REVIEW - DRAGON BALL SUPER: SUPER HERO

4 komentar

(Tulisan ini mengandung SPOILER!)

Dragon Ball selalu soal kekuatan. Dibanding judul-judul yang terinspirasi olehnya, cara Akira Toriyama mengembangkan cerita tergolong sederhana. Tapi bagi banyak penggemar termasuk saya, adu kekuatan fisik di Dragon Ball memiliki ruang spesial di hati. 

Semasa kecil, hubungan saya dengan ayah kurang baik. Dia bekerja di luar kota, hanya pulang sebulan sekali. Melewatkan masa pertumbuhan anak membuatnya tak terlalu mengenal saya. Satu hal yang ia tahu pasti, saya mencintai Dragon Ball. Setiap pulang, beberapa jilid komik selalu dijadikan oleh-oleh. Dragon Ball membantu kami terkoneksi. 

Son Gohan punya pengalaman serupa. Ayahnya, Son Goku, selalu pergi berlatih entah ke mana. Goku mengira sang putera adalah petarung sepertinya. Padahal, walau punya potensi kekuatan luar biasa yang bahkan melebihi Goku, Gohan bercita-cita menjadi ilmuwan. Figur ayah malah ia temui dari Piccolo. 

Piccolo merupakan Z Fighters (sebutan bagi jajaran protagonis Dragon Ball) pertama yang kita temui di sini. Dia sedang melatih Pan, puteri Gohan. Piccolo mengingatkan si bocah umur tiga tahun itu agar jangan terlambat sekolah, bahkan menjemputnya ketika Gohan menenggelamkan diri dalam riset sampai lupa waktu. Piccolo juga memarahi Gohan akibat kelalaiannya memperhatikan keluarga. Goku? Tentu ia sibuk berlatih bersama Vegeta dan Broly di planet milik Beerus. 

Paruh pertama Dragon Ball Super: Super Hero, sebagaimana film lain di serinya, tampil ringan menyoroti keseharian karakternya. Piccolo misal, yang akhirnya diperlihatkan mempunyai rumah (dengan arsitektur ala Namek pastinya), bahkan menggunakan handphone. Nuansa ringan yang mengembalikan kesan bak era awal Dragon Ball. 

Kesan yang makin kuat, mengingat lawan utama film ini adalah Red Ribbon, organisasi kriminal yang diberantas Goku sewaktu kecil, namun jejaknya masih terasa hingga Cell Saga. Magenta, putera Komandan Red yang dahulu memimpin Red Ribbon, berambisi membalaskan dendam sang ayah. Red Ribbon coba dibangkitkan, dan untuk itu Magenta merekrut Dr. Hedo, ilmuwan gila sekaligus cucu Dr. Gero (kreator android), yang konon lebih jenius dari kakeknya. 

Tiada ancaman penguasa galaksi kejam atau alien beringas, membuat Super Hero makin dekat ke petualangan ringan sebelum bertransformasi di Dragon Ball Z. Naskah buatan Toriyama terkadang berlama-lama berkutat di obrolan melelahkan karakternya, namun di sini pula tersebar beberapa easter eggs menarik (perhatikan wajah mendiang orang tua Hedo). 

Nuansa ringan bukan berarti lawan yang dihadapi juga ringan. Dua android ciptaan Dr. Hedo, Gamma #1 dan Gamma #2, mengambil peran sebagai musuh utama. Tanpa Goku dan Vegeta (absennya mereka dijelaskan lewat cara komedik yang "sangat Dragon Ball"), Piccolo dibuat kerepotan. Dia melakukan penyelidikan seorang diri, sembari berharap Gohan akhirnya mampu mengembalikan kekuatan hebat yang dahulu dimiliknya.

Rilis pasca Dragon Ball Super: Broly (2018) dengan segala kedahsyatan aksinya, Super Hero mengemban beban berat. Pengarahan Tetsuro Kodama masih mempertahankan gerak kamera lincah, dan di sini ia mendapat modal tambahan, yakni gaya bertarung unik duo Gamma. Tiap keduanya melancarkan serangan, muncul visualisasi efek suara layaknya dalam komik. 

Super Hero turut menandai debut film Dragon Ball merambah teknik animasi 3 dimensi, sebuah pilihan yang sudah memecah opini penggemar sejak trailernya dirilis. Saya termasuk pihak yang kurang menyukainya. Tidak buruk, namun sangat inkonsisten. Latarnya terbangun dengan baik, tapi animasi ketika karakternya saling melempar jurus nampak seperti cut scenes dari video game. Butuh waktu agar dapat membiasakan diri dengan gaya baru tersebut. 

Untunglah klimaksnya memukau. Selain dahsyat, aksinya juga menyimpan setumpuk fan service. Penggemar kerap melempar candaan terkait Krillin yang seharusnya bisa lebih berguna, sebab ia punya dua jurus ampuh, yakni taiyoken dan kienzan. Super Hero menjawab candaan itu. Begitu pun terkait Piccolo yang seolah melupakan kemampuannya berubah jadi raksasa. 

Tapi fan service terbaik film ini bukan hal trivial. Sejak bertahun-tahun lalu penggemar mengeluhkan bagaimana Gohan dikesampingkan. Si "anak ajaib" dianggap tersia-siakan potensinya. Super Hero memberi fan service dengan mengembalikan Gohan ke treknya, sekaligus menyempurnakan sosoknya. Gohan berhasil melebihi Goku. Sebab ia mampu menyandang status "terkuat" tanpa harus berpaling dari keluarga. Goku bertarung demi kepuasan personal, Gohan berjuang demi menyelamatkan buah hatinya. 

Cell Max mungkin bukan antagonis yang ditulis secara memadai. Dia sebatas raksasa liar bodoh nihil karakterisasi. Walau begitu, memilih Cell sebagai lawan merupakan langkah tepat. Sebagaimana dahulu, kini Gohan meluapkan kekuatan maksimalnya sewaktu menghadapi Cell. Finally his journey comes full circle. 

Dragon Ball identik dengan transformasi, sehingga tak mengejutkan jika hal serupa kembali dialami Gohan. Sekuen transfrormasinya diisi reka ulang momen paling ikonik milik Gohan sepanjang sejarah eksistensinya di Dragon Ball, hingga ke detail visual, yang mana menghadirkan nostalgia. Baik transformasi itu maupun keseluruhan klimaksnya pun menyimpan makna lebih. Pakaian yang dikenakan, jenis transformasi yang tak dipengaruhi darah Saiyan, motivasinya, hingga jurus pamungkas yang ia keluarkan, semua menegaskan identitas seorang Son Gohan. 

Dragon Ball Super: Super Hero mengembalikan sang protagonis ke masa kejayaannya, tepatnya sebuah masa kecil yang luar biasa. Menontonnya, saya pun seolah mengalami hal serupa. Rasanya seperti terlempar ke masa kecil penuh kenangan, tatkala 42 volume komik Dragon Ball memenuhi ruang imajinasi, sekaligus jadi hadiah yang setiap bulan kedatangannya selalu dinanti. 

4 komentar :

Comment Page:
Vizandi JH mengatakan...

Asli mas, senang membaca ini semua.. Kemaren saya pas nonton pun berasa naik ke mesin waktu pas msh ngikutin komik & series dragon ball di tv..
Senang ngeliat Gohan & piccolo disini serta aspek kekeluargaan di dalamnya.
Akhirnya bs ngeluat bulma minta sesuaut yg ga penting ke shen lon plus Gotenkz gendutakhirnya ada gunanya di film ini 😂😂😂😂

Anonim mengatakan...

Fullmetal alchemist yang kedua kapan reviewnya bang ?

Anonim mengatakan...

Keren bang. Review yang bagus sekaligus hangat.

Anonim mengatakan...

keren reviewnyaaa