REVIEW - SEOUL VIBE

1 komentar

Karakter di Seoul Vibe berdandan "total". Kalung emas besar bak bintang hiphop, jaket bernuansa vibrant, sepatu bermerk. Mereka mendengarkan lagu barat, atau musisi lokal yang terpengaruh gaya barat. Coca-Cola serta burger McDonald's jadi kegemaran. Bukannya mereka melupakan kultur tradisional, tapi saat itulah, pada tahun 1988, euforia menghampiri masyarakat Korea Selatan. 

Selang 35 tahun pasca Perang Korea, terjadilah kulminasi kebangkitan Korea Selatan. Olimpiade digelar di Seoul, yang membuka gerbang Korea Selatan terhadap dunia. Status negara terbelakang sepenuhnya dilepas, citra sarat kemiskinan serta penderitaan dihapus, kultur populer pun ikut berevolusi. 

Mungkin karena itulah Park Dong-wook (Yoo Ah-in) dan Joon-ki (Ong Seong-wu) memilih pulang, setelah menghabiskan beberapa waktu di Arab Saudi sebagai bagian bisnis penyelundupan senjata. Kehebatan Dong-wook di balik setir mobil selalu jadi andalan. Sesampainya di rumah, alih-alih menikmati pesta olahraga empat tahunan, keduanya malah didatangi Ahn Pyung-wook (Oh Jung-se), jaksa yang mengetahui segala kriminalitas mereka. 

Bukan cuma mereka berdua. Juga ikut terlibat adalah: Oh Woo-sam (Go Kyung-pyo), seorang DJ; Bok-nam (Lee Kyu-hyung) si sopir taksi; dan Park Yoon-hee (Park Ju-hyun), adik Dong-wook sekaligus ketua kelab motor terbesar di Seoul. Kelimanya punya catatan kriminal, dan sang jaksa bersedia menghapus semuanya, selama mereka bersedia terlibat dalam sebuah misi.

Misinya adalah menyamar sebagai kurir bagi Kang In-sook (Moon So-ri), yang dicurigai menjalankan bisnis gelap termasuk pencucian uang untuk Jenderal Jeon (Baek Hyun-jin). Lee Hyun-kyun (Kim Sung-kyun), seorang anggota militer, merupakan tangan kanan Kang In-sook. Misi tersebut bertujuan untuk mengumpulkan bukti, supaya Jaksa Ahn dapat meringkus Jenderal Jeon. Kepala botak, kediktatoran, status anggota militer, mudah ditebak kalau sosoknya terinspirasi dari Chun Doo-hwan, presiden kelima Korea Selatan (1980-1988). 

Ya, 1988 juga menandai perubahan di bidang politik Korea Selatan, yang baru memasuki era demokrasi baru (sudah beberapa kali diangkat ke layar lebar, salah satu yang terbaik adalah 1987: When the Day Comes). Ada banyak alasan untuk bersemangat. Seoul Vibe pun tampil demikian. Moon Hyun-sung yang menduduki kursi sutradara, dan Shin Soo-A selaku penulis naskah, melahirkan kapsul waktu yang bertenaga. 

Waktu di mana aktivitas merekam keseharian makin digandrungi. Waktu dimana somaek (campuran bir + soju) mulai jadi konsumsi populer. Waktu di mana perilaku konsumsi "menggila", sehingga uang lebih berpotensi membutakan. Itulah dilema yang mesti karakternya hadapi. Bersama Kang In-sook, kehidupan mereka membaik, tapi bisakah itu menjustifikasi pembiaran terhadap perusak bangsa? 

Seoul Vibe dianugerahi lima pemeran bertalenta yang sukses menjalin chemistry solid antar tokoh utama. Interaksinya senantiasa hidup. Sayang, naskahnya tak memberi cukup waktu guna menonjolkan kemampuan masing-masing karakter. Bok-nam misalnya, yang konon merupakan "ahli jalanan Seoul" berkat profesinya, namun hanya diperlihatkan membaca peta, itu pun dalam kuantitas minim. 

Di jajaran pendukung, Kim Sung-kyun (kembali mengunjungi tahun 1988) seperti biasa tampil memukau, sedangkan Song Min-ho (statusnya sebagai anggota grup Winner jelas membantu memperluas cakupan penonton film ini) tampak bersenang-senang memerankan Galchi, rival Dong-wook. 

Meski tak terang-terangan mendeklarasikan diri, Seoul Vibe jelas berjalan mengikuti formula film heist. Third act-nya sendiri melibatkan rencana penipuan dan pencurian. Dari situlah timbul masalah besar. Sebagai heist, Seoul Vibe lalai melibatkan penonton dalam eksekusi misi. Kita tidak tahu bentuk rencana yang hendak dijalankan maupun apa saja rintangannya. Rasanya seperti dipaksa duduk di kursi penumpang sebuah mobil, yang melaju kencang tanpa memberi tahu lokasi tujuan.

Kelemahan di atas cenderung fatal, tapi untungnya Moon Hyun-sung berhasil melakukan penebusan dosa. Caranya mengarahkan sekuen kebut-kebutan sungguh energik, berkat kombinasi tata kamera dinamis sekaligus ketepatan pemilihan musik. 

Klimaksnya jadi puncak seluruh pencapaian tersebut, apalagi sewaktu Moon Hyun-sung akhirnya tidak lagi menahan diri, membuat Seoul Vibe tampil over-the-top. Melihat aksi film ini dari awal hingga akhir durasi bak menonton rekap transformasi gaya seri Fast & Furious, dari balap jalanan biasa menjadi suguhan bombastis yang mengesampingkan logika. Sekali lagi pemakaian lagunya tepat. Victory milik Koreana? Story of Last Night karya Sobangcha yang legendaris? Pilihan cerdik! 

(Netflix)

1 komentar :

Comment Page:
Fhyt mengatakan...

Setelah Sobangcha, tambah excited lg pas denger Met you by chance 🤩.

Perihal third act setuju sih, planga plongo sendiri berusaha memahami rencananya, lalu pas Sobangcha disetel, memutuskan bodo amat and just vibing.