Seri The Ring sedang mencapai titik nadir. Crossover dalam Sadako vs. Kayako (2016) menghadirkan kebodohan menyenangkan, namun tiga judul solo terakhirnya, Sadako 3D (2012), Sadako 3D 2 (2013), dan Sadako (2019), adalah bencana. Sadako dengan kutukan VHS miliknya sudah ketinggalan zaman.
Upaya modernisasi bukannya tak terpikirkan. Semua installment terbaru, tidak terkecuali Rings (2017), versi Amerika yang sama buruknya, coba menerapkan kultur media sosial. Masalahnya, mereka terjebak keseriusan berlebih dalam menangani Sadako, di saat setumpuk parodi telah merusak reputasi si hantu rambut panjang.
Lalu datanglah Hisashi Kimura (sutradara) dan Yuya Takahashi (penulis naskah) dengan ide gila. "Jika Sadako sudah jadi bahan olok-olok, kenapa tidak sekalian saja mengarahkan filmnya ke sana?". Mungkin begitu pikir keduanya. Jadilah Sadako DX. Film The Ring pertama yang secara total menggabungkan elemen horor dan komedi, menjadikannya sekuel solo terbaik sejak Spiral (1998).
Alurnya masih mempertahankan formula biasa. Rentetan kematian terjadi secara misterius, dan sebuah video terkutuk yang beredar di dark web dipercaya sebagai penyebabnya. Di sebuah acara televisi, dukun bernama Master Kenshin (Hiroyuki Ikeuchi) meyakini kutukan itu bakal membawa kepunahan bagi umat manusia. Sebaliknya, Ayaka Ichijo (Fuka Koshiba) selaku perwakilan perspektif sains, memandangnya sebagai fenomena psikologis semata.
Ayaka adalah protagonis kita. Seorang siswi SMA dengan IQ 200 yang bisa melempar deduksi bak Sherlock Holmes. Ketika berpikir, ia tempelkan kedua tangan ke telinga, lalu membuat gerakan seperti tengah mengejek lawan bicara. Sindiran pedas kerap ia lontarkan, yang semakin terdengar menggelitik berkat pembawaan deadpan Fuka Koshiba.
Orang yang kerap jadi target sindiran Ayaka adalah Oji Maeda (Kazuma Kawamura) si cenayang pemula dengan tingkat narsisme selangit. Klien pertama Oji tewas di depan matanya selepas menonton video terkutuk. Lewat hasil rekaman Oji, kita melihat si korban dicekik oleh sosok tak terlihat, sebelum melakukan roll depan dan tewas.
Ya, roll depan. Kalian tidak salah baca. Kelak penyebabnya diungkap, tapi tetap tak mengurangi keabsurdan yang dihasilkan, dan itu memang suatu kesengajaan. Sadako DX bukanlah parodi, namun ia berani mengolok-olok pakem The Ring. Salah satunya mengenai jump scare. Filmnya menyindir kegemaran horor mengageti penonton dengan menciptakan protagonis kagetan. Semua hal bisa membuat Ayaka kaget, yang kemudian ia respon dengan, "Wah mengagetkan sekali". Lucunya, tak sekalipun jump scare-nya dipakai untuk membungkus penampakan hantu.
Penampakan di Sadako DX justru tak mengejutkan apalagi menyeramkan. Bukan bentuk kegagalan, karena lagi-lagi itu kesengajaan. Hisashi Kimura dan Yuya Takahashi malah memakai kemunculan hantu guna melempar humor. Ada kalanya gagal mengenai sasaran, tapi sulit untuk tak terhibur saat filmnya berani menjadikan segala kekhasan J-horor (termasuk perihal rambut panjang hantu wanitanya) jadi "sasaran tembak" komedi. Reaksi karakter tiap mendapat teror pun beragam. Selain berteriak ketakutan, tidak jarang mereka merespon dengan celotehan lucu. Tunggu sampai ibu Ayaka, Chieko (Naomi Nishida), dikejar-kejar hantu.
Plotnya mengetengahkan upaya Ayaka mencari jalan memutus kutukan. Dia percaya ada jawaban logis, dan mesti berpacu dengan waktu pasca sang adik, Futaba (Yuki Yagi), menonton video terkutuk. Batas waktunya tidak lagi tujuh hari, melainkan 24 jam. Ingat, ada kata "DX" alias "digital transformation" di judulnya. Sadako DX eksis di era digital yang serba instan, sehingga mempercepat tenggat merupakan langkah tepat.
Penceritaannya memang kurang mulus, cenderung berbelit-belit, sehingga menciptakan keruwetan yang sejatinya tidak diperlukan. Tapi film The Ring mana lagi yang berani menyamakan kutukan Sadako dengan virus cacar? Di paruh akhir, keabsurdan makin tak terkendali sewaktu konklusinya menampilkan puncak "kesadaran diri" filmnya. Sadar bahwa sebagaimana yang karakternya rasakan di penghujung durasi, penonton pun tidak lagi takut kepada Sadako akibat sudah terlampau sering melihatnya. Jadi, daripada memaksakan teror, mengapa tidak menertawakannya saja?
gila ini film kocak banget dan ribut full nggak ada habisnya...jangan keluar dari bioskop sampai layar ditutup ada adegan tambahan kocak abis parah banget mindblowing kece...
BalasHapus