Minum air adalah kegiatan remeh bagi orang "normal". Taruh gelas di dispenser, tekan tombol, lalu minum. Saking gampangnya kita tak perlu menghafal langkah-langkah tersebut. Lain cerita bagi Tegar (M. Aldifi Tegarajasa). Setelah gelas terisi, ia harus mengapit gelas di leher, menaruhnya di atas meja, mengambil kursi untuk menaiki meja, baru meminumnya.
Pemandangan itu bisa tampak memilukan, tapi Anggi Frisca (Negeri Dongeng, Nona) selaku sutradara bukan ingin memancing iba. Timbulnya rasa kagum penonton terhadap si protagonis adalah tujuan utama. Tegar memang diniati sebagai tontonan inspirasional, namun ia berusaha tampil beda. Setidaknya di paruh pertama.
Menginjak usia 10 tahun, Tegar tidak pernah mengenal dunia luar. Dia hidup dalam sangkar emas berupa rumah mewah di area terpencil. Sang ibu, Wida (Sha Ine Febriyanti) melarang Tegar keluar karena khawatir putera tunggalnya bakal jadi korban cemoohan akibat kondisi fisiknya. Tapi benarkah Wida, yang lebih fokus pada pekerjaan ketimbang keluarga, melakukan itu demi Tegar?
Di antara para pegawai rumah tersebut, cuma Teh Isy (Joanita Chatarina) yang boleh berinteraksi dengan Tegar. Satu-satunya bocah seumuran yang Tegar kenal hanya Imam (M. Adhiyat nampak lebih dewasa dari biasanya), pun keduanya belum bisa disebut "teman". Paling tidak ada si kakek (Deddy Mizwar) kakek yang selalu mengerti keinginan Tegar.
Ditulis naskahnya oleh Anggi Frisca dan Alim Sudio, paruh pertama Tegar menolak mengikuti formula film inspirasional. Sejak adegan pembuka sunyi yang secara tersirat menunjukkan keinginan Wida membuang sang putera, kentara bahwa dalam menyutradarai, Anggi menolak pendekatan ala tearjerker. Dramatisasi dimainkan secukupnya, tanpa "menodong" air mata agar membanjiri pipi penonton.
Alurnya pun demikian. Konflik utama berpusat pada perjuangan Tegar bertahan kala kondisi memaksanya beraktivitas sendirian di rumah. Membuka pakaian, minum, sampai menyiapkan makanan, yang biasanya jadi tugas Teh Isy, harus Tegar lakukan seorang diri. Di beberapa titik, Tegar mengingatkan saya ke Pihu (2018), bedanya, karakter balita diganti bocah berkebutuhan khusus, pun meski mampu sesekali memunculkan ketegangan, Tegar tetap berorientasi pada drama ketimbang thriller.
Perjalanannya tidak senantiasa mulus. Ada kalanya pengadeganan terasa draggy. Tapi sekali lagi, keputusan menjauh dari pola film inspirasional mampu memunculkan kesegaran. Apalagi Tegar dianugerahi jajaran cast yang membawa penampilan solid. Sha Ine Febriyanti dan Deddy Mizwar jadi penghubung emosi antara penonton dengan kisahnya, sedangkan Joanita Chatarina bertugas mencerahkan suasana lewat celetukannya.
M. Aldifi Tegarajasa pun melakoni debut layar lebarnya melalui penampilan yang mewakili tendensi naskahnya menjauhi keklisean. Tegar merengek saat kesulitan, mengeluh kala menghadapi rintangan, sebab ia manusia, bocah biasa, bukan simbol inspirasi dengan segala kesempurnaannya.
Sayang, paruh kedua yang membawa filmnya berpindah latar, dengan harapan memperkuat dinamika emosi serta menambah variasi, justru terkesan formulaik. Momen mengharu biru diselipkan, petuah demi petuah sarat pesan kehidupan pun mulai terlontar dari mulut karakternya. Tidak buruk, namun saat itulah Tegar berubah jadi bentuk tontonan yang coba ia hindari di paruh awal.
Tapi jangan biarkan kekurangan itu menghalangi anda menonton Tegar. Memang ada miskonsepsi perihal status sebagai film Indonesia pertama yang dibintangi penyandang disabilitas fisik. Status itu dimiliki Kuberikan Segalanya (1992) yang menampilkan Nihayah Abubakar. Film tersebut kebetulan juga dibintangi Deddy Mizwar, dan membawanya menyabet piala FFI keempat sepanjang karir. Tapi fakta bahwa perlu 30 tahun sampai aktor difabel mendapatkan representasi lagi, membuat kehadiran Tegar pantas untuk dirayakan.
film ini bagus dan layak ditonton...
BalasHapus