan dibanding film pertama, sebab kita dibuat mengharapkan pertumpahan darah, yang didasari tumbuhnya sedikit simpati pada Esther. Fuhrman kembali tampil baik menghidupkan kompleksitas Esther, yang kali ini didukung oleh efek praktikal memukau. Fuhrman dimudakan belasan tahun lewat pemakaian tata rias, body double, serta trik perspektif kamera. Tanpa CGI, bila disandingkan dengan film pertama wajah Fuhrman memang nampak menua, tapi di luar persoalan itu, tiap efek tersaji luar biasa mulus, terutama trik perspektifnya. Tatkala horor mulai banyak mengalami komputerisasi, kesediaan Orphan: First Kill menyuguhkan efek praktikal dengan begitu apik menjadikannya patut ditonton. 

6 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Twistnya memang membuat alur ceritanya jadi lebih menarik, kalau tanpa twist itu saya rasa filmnya akan B aja.

Bayu Anggoro mengatakan...

Twist nya lumayan bagus sih. Agak kaget jg pas bagian Ibu nya bisa baca bukunya Leena kok kecepetan, ternyata ada alasan laen.

Kalo di film pertama, si ayah banyak yg benci. Di sini kayaknya bakal banyak yg suka dan kasihan. Dh ditipu wanita berkelainan, ternyata ditipu oleh istri dan anak sendiri pula.

Anonim mengatakan...

Waduh nonton di pahe ya? Kok bajakan

Sicilian defense18 mengatakan...

Di kota ananda pasti belum ada xxi ya ?

Anonim mengatakan...

Padahal di streaming ada wkwk

Anonim mengatakan...

plot twist ending yang biasa aja...nggak ada greget