Melalui Challengers, Luca Guadagnino (Call Me by Your Name, Suspiria) mengubah materi yang biasanya identik dengan opera sabun murahan menjadi observasi tentang dorongan hasrat manusia, yang tampil cerdas, intens, indah, dan di luar dugaan, amat sangat seksi.
Art Donaldson (Mike Faist) dan Patrick Zweig (Josh O'Connor) bukan cuma sahabat sejak kecil, pula pasangan ganda tenis yang berprestasi. Keduanya pun tertarik pada orang yang sama, yakni Tashi Duncan (Zendaya), yang digadang-gadang sebagai calon bintang tenis masa depan. Sebelum pertandingan final yang mempertemukan Art dengan Patrick, Tashi berjanji bakal memberi nomornya pada siapa pun yang keluar sebagai pemenang.
Cinta segitiga penuh pengkhianatan membentang selama belasan tahun hingga meruntuhkan persahabatan dua laki-laki. Ide dasar Challengers memang "sangat opera sabun". Tapi di sinilah kita melihat bagaimana seniman hebat dapat menyuntikkan warna mereka guna mengubah gagasan usang menjadi karya yang terasa segar.
Agar penceritaannya lebih berbumbu, Justin Kuritzkes selaku penulis naskah memakai teknik non-linear, di mana tiap pengkhianatan adalah twist menusuk, dan isi hati manusia merupakan misteri yang lebih dalam dari samudera. Challengers menggiring penontonnya mempertanyakan apa yang masing-masing karakternya pikirkan, rasakan, serta sembunyikan di balik segala keputusan mereka.
Satu hal yang jadi motor penggerak trio Tashi-Art-Patrick: hasrat. Apa yang kita saksikan selama kurang lebih 131 menit tidak lain adalah dinamika tiga manusia, yang sadar atau tidak, selalu mencari dorongan hasrat, mendambakan pacuan adrenalin, guna menjaga nyala api kehidupan mereka. Zendaya, Mike Faist, dan Josh O'Connor saling terkoneksi kuat, memendam geliat hasrat, kemudian meledakkannya di setiap kesempatan yang didapat.
Kata "hasrat" adalah kunci. Di tangan Kuritzkes dan Guadagnino, "hasrat" yang sejatinya adalah dorongan bersifat universal dibawa ke pendefinisian yang kental sensualitas. Tapi siapa sangka lapangan tenis adalah panggung sempurna bagi pertukaran hasrat tersebut?
Sebagaimana diucapkan Tashi, "Tenis adalah sebuah hubungan". Di Challengers, sewaktu dua individu mengayunkan raket dalam satu lapangan, saling memukul bola ke arah masing-masing seolah tengah mengomunikasikan perasaan sembari berpeluh berdua, saat itulah tercipta ikatan intens yang tak memerlukan bahasa verbal untuk saling memahami dan merasakan.
Dibarengi beragam pilihan shot indah nan kreatif dari kamera sang sinematografer, Sayombhu Mukdeeprom, pula musik elektronik gubahan Trent Reznor dan Atticus Ross yang menghipnotis, Guadagnino menuangkan kenakalannya. Semua interaksi karakter tak pernah lepas dari aroma sensualitas yang menyengat sekaligus menegangkan, di mana setiap gestur maupun celotehan tersusun atas sexual innuendo. Begitu tiba di konklusi yang begitu nakal sekaligus playful, sulit rasanya menahan hasrat untuk melepaskan tawa penuh kekaguman. Brilian!
Gw nnton d seat tengah jd berasa kena tampol bola tenisnya bang 😅 pulang2 nnton jg jd lgsg smangat olhrga smbil dngerin soundtracknya 🤩
BalasHapusplease jangan sensor dong ini film, kebiasaan deh kakak LSF
BalasHapusThree Some Scene Terbaik Sepanjang Masa
BalasHapusLuca Guadagnino spesialis Seksual Movie
BalasHapusIrama Musiknya Bikin Konak Dih Keren
BalasHapusZendaya Hot Babes
BalasHapusKaos Uniqlo~nya Keren
BalasHapusAlur Maju Mundur Yang Ciamik
BalasHapusEndingnya Menggantung...
BalasHapusTeriakan Zendaya di akhir film benar~benar klimax kepuasaan hebat
BalasHapusfilm jelek horror banget, gue beri skor : 9/10
BalasHapussex, lies & sports
BalasHapusfilm khusus bocil dewasa
BalasHapusthe battle of sex
BalasHapusadult movie 21 tahun ke atas rated R+
BalasHapusmembakar gairah seksual musik techno yang toxic
BalasHapustennis berasa makan kebab
BalasHapuslihat main tennis sekarang beda setelah nonton film ini
BalasHapusfilm real gimmick
BalasHapusrecehan biasa aja
BalasHapusFresh 238 Reviews Tomatometer 87%
BalasHapusBlog film terbaru https://lovlinks.blogspot.com/
BalasHapus