Sebagai komedi, Gendut Siapa Takut?! tampil menghibur. Humornya cukup efektif memancing tawa, estetikanya lebih diperhatikan ketimbang kebanyakan komedi kita, jajaran cast-nya kuat, termasuk Marshanda yang kembali pasca empat tahun absen dari layar lebar. Tapi sebelum semua hal di atas, semestinya film ini lebih dulu menjadi kisah soal self-love. Di situlah ia terjatuh.
Masalah yang paling menonjol tentu pemakaian fat suit. Kenapa film yang coba melawan stigma buruk bagi pemilik tubuh gendut (yang juga tak berisi transformasi tubuh karakternya) malah memakai fat suit, alih-alih memilih pemain yang "pas"? Bukan fat suit yang bagus pula. Tanpa bantuan tata rias di wajah (biasanya prostetik), hasilnya makin jauh dari natural. Marshanda seperti mengenakan balon.
Padahal sang aktris sudah sedemikian total. Ditingkatkan berat badan hingga 10 kilogram, dan kala melakoni adegan komedik, ia habis-habisan, seolah bersedia melakoni apa pun demi meningkatkan kualitas filmnya. Marshanda memerankan Moza, penulis novel best seller yang berharap didatangi pangeran berkuda putih sebagai pasangan hidupnya. Tapi berat badan berlebih membuat impiannya itu sukar jadi kenyataan.
Kedua orang tua Moza (Cut Mini dan Tora Sudiro) selalu mendorongnya agar cepat mencari pasangan, tapi menyadari realita, Moza memilih fokus pada pekerjaan, di mana ia dibantu oleh sang editor, Eno (Dea Panendra). Tiga nama tersebut berjasa memaksimalkan daya bunuh komedinya. Terutama Dea Panendra dengan gaya serba berlebihnya.
Sebenarnya Moza menyimpan rasa pada Dafi (Marthino Lio), sutradara ternama yang bakal menangani adaptasi novelnya ke layar lebar. Salah satu calon pemain di film tersebut adalah Anggun (Jihane Almira), model dengan jumlah pengikut di Instagram mencapai 20 juta. Jihane adalah scene stealer. Aktingnya di "adegan casting" kelak dapat membuat Jihane mengikuti jejak Dea sebagai pencuri perhatian dalam film-film komedi.
Humor yang muncul dari naskah buatan Pritagita Arianegara (juga duduk di kuris sutradara) dan Ilya Aktop tak jarang tampil sedikit absurd, memfasilitasi hadirnya beberapa momen imajinatif yang turut berjasa menyegarkan filmnya. Beberapa visualisasi quote terasa acak, kurang terikat dengan narasi, namun kuantitasnya tak sampai mengganggu.
Estetika Gendut Siapa Takut?! memang enak dipandang. Rumah Moza yang didominasi warna jingga selaras dengan tone cerita. Lalu secara kreatif, di sebuah flashback warna rumah (juga baju karakter) diubah menjadi kelabu. Sebagai hiburan, Gendut Siapa Takut?! begitu solid.
Tapi seperti sudah disinggung sebelumnya, penceritaan tentang self-love yang melawan standar kecantikan mestinya dikedepankan. Saya belum membaca novel Gendut? Siapa Takut! karya Alnira yang jadi sumber adaptasi, tapi apa yang versi layar lebarnya sajikan adalah penuturan tak tentu arah yang kacau, pula gagal menyuarakan pesan utamanya.
Moza bertemu lagi dengan Nares (Wafda Saifan Lubis), yang sewaktu kecil kerap menjadikan tubuh gendutnya bahan ejekan. Nares hendak minta maaf atas dosa masa lalu tersebut, namun trauma yang Moza alami terlalu dalam. Tapi seiring berjalannya waktu, bukan cuma memaafkan, Moza mulai terpikat pada Nares.
Apa yang filmnya coba sampaikan dari romansa keduanya? Apa yang membuat percintaan mereka mendukung proses Moza melawan stigma negatif dalam hidupnya? Apakah ini kisah tentang bagaimana Moza berdamai dengan masa lalu? Kalau iya, apa perlunya menjadikan si pelaku perundungan pasangan cintanya? Apalagi nantinya terungkap bahwa Nares gemar mengejek Moza karena ingin mencari perhatian si gadis pujaannya. Di film lain mungkin lain cerita, tapi meromantisasi tindakan Nares di film yang seharusnya memberi empowering bagi pemilik tubuh gendut jelas bukan keputusan bijak.
Ada dua karakter lain (sepasang kekasih) turut mencela fisik Moza, dan bukannya memberi Moza "kemenangan" di permasalahan itu, filmnya justru menghadiahi pasangan tersebut dengan momen romantis. Bahkan keduanya tak menyesali, atau sekadar meminta maaf pada Moza. Betulkah ini film untuk Moza?
Gendut Siapa Takut?! juga dipenuhi poin-poin yang signifikansinya patut dipertanyakan. Misal konflik Nobel (Omara Esteghlal), adik Moza, dengan Nares, yang selain minim memberi dampak pada proses Moza, juga tampil inkonsisten. Di satu titik Nobel terlihat amat membenci Nares, tapi sejurus kemudian ia bersikap biasa saja, hanya untuk kembali menampakkan kebencian beberapa menit berselang. Kenapa juga twist di mana Moza menghadapi pengkhianatan harus ada? Lalu kenapa malah Moza yang akhirnya meminta maaf? Bahkan di film yang semestinya membela mereka, individu bertubuh gendut tidak dibela. Apa jadinya di realita?
Kita tuh punya loh aktris2 muda plus-sized yang berbakat seperti Yova Gracia atau Ryma Gembala. Physically mereka juga manis. Kalau alasan aktris2 tsb ga dipakai karena tidak terkenal, naif sih :)). Aktris2 muda langsing pendatang baru juga banyak yang ga terlalu dikenal tapi mereka laris2 aja main film (coba tanya masyarakat awam apa mereka kenal nama2 kayak Naomi Paulinda, Hanggini, Windy Apsari, Givina, Widika Sidmore...). Semua kembali pada dalih good-looking, permintaan pasar, dll.
BalasHapusSejujurnya saya seneng sih lihat Marshanda come back ke layar lebar. Tapi lebih prefer kalau film seperti ini diperankan sama aktris dg fisik yang sesuai. Pengecualian buat Imperfect, masih masuk akal diperankan Jessica Mila, karena kan ada scene kurusnya.
Lah kan si Nares nya emang tulus minta maaf dan moza memaafkan.. lalu scene yg maaf2an sm si Eno itu kenapa moza juga minta maaf.. karena eno pengen moza jg terbuka siapa cowo yg deket sama sahabat dia sendiri.. klo aja
BalasHapus😅
Hapusnunggu akhir pekan ini buat nonton film ini, tapi pas saya cek kayaknya udah turun layar ya. Di Jakarta pun tinggal tersisa 2 bioskop yg nayangin :(
BalasHapusfilm ini udah nggak tayang lagi di bioskop, ampun kakak....
BalasHapuscepet bangett
BalasHapusSuka banget penutup review ini. Realitanya? Sangat, sangat, sangat pahit. Masih pahit.
BalasHapus