26/09/22

REVIEW - DO REVENGE

0 View

Alfred Hitchcock tidak asing dengan fleksibilitas genre. Psycho (1960) berubah dari cerita kriminal menjadi slasher di tengah durasi, sedangkan untuk memaksimalkan intensitas horor di paruh akhir, The Birds (1963) dibuka layaknya komedi screwball. Tapi sang "master of suspense" pun rasanya takkan menduga bahwa lebih dari tujuh dekade berselang, thriller psikologis arahannya, Strangers on a Train (1951), bertransformasi jadi homage untuk teen flick era 90-an hingga 2000-an. 

Disutradarai oleh Jennifer Kaytin Robinson, yang turut menulis naskahnya bersama Celeste Ballard, dengan cerdik melakukan penggabungan dan modifikasi. Protagonisnya bukan atlet tenis pria, melainkan siswi populer dari SMA Rosehill bernama Drea (Camila Mendes). Tapi tenis tetap berperan, dalam bentuk kamp musim panas tempat Drea bertemu Eleanor (Maya Hawke), siswi baru di Rosehill. 

Status Drea sebagai siswi kasta atas hancur, kala video pribadi yang dia kirim pada sang pacar, Max (Austin Abrams), bocor ke seisi sekolah. Drea yakin Max sengaja menyebarkannya, namun tak ada yang percaya. Para sahabat yang ia kira setia pun meninggalkan Drea. Eleanor juga punya masalah terkait persepsi publik, setelah Carissa (Ava Capri) menyebar rumor kalau Eleanor melecehkannya di suatu kamp musim panas. 

Saling melempar keluh kesah mendadak berkembang ke arah sebuah rencana gila, saat keduanya sepakat "bertukar balas dendam". Drea bakal membalas Carissa demi Eleanor, Eleanor akan membalas Max demi Drea. Di Strangers on a Train, pertukaran itu bertepuk sebelah tangan. Guy (Farley Granger) menolak gagasan tersebut, tapi Bruno (Robert Walker) selalu memaksanya. Siapakah yang mengisi peran Guy si pria baik-baik dan Bruno si psikopat? 

Di situlah letak kecerdikan modifikasi naskah Do Revenge. Penokohan Drea dan Eleanor tidak mencatut dua karakter Hitchcock secara mentah-mentah, melainkan memadukannya lewat beberapa pertukaran. Bukan sebatas "agar berbeda", tapi sebagai bentuk penyesuaian terhadap pesan yang diangkat, salah satunya seputar kompleksitas dunia remaja.

Di satu titik, para remaja bisa berteman akrab, namun tak lama kemudian saling tusuk, hanya untuk berbaikan kembali. "Labil" mungkin sebutan yang pas, biarpun cenderung menggampangkan. Sebab kelabilan itu merupakan dampak awan gelap kehidupan remaja, yang erat dengan pencarian jati diri dan pengakuan, sakit hati, kesendirian, bahkan perundungan. 

Perihal woke culture ikut dibahas. Bagaimana "woke" memang diperlukan, tapi obsesi terhadapnya kerap melahirkan kepalsuan. Contohnya Max, si "fake woke misogynist motherfucker". Mengaku sebagai feminis, ditambah status siswa pria kulit putih kaya membuat Max dipuja, sedangkan Drea terpinggirkan. Kita tahu siapa yang keliru.

Tapi tidak semua sesederhana itu. Jika Strangers on a Train merupakan "film hitam putih", baik secara literal maupun caranya memandang baik-buruk, Do Revenge sebaliknya. "Berwarna". Menontonnya bak sedang mengamati kasus di media sosial yang melibatkan cancel culture penuh kejutan. Awalnya opini publik tergiring untuk berpihak ke satu sisi, mencela sisi lain, sampai terungkap fakta yang membalikkan persepsi tersebut. Terus berulang, hingga kita menyadari kompleksitas di baliknya.

Deskripsi "berwarna" juga dapat disematkan pada estetikanya. Termasuk tata kostum yang bahkan membuat sebuah piama enak dilihat. Wajar, mengingat Do Revenge juga memberi homage bagi teen flick dekade lalu. Romansa, persahabatan, adegan makeover, maupun kekhasan lain genre tersebut, yang pengadeganannya mengingatkan ke judul-judul seperti Clueless (1995), 10 Things I Hate About You (1999), dan tentu saja Mean Girls (2004). 

Penceritaannya mungkin tak selalu mulus. Durasi 118 menit menciptakan permasalahan pacing, sementara sebuah twist yang menjelaskan rencana mendetail salah satu karakternya agak bergantung pada kebetulan agar bisa berjalan. Tapi ketika Camila Mendes dan Maya Hawke (looks so much like her mother, this movie almost feels like the third 'Kill Bill') senantiasa menghadirkan energi serta chemistry yang sempurna ke layar, kelemahan penceritaan tadi jadi terasa trivial. Tidak perlu meragukan daya hibur film yang menamai seekor kadal "Oscar Winner Olivia Colman". 

(Netflix)

1 komentar :

  1. Anonim10:51 AM

    Mantulll mas broh .. ternyata baguss.. jd nonton gara2 tertarik krene review sampean. habis nonton trus baca review ini lagi baru ngehh. pean pancen josssssss gandosssss...Detil..
    awalnya skeptis bakal jadi filem remaja urakan lebai ljbt eh ternyata bagus...

    BalasHapus