28/10/22

REVIEW - PEARL

0 View

Meski berstatus prekuel, Pearl merupakan spesies yang sama sekali beda bila dibandingkan X yang baru rilis beberapa bulan lalu. Bayangkan The Wizard of Oz (1939) di mana Dorothy bukan membantu orang-orangan sawah mendapatkan otak, tapi menyetubuhinya. Bayangkan juga Mary Poppins (1964), namun alih-alih "a spoonful of sugar", ia menyanyikan "a spoonful of blood and guts help the medicine go down". 

Berlatar 81 tahun sebelum X, kita bertemu Pearl muda (Mia Goth), yang terpaksa tinggal bersama kedua orang tuanya di pertenakan, sementara sang suami, Howard (Alistair Sewell), pergi bertaruh nyawa di Perang Dunia I. Melihat visual bergaya technicolor ala Golden Age of Hollywood, sambil mendengar Pearl bicara bak protagonis naif dari film masa itu, awalnya Pearl benar-benar jauh dari nuansa horor. 

Sampai kita bertemu orang tua Pearl. Ayahnya (Matthew Sunderland) lumpuh, sementara Ibunya, Ruth (Tandi Wright), berlaku keras padanya. Ditambah pandemi influenza yang melanda, kecuali untuk membeli obat sang ayah, Pearl dilarang berkeliaran oleh Ruth. 

Di suatu adegan makan malam, pilihan shot Ti West (sutradara, juga menulis naskah bersama Mia Goth) membuat Pearl sekeluarga tampak seperti Keluarga Sawyer dari The Texas Chainsaw Massacre (1974). Sedangkan pertengkaran antara Pearl dan Ruth yang pecah tak lama kemudian, mengingatkan ke dinamika ibu-anak milik Carrie (1976). Jika Mia Goth menampilkan kenaifan sebagai sampul kegilaan, Tandi Wright tampak intimidatif sejak awal. 

Satu-satunya hiburan bagi Pearl adalah film yang diam-diam ia tonton tiap membeli obat untuk ayahnya di kota. Pearl bercita-cita menjadi bintang layar perak yang bernyanyi, menari, sehingga dipuja para penonton. Kita pun memahami kenapa Pearl di X amat terobsesi dengan kecantikan gadis muda. Artinya, di luar beberapa easter eggs, Pearl juga sebuah prekuel yang sukses melengkapi narasi pendahulunya. 

Di bioskop, Pearl bertemu projectionist tanpa nama (David Corenswet) yang menarik perhatiannya. Penokohan si projectionist agak di luar dugaan. Sekilas tak ubahnya pria tampan bermulut manis yang hobi menipu gadis, tapi ternyata bukan. Walaupun soal apakah ia benar-benar memedulikan mimpi Pearl patut dipertanyakan. 

West dan Goth sempat menyelipkan relasi gender unik dalam romansanya. Pearl membawa si projectionist ke rumah, menciuminya dengan liar di atas kasur, namun si pria tak berhasrat. Dia terdistraksi oleh suara aneh dari luar kamar. Di hampir semua slasher, peran tersebut bakal ditukar. 

Pearl memang penuh kejutan. Baik keunikan estetikanya (visual, musik, hingga pilihan huruf bagi judul dan kredit), maupun beberapa komedi gelap tak terduga, yang makin shocking kala dikombinasikan dengan nuansa disturbing filmnya. 

Cipratan darahnya tidak sederas X, namun West kembali menampilkan kecerdikan mengolah teknis saat membangun intensitas. Perpaduan gerak kamera dan penyuntingan yang membantu memaksimalkan jump scare, sampai penggunaan long take di klimaks, ketika Mia Goth berlari sembari mengayunkan kapak layaknya monster slasher veteran. 

Membahas long take dalam Pearl tentu harus menyertakan dua momen luar biasa yang sama-sama muncul di paruh akhir cerita. Pertama adalah obrolan antara Pearl dan saudari iparnya, Misty (Emma Jenkins-Purro). Di situ Pearl mencurahkan segala unek-uneknya, dan kita menyaksikan Mia Goth bermonolog tanpa henti selama hampir sembilan menit. Sembilan menit! Kalau mau saklek, beberapa sempilan reaction shot membuat single take itu secara bersih "cuma" berlangsung sekitar enam menit, tapi pada proses pengambilan gambarnya, Goth jelas bermonolog tanpa henti.

Butuh ketahanan tingkat tinggi dari seorang penampil agar dapat melakoni monolog sepanjang itu. Bukan sekadar berbicara, karena Goth memainkan dinamika emosi, pula mencoba ragam artikulasi serta tempo pengucapan kalimat. Apalagi kamera menangkap wajahnya dari dekat, sehingga penonton bisa mengobservasi aktingnya sampai ke detail mikro. Pearl ditutup dengan cara serupa. Sebuah single take yang berjalan mengiringi kredit. Di situ Goth menatap kamera, memaksakan senyum lebar selama dua menit, yang seiring berjalannya waktu, terasa makin mengerikan. Di dunia yang adil, di mana tiada diskriminasi genre, Goth bakal dibanjiri penghargaan di awards season nanti. Sayangnya, sama seperti yang Pearl rasakan, dunia tidaklah adil. 

(iTunes US)

6 komentar :

  1. Sudah tonton film "Barbarian" mas? Saya penasaran sama pendapatnya soal itu film karena baru aja rilis di streaming service

    BalasHapus
  2. Review Barbarian dong mas

    BalasHapus
  3. Anonim6:24 PM

    film pearl menit ke 18.30...oh yes baby.....

    BalasHapus
  4. Anonim8:01 PM

    nyesel banget nonton film pearl bikin trauma....

    BalasHapus
  5. Anonim7:54 PM

    Sayangnya Oscar menganaktirikan film horor, jadi mau sebagus apapun Mia Goth, dia gabakal masuk Oscar

    BalasHapus
  6. Anonim12:44 PM

    6 film horor peraih Oscar adalah Rosemary's Baby, The Omen, The Exorcist, The Silence Of The Lambs, Dracula, dan Get Out

    BalasHapus