Konon seri Dilan merupakan kisah nyata masa muda kreator novelnya, Pidi Baiq (juga menyutradarai sekaligus menulis naskah untuk seluruh adaptasi layar lebarnya). Tapi baru pada Dilan 1983: Wo Ai Ni tercium aroma biografi dalam penceritaannya. Seperti album kenangan mengenai dunia anak kecil yang penuh warna.
Mengingat Dilan dikenal lewat romantika sarat rayuan gombal, dan kali ini giliran sosoknya semasa SD yang diceritakan, banyak pihak khawatir filmnya bakal mengajarkan anak-anak berpacaran. Nyatanya tidak demikian. Tidak ada yang berlebihan dalam rasa suka Dilan (M. Adhiyat) kepada Mei Lien (Malea Emma Tjandrawidjaja) si murid baru. Sebatas cinta monyet.
Dilan cilik pun bukan cuma mengisi harinya dengan percintaan. Di sela-sela upayanya menarik perhatian Mei Lien (lewat cara-cara yang "sangat Dilan"), kita juga diajak menengok rutinitas Dilan bersama teman-teman, bagaimana ia dan keluarga menyikapi berita mengenai Petrus yang mulai marak, hingga berbagai kenakalan yang membuatnya jadi target omelan orang di masjid (rasanya banyak dari kita pernah mengalami hal serupa).
Naskah yang ditulis Pidi bersama Alim Sudio mengubah momen-momen di atas menjadi kumpulan fragmen. Terkadang fragmen-fragmen itu bergerak kurang mulus, akibat naskahnya memaksakan adegan minim substansi untuk disertakan. Misal ketika Dilan dan teman-teman memakan mangga di pos ronda. Selain terlalu singkat, peristiwa itu pun tak memiliki dampak pada narasi utama. Seolah Pidi terlalu sayang untuk membuang salah satu keping memorinya.
Benar bahwa Dilan cilik tidak cuma membicarakan cinta, tapi bukan berarti elemen itu dikesampingkan begitu saja. Biarpun gelar "pemain terbaik" pantas disematkan pada Keanu Azka (sebagai Nanang, sahabat Dilan) dengan berbagai polah lucunya, Adhiyat yang makin matang seiring pertambahan usia, juga Malea yang nampak betul sudah berpengalaman di depan kamera (ia angkat nama lewat After Yang buatan Kogonada), turut berjasa membangun rasa manis dalam cinta monyet Dilan dan Mei Lien.
Apabila dibandingkan judul-judul lain, kadar percintaan milik Dilan 1983: Wo Ai Ni memang tergolong minim. Tapi menariknya, ia punya salah satu adegan romantis paling manis dalam sejarah franchise-nya, yakni adegan sewaktu film ini memanfaatkan coretan kapur. Manis sekaligus kreatif. Mungkin bisa disebut "sangat Dilan".
Pesan yang coba disampaikan pun relevan dan penting, baik bagi penonton anak maupun dewasa. Dilan 1983: Wo Ai Ni mengajak kita untuk berpikiran terbuka dalam segala hal. Berpikiran terbuka sewaktu menghadapi kenakalan anak; berpikiran terbuka menyikapi perbedaan suku, agama, serta ras sebagaimana hubungan Dilan dengan Mei Lien; berpikiran terbuka dalam persoalan gender, seperti saat Bunda (Ira Wibowo) menyopiri keluarganya, mengendarai mobil jip yang begitu gagah, meski sang suami (Bucek Depp) yang notabene seorang tentara dengan segala citra maskulinnya ada di sana.
smoga abis ini ga cerita tentang bapaknya dilan..😁😁
BalasHapus