REVIEW - NOKTAH MERAH PERKAWINAN
Mengadaptasi sinetron berjudul sama yang populer di pertengahan 90-an dengan aksi tampar-tamparannya, Noktah Merah Perkawinan melakukan hal yang sebelumnya nampak mustahil. Modernisasi baik di konten cerita maupun gaya jelas dilakukan, namun tanpa sepenuhnya menghapus ciri khas materi aslinya.
Pernikahan Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang (Oka Antara) memasuki masa-masa sulit. Sebulan pasca suatu pertengkaran hebat, keduanya masih bersikap dingin. Ambar ingin segera menuntaskan masalah, sedangkan Gilang cenderung lari dari masalah. Apa penyebab cekcok itu?
Pelan-pelan kita bakal diberi tahu, tapi momen pertengkaran itu sendiri tak pernah dipertontonkan. Karena seperti perkataan Kartika (Ayu Azhari, pemeran Ambar di sinetron) si konselor pernikahan, bukan pertengkaran itu yang perlu dibahas, melainkan pemicunya. Noktah Merah Perkawinan adalah proses memahami. Memahami pasangan, sembari memahami kekurangan diri sendiri.
Tapi tentu tak segampang itu. Campur tangan ibu masing-masing makin memperkeruh situasi. Apalagi selepas Yuli (Sheila Dara Aisha), murid di lokakarya kesenian keramik milik Ambar, memasuki rumah tangga mereka. Yuli membutuhkan jasa Gilang sebagai arsitek lanskap guna mendesain kafe kepunyaan pacarnya, Kemal (Roy Sungkono). Relasi bisnis itu pun berkembang, tatkala Yuli dan Gilang menemukan kenyamaan saat sedang bersama.
Bicara gaya, Noktah Merah Perkawinan lebih dekat dengan Marriage Story (2019) garapan Noah Baumbach ketimbang sinetronnya. Terutama di paruh pertama, pengarahan Sabrina Rochelle Kalangie (Terlalu Tampan) menerapkan tempo medium cenderung pelan. Tujuannya adalah mewakili dinamika emosi karakternya, yang di titik ini masih berusaha meredam.
Tapi seperti sebuah sinetron, naskah buatan Sabrina dan Titien Wattimena (karya terbaiknya sejak Salawaku enam tahun lalu) banyak bertutur secara verbal. Obrolan trio tokoh utama, sampai curahan hati Ambar, baik ke Kartika atau sahabatnya, Dina (Nazyra C Noer), tampil dominan. Bedanya dengan sinetron, itu bukan bentuk penentangan prinsip "show, don't tell", tetapi upaya mendesain filmnya agar tampil bak katarsis, yang terasa intim berkat permainan temponya.
Melanjutkan pencapaian Before, Now & Then dan Mendarat Darurat, film ini mengajak penonton memandang cinta segitiga dari sisi yang tak asal menghakimi. Yuli, yang membuktikan kepiawaian Sheila Dara menyelami tiap detail rasa, tidak dijadikan figur "pelakor" sebagaimana stigma negatif publik. Sebuah momen ketika Gilang memilih mengejar Ambar sementara Yuli ditinggalkan seorang diri, menyoroti kepedihan karakternya. Dia mesti menanggung segala luka sendiri akibat mencintai orang yang salah.
Penokohan Yuli merupakan salah satu wujud modernisasi filmnya. Contoh lain tentu saja perihal tampar-menampar. Mustahil membuat Noktah Merah Perkawinan tanpa elemen paling ikoniknya, tapi memaksa penonton sekarang bersimpati pada suami yang menampar istri jelas bukan pilihan. Naskahnya membawa opsi cerdik, dalam sekuen yang mengandung banyak poin menarik untuk dibicarakan.
Pertama, tentang bagaimana aktivitas "menampar" dimodifikasi. Masih luapan amarah, tapi alih-alih serangan ke lawan bicara, tamparan di sini jadi ekspresi "hukuman" bagi diri sendiri. Dua karakternya amat terluka, dan duet Marsha-Oka menumpahkannya secara menggetarkan.
Berikutnya terkait sensitivitas pengadeganan Sabrina. Kita sudah familiar dengan build-up menjelang momen berintensitas tinggi di genre horor dan aksi, tapi bagaimana dengan pertengkaran di drama? Sabrina membangun pelan-pelan. Diawali oleh interaksi remeh seperti membuka tutup toples, yang sekilas tenang, tapi aroma ketegangan samar-samar sudah tercium, sebelum ledakan emosi meningkat setahap demi setahap.
Sensitivitas sang sutradara memang keunggulan terbesar film ini. Biarpun mengedepankan tuturan verbal, ia tak mengesampingkan penceritaan visual, tahu apa saja yang mesti kamera tangkap. Demikian pula caranya memanfaatkan departemen musik yang ditata oleh Ifa Fachir dan Dimas Wibisana (satu isian solo gitar yang "sangat 90-an" terdengar menonjol di tengah kentalnya aransemen berbasis piano). Ada adegan di mana musik sempat berhenti sejenak, membiarkan penonton terhanyut dalam kesepian Ambar. Sabrina tahu cara memainkan emosi melalui iringan musik, bukan dipermainkan oleh ketergantungan terhadap musik.
Konklusinya menyimpan sensitivitas serupa, saat Sabrina menunjukkan bahwa mempercantik ungkapan rasa tidak eksklusif jadi milik arthouse semata. Konklusi yang berbicara lembut, seolah mengingatkan betapa sesuatu yang diawali dengan indah janganlah diakhiri secara pahit.
20 komentar :
Comment Page:wuoh mantab! semakin yakin untuk nonton besok
Mas rasyid ngasih film indo 4,5 itu artinya harus bgt wajib tonton.
Marsha bagusss bgt mainyaaa....harus menang citra pokoknya
Maaf mau tanya bang masih gak ngeh jadi si Gilang tuh sebenernya pernah ada rasa suka juga gak sama Yuli atw Yuli sama kita penontonnya aja yg baper?
aku tampar kamu...bisa...tampar..tampar mas...tampar....Yuli tidak salah, yang salah justru Ambar yang selalu membuat masalah yang tidak ada masalah justru dipermasalahkan terus, Gilang jadi bingung tanpa arah....layarnya di bioskop kurang banget untuk film sekeren ini
Sayang film sebagus ini kurang dapet jatah layar
Sangat bagus ? Ok watch list
Bang menurutmu bagusan mana ini sama Marriage Story?
Kira kira marsha masuk piala citra gk ya untuk film ini
Marriage Story. Tapi directing Sabrina di sekuen dapur itu lebih bagus dari Baumbach
Harusnya iya
horeee...masuk salah satu dari 30 nominasi film terbaik dalam ajang kompetisi piala citra 2022...yessss...minimal 5 besar nanti...
film bagus sepi penonton adalah hal biasa dalam layar bioskop....layar semakin hilang...jenis film ini bukan untuk penonton biasa, film ini untuk penikmat film.....film keren wajib ditonton
Aku rela nonton 2x hanya untuk ngeliat scene dapur, sece sate dan scene pengadilan. Asli bner2 emosional.
scene di meja jus jeruk abis pertandingan sepakbola...tepok jidat.. horror banget sampai nahan nafas
Baru kali ini keracunan nonton karena liat bang rasyid kasih bintang 4,5 dan ternyata bagus bangettt tengkyu bang
Layak dapat citra
Seminggu udah menghilang euy.. blm sempet nonton
wow keren masih bertahan di layar bioskop
Film yg sangat sangat sangat emosional, sampe nangis sesegukan padahal nonton sama temen (biasanya kalo ada tmn nonton paling parah cuma netesin air mata). Entah bagaimana pun film ini terasa sangat nyata bagi saya. Apakah karena kepiawaian para aktor dalam memainkan perannya masing-masing? Atau karena saya sendiri adalah anak korban broken home yang banyak menyimpan memori menyakitkan soal pertengkaran org tua saya di masa kecil? Hehe
Posting Komentar