13/10/22

REVIEW - INANG

0 View

Inang bukan soal teror roh jahat. Filmnya tak memandang perihal mistis sebagai kekuatan jahat. Mistisisme jadi bagian kehidupan. Sebuah misteri semesta yang mustahil diproses nalar. Sama seperti kepercayaan. Serupa kepercayaan pula, penerapannya bisa jadi keliru hingga mengundang malapetaka, bahkan ketika tak dipicu niat buruk. Karena pada dasarnya mistisisme bukan kejahatan. Ego manusialah yang membuatnya demikian.

Sederhananya, Inang tampil beda bila disandingkan mayoritas horor Indonesia, baik dalam perspektif bercerita, maupun pendekatan terhadap genrenya. Jangan mengharapkan parade jump scare. Ketimbang roller coaster ride, film ini lebih mendekati ranah art horror yang masih jarang disentuh industri kita. 

Alkisah wanita bernama Wulan (Naysila Mirdad) tengah kebingungan menyikapi kehamilannya, tatkala si pacar enggan bertanggung jawab. Jangankan membiayai persalinan lalu menghidupi si bayi, membayar sewa kontrakan saja ia tak mampu. Sampai Wulan menemukan grup Facebook yang memberi dukungan bagi ibu hamil. Dari situlah Wulan berkenalan dengan pasangan suami istri, Agus (Rukman Rosadi) dan Eva (Lydia Kandou), yang bersedia mengurus kehamilan Wulan, kemudian merawat anaknya setelah lahir. 

Kita tahu di balik keramahan mereka, Agus dan Eva menyembunyikan rahasia yang bakal membahayakan Wulan. Tapi poin utamanya bukanlah "apa yang akan dilakukan?" melainkan motivasi di belakangnya. Naskah buatan Deo Mahameru (Udin's Inferno, Stone Turtle) berfokus ke sana, memilih untuk benar-benar bercerita alih-alih mengubar teror murahan. 

Temponya lambat (bisa jadi mengecoh penonton yang mengharapkan suguhan intensitas tinggi), namun Deo tetap sadar kalau ia menulis naskah horor. Sesekali peristiwa aneh diselipkan sebagai pengingat untuk penonton bahwa kita sedang menonton film horor. Beberapa pemakaian simbol memberi ruang untuk mengedepankan penceritaan berbasis visual, walau terkadang simbolismenya terlampau gamblang (seekor tikus yang terjebak kurungan misalnya). 

Tapi bukan pendekatan slow-burn yang membuat Inang mengejutkan, melainkan keberadaan Fajar Nugros di kursi penyutradaraan. Siapa sangka dalam debutnya menggarap horor, Fajar melahirkan folk horror meditatif, dengan salah satu teror terbesarnya berasal dari sebuah sekuen mimpi buruk sureal yang aneh dan cukup liar. 

Menariknya, biarpun mengeksplorasi gaya tutur serta genre baru, Fajar tetap mempertahankan kegemarannya memancing tawa. Masih dalam porsi wajar, pula dengan metode yang tak mengkhianati warna film juga karakterisasi. Bukan tipe humor yang bak berteriak "Lihat ini! Ada lawakan lho!", namun bergulir kasual tanpa kehilangan kemampuan melucu. 

Tempo lambatnya memberi penonton waktu meresapi elemen mistis yang dihadirkan (rebo wekasan bertindak selaku pondasi), sekaligus kaitannya dengan cerita manusia-manusia di dalamnya. Inang dipenuhi kematian, tapi sejatinya ini kisah tentang (melestarikan) kehidupan. Timbul banyak kebencian, namun sesungguhnya, tindakan tiap individu didasari cinta, terutama orang tua kepada anak. 

Alhasil kualitas akting pun dibutuhkan. Naysila Mirdad membuktikan ia layak "dihargai" lebih; Dimas Anggara sebagai Bergas, putera Agus dan Eva, menunjukkan salah satu penampilan terbaik sepanjang karirnya; Lydia Kandou berjalan di area abu-abu antara "penyayang" dan "obsesif"; sedangkan Rukman Rosadi kembali memperlihatkan apa artinya "menjadi" dalam berakting. Bahkan kali ini sang aktor memamerkan keahlian memainkan suara. 

Satu keluhan saya untuk penceritaan Inang adalah bagaimana subteks perihal gender gagal diberi resolusi berarti. Di menit-menit awal kita melihat Wulan kerap diperlakukan buruk sebagai wanita. Seorang diri menanggung konsekuensi suatu hubungan romansa, pula jadi target pelecehan di lingkungan kerja. Sayangnya poin tersebut akhirnya sebatas jadi cara untuk menggambarkan betapa menderitanya Wulan. 

Dua adegan mid-credits scene miliknya terasa kurang substansial, hanya penambah shock value (walau mungkin ada intensi menegaskan soal siklus tanpa ujung), tapi sebelum itu, pilihan konklusinya berhasil menegaskan perspektif terkait mistisisme sebagai bagian semesta. "Force of nature" yang ada di luar kendali manusia, memiliki sebab-akibat yang tak bisa disangkal sekuat apa pun manusia mencoba. 

12 komentar :

  1. Anonim1:32 AM

    Potensi brp nominasi Citra bang tahun ini, secara masuk 20 besar kayanya bakal dilirik FFI nih secara teknis, tata artistik?

    BalasHapus
  2. Anonim4:47 AM

    makan buah sambil membunuh itu seperti....

    BalasHapus
  3. Anonim4:48 AM

    film jenis slowburn dengan ending klimaks....

    BalasHapus
  4. Anonim4:51 AM

    lagi lagi adegan mandi di kamar mandi....trend adegan mandi di film horror di tahun 2022...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah kamar mandi kan emang buat mandi...

      Hapus
    2. Anonim9:34 PM

      Ya kali mandi di kamar tidur..

      Hapus
  5. Anonim4:52 AM

    wow sumpah serapah kata "anjing" laku banget di film indonesia di tahun 2022....

    BalasHapus
  6. Anonim4:54 AM

    horror terbaik masuk dalam kelompok film pengabdi setan

    BalasHapus
  7. Aku suka bgt endingnya, bukan yg scene after credit yaa..
    Trus setuju sama Dimas Anggara, adegan klimaks itu bertumpu di akting dia dan berhasil jatuhnya ga cringe menurutku.

    BalasHapus
  8. Anonim12:50 PM

    hari pertama 91.238 penonton sudah denger..Jangan bahasa Inggris, Anjng...yg terus menghiasi film Inang dan film horror lainnya yang tayang tahun 2022

    BalasHapus
  9. Lumayan banget buat film horror Indo. Bisa dibilang sebanding sama PS2 dan Ivanna.

    BalasHapus
  10. Anonim7:13 AM

    Kalau kau benar-benar sayang padaku
    Kalau kau benar-benar cinta
    Tak perlu kau katakan semua itu
    Cukup cinta daku

    Sekarang apalah artinya cinta
    Walau hanya di bibir saja
    Cinta itu bukanlah main-mainan
    Tapi pengorbanan

    Semua bisa bilang sayang
    Semua bisa bilang
    Apalah artinya cinta
    Tanpa pengorbanan

    Kalau kau benar-benar sayang padaku
    Kalau kau benar-benar cinta
    Tak perlu kau katakan semua itu
    Cukup cinta daku

    Kalau kau benar-benar sayang padaku
    Kalau kau benar-benar cinta
    Tak perlu kau katakan semua itu
    Cukup cinta daku

    Sekarang apalah artinya cinta
    Walau hanya di bibir saja
    Cinta itu bukanlah main-mainan
    Tapi pengorbanan

    Semua bisa bilang sayang
    Semua bisa bilang
    Apalah artinya cinta
    Tanpa pengorbanan

    Kalau kau benar-benar sayang padaku
    Kalau kau benar-benar cinta
    Tak perlu kau katakan semua itu
    Cukup cinta daku

    Semua bisa bilang sayang
    Semua bisa bilang
    Apalah artinya cinta
    Tanpa pengorbanan

    Kalau kau benar-benar sayang padaku
    Kalau kau benar-benar cinta
    Tak perlu kau katakan semua itu
    Cukup cinta daku

    BalasHapus